Sabtu, 10 April 2010

GOLDEN MOMENT



Ini seperti cerita dunia 1001 malam, kalau aku diminta komentar tentang cerita itu, rasanya aku akan menganggap juga ini sebuah cerita pepesan, cerita bohongan yang keluar dari seorang teman yang rupanya pikirannya lagi krodit alias stress lantaran tugas-tugas belajar di S3. Sebutlah nama temanku Mat Yudha, ia bercerita tentang bagaimana ia bertaruh dengan sahabat karibnya. Botokan gaya mahasiswa kawakan kalau yang kalah harus mbayari makan dan nonton film. Lalu bertaruh apa ?

Nah, begini ceritanya. Mat Yudha dengan sahabatnya yang 'dia rahasiakan namanya' sudah lama berbeda pendapat tentang 'poligami'. Bagi Mat Yudha walau dia mengakui suka melirik wanita cantik tetapi ia orang yang konsisten pada kelebihan ikatan hidup monogami, ia berpendapat poligami itu 'menyakiti dan menyakitkan', tidak ada kebahagian bersama dalam poligami. Sementara temannya yang memang dari keluarga poligami, ia mengatakan ada kebahagiaan bersama dalam poligami. Mat Yudha bertaruh, kalau temennya dalam satu bulan bisa menunjukkan bapaknya bisa mengajak ke 4 istrinya bersama dalam suatu momen di luar rumahnya. Maka temannya dianggap menang taruhan dan berhak menentukan makan dan monton film apa dan di mana.

Kamis sore di awal bulan April yang baru lalu, handpone Mat Yudha berdering cuma sebentar lalu mati. Miss call dari temannya. Ketika dinyalakan hpnya ada sms masuk yang belum dibuka, rupanya miss call itu cuma memberi tanda agar Mat Yudha segera membacanya SMS tersebut. ' Yud, sore ini loe gue ajak nglencer ke SUTOS, mbuktiin babe gue 'poligaminye' beda, ok ?'. Hm.... sms bergaya tutur Betawi itu membuat penasaran, dan ia pertanyaakan kepastiannya pada temannya yang memang ada darah betawinya. Ia jadi tambah penasaran dan mengharap waktu berjalan lebih cepat ketika sahabatnya memastikan: ya.

Jam 5 sore Mat Yudha sudah dijemput temannya dan meluncur ke SUTOS, sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya Barat Daya yang belum begitu ramai namun megah. Sepanjang perjalanan mereka tidak banyak saling bicara, mereka saling penasaran sendiri-sendiri. Sempat di kepala Mat Yudha terbersit pikiran ia jangan-jangan cuma diakali oleh teman satu ini, hanya diajak nglencer lalu buntut akhirnya ia yang disuruh mbayari segalanya setelah nongkrong di cafe, seperti biasanya.

+ " Kamu gak boongi aku kan ? " Mat Yudha buka suara ketika masuk parkiran SUTOS.
- " Percayalah, hari ini gua mau tunjukkin lu 'golden moment', biar mata lu kebuka lebar ".
+ " Oke, mari kita lihat !"

Tiba-tiba tangan Mat Yudha diremas keras oleh temannya, ia nyengir ke temannya, perhatiannya ke cafe-cafe yang belum ramai dan biasa ramai cuma di akhir pekan oleh anak-anak muda yang mendominasinya, buyar. Matanya dibimbing telunjuk temannya ke bawah balkon Cinema yang berjejer maniken-maniken dengan baju yang trend-trend, didekatnya kulihat sang bapaknya yang beinitial BS bersama ke 4 istrinya. Satu istri yang paling muda menunjuk pada daster cantik motif lembut, istri yang lain mengomentari dan BS tersenyum-senyum. Kerongkongan Mat Yudha kering, tidak bisa bicara, tertegun pada hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Benar, dia dipertontoni adegan kebahagiaan bersama, ke 4 istri itu fusif, tidak ada batas dan kecanggungan di antara mereka, mereka kadang saling bisik-bisik sesamanya, tidak beda istri tua atau muda.

Kalau momen itu dibilang momen istimewa (baca: golden moment) menurut teman taruhannya, tanpa berdebat Mat Yudha akhirnya mengakuinya benar. Sangat sulit dijumpai peristiwa keakraban seperti itu. Dalam memori pikirannya perempuan menurutnya tidah mudah menerima untuk diduakan, dianggap bukan yang utama, ternyata dihadapan matanya hal itu bisa terjadi, seolah mereka sanggup berbagi. Tapi itu kan gambaran fisik, jangan-jangan di masing-masing wanita itu masih ada gejolak membara kecemburuan, rasa iri dengki, cuma mereka mampu menutupinya dengan perangai fisiknya. Pikiran seperti itu cuma berkecamuk di dalam pikirannya.

Dalam kondisi keterheranan yang masih belum terjawab, Mat Yudha tambah terheran ketika ia diajak membuntuti mereka yang ternyata menaiki tangga dan masuk ke Cinema. Dari balik kaca mereka terlihat saling berkomentar tentang film yang hendak ditonton, dan ternyata dengan mudah mereka memutuskan pilihan untuk bersama menonton ' My Name is Khan' di teater 4. Sebuah film yang bicara tentang umat Islam di Amerika yang berjuang untuk tidak ikut dicap dan dianggap sebagai teroris pasca peledakan WTC 11 September dulu. Padahal alternatif film lainnya juga bagus-bagus. Akhirnya Mat Yudha mengaku kalah dan menerima resikonya, temannya ngajak makan di cafe Toraja dan malam minggu depan mau nonton 'Dragon' sebuah film 3 dimensi baru.

Bagi aku, cerita Mat Yudha masih 'not logic', bisa saja itu imaji ideal atau guyonan. Tapi tidak usah diperdebatkan, mari kita lihat hikmahnya saja, aku kira kita memang tidak boleh 'nggebah uyah' kalau menurut bahasa jawanya. Pukul rata, menganggap sama pada semua atau sesuatu hal. Sang pencipta akan selalu bisa menunjukan kelemahan kita, kecongkakan kita, dengan menunjukan realita yang tak terbayangkan sebelumnya bahwa hal itu mungkin saja terjadi. Kenyataan sesuatu pasti ada kekhususan dan perkecualian atau tepatnya anomalisnya, tapi apapun itu juga realita yang juga harus bisa diterima. Mungkin, yang terpenting bagaimana kesadaran bisa kita bangun , sehinga kita mampu berpikir, berbuat, bila kita berada pada komunitas sosial kita semestinya berendosimbion untuk tidak saling menyakiti, tetapi menjadi energi sehingga kepenatan, kebosanan, rasa frustasi yang acap kali hadir menyengsarakan kita malah kemudian menjadi gairah baru, semangat baru. Kata teman yang telah mampu merasakannya, 'waktu terasa berlalu cepat', karena tidak membosankan dan hidup menjadi berwarna.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar