Seorang
teman bincang-bincang dengan teman lainnya tentang kehebatan bangsa ‘Jepang’.
Mulai dari semangat samurai, hakakiri, Yakuza, Fuji Film, Honda, Gunung
Fujiyama, hingga bunga sakura. Siapa tidak mengenal negeri matahari terbit
? Demikian kata salah seorang yang ada
di komunitas bincang-bincang tersebut. Sekarangpun anak-anak kita barangkali Nampak
lebih akrab dengan produk negeri ini disbanding dengan mengenal produk negeri
sendiri. Filom anak misalnya anak-anak lebih familier dengan ‘Doraewmon’ di
banding ‘Si Unyil’ bahkan film yang lainnya misalnya: sepakbola Jepang, Komik
Jepang, Maruto dan lain-lain.
“Produk
Jepang sedemikian rupa bisa merajai di berbagai belahan dunia, pernahkah kita
mencoba memikirkan mengapa bisa demikian ?” Tanya seseorang lainnya.
“ Itu
karena ethos mereka, pernah lihat film samurai ? Wooo ….. sangat mengesankan,
kita bisa melihat bagaimana ‘kegigihan’, ‘kegagahan’ , ‘rasa hormat’, ‘ketaatan’
…….” Kata yang lainnya.
Berceritera
tentang Jepang, aku ingat seorang Guru pernah membuat sebuah pembelajaran yang
menarik dengan contoh ‘produk Jepang’. Sang Guru menjelaskan bahwa ‘bangsa
Jepang’ yang berkenalan dengan budaya Jawa hanya seumur jagung, justru telah
mampu menerapkan falsafah jawa penting yaitu: nglurug tanpo bolo menang tanpo
ngasorake. Melalui produk-produk industrinya Jepang ada di mana-mana, menembus lintas batas
Negara bangsa. Melalui produk-produk unggulan mereka mampu diterima dengan suka
cita, produk mereka mempengaruhi
kehidupan masayarakat Negara lain tanpa membawa ‘bala tentara’ untuk
mempengaruhinya. Sebuah inperialisme gaya baru, barang-barang mereka menjajah
kita dan menjadi penghidupan mereka tanpa harus perang dan mengalahkan.
Perang
masa kini adalah perang ekonomi, perang produk, perang dengan senjata sudah
bukan jamannya lagi, selain seluruh bangsa-bangsa mengecam tindakan perang
senjata juga perang jelas-jelas mengsengsarakan rakyat bangsa yang berperang.
Di mana ada perang yang memakmurkan dan mententramkan masyarakat ? Bangsa yang
cerdas mengalihkan ‘heroitasnya’ pada perang yang lebih bermartabat tidak
banyak ditentang yaitu ‘perang produk yang berkecanggihan teknologi’, mulai
dari produk pangan, sandang, papan, kendaraan, alat komunikasi hingga
produk-produk kesehatan. Jadi terjadilah kompetisi ‘ekonomi’, perang ekonomi,
sebuah keasyikan baru manusia dalam globalisasi dunia. Melalui keunggulan
produk, suatu bangsa atau bahkan hanya suatu ‘perusahaan’ bisa memiliki unit
usahanya di berbagai belahan dunia dengan karyawan seolah sebagai warga yang
harus patuh pada tata aturan yang dimilikinya. Mereka tidak perlu membawa
masyarakat bangsa negaranya untuk menjalankan ‘perusahaan’ di belahan bumi
lainnya, dengan suka cita mereka akan mengabdi kerja, juga masyarakat yang ‘seolah
terjajah’ oleh adanya perusahaan tersebut tidak akan merasa kalah tetapi sering
merasa diuntungkan.
Seorang
Guru bijak berkata bahwa nglakoni ‘nglurug tanpo bolo lan menang tapi ora
ngasorake’ bukan hal yang mudah. Karena untuk bisa ‘nglurug tanpo bolu’ orang
harus berani, berani bukan asal berani, tapi berani dengan perhitungan yang
cerrmat. Orang yang berani nglurug
berarti di dalam dirinya bersemayam mental juara, bukan mental ‘kroyokan’. Juga falsafah Jawa itu, mengajarkan kepada
kita bahwa kemenangan yang terhormat adalah kemanangan yang tidak merendahkan
orang atau pihak lain yang menjadi lawannya. Di situ mengandung makna bagaimana
seharusnya kita sebagai manusia bisa tetap menjunjung harkat martabatnya sendiri dan sesamanya,
menjaga kehidupan dan sadar akan kewajaran perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar