Selasa, 07 Februari 2012

HARMONI DARI TANA TOA




                Dalam kegiatan Forum Layanan Iptek Bagi Masyarakat  di Sulawesi Selatan salah satu kegiatan yang menarik adalah perjalanan ke kecamatan Kajang tepatnya untuk melihat lebih dekat masyarakat tradisi ‘taha toa’. Memasuki kawasan Tana Toa seluruh rombongan disarankan menggunakan baju gelap kalau hitam lebih baik, warna menyolok tidak diperkenankan. Kenapa ? Jangan Tanya karena hal itu sudah berlaku turun temurun. Mungkin itu ada kaitannya dengan kesejarahan ‘masyarakat tana toa’, konon masyarakat ini adalah masyarakat yang sengaja mengisolasi dari ketidakberaturan hidup masyarakat pada waktu itu. Kondisi yang liar mendorong mereka membentuk masyarakat yang beraturan hingga kini. Mungkin warna menyala / norak termasuk warna yang berkonotasi panas, beringas yang mereka hindari, atau bisa jadi pilihan warna hitam untuk memudahkan bersembunyi dan warna cerah mudah terlihat.
                Sementara teman-teman ke rumah Ammatoa, saya berkenalan dengan anak muda Tana Toa yang kemudian antusias menemani aku keliling kampung. Alhasil aku dapat tontonan beragam anggrek di hutan-hutan Tana Toa; wow….ada Grammatophyllum scriptum, Cymbidium finlaysonianum, Vanda dearii,  Bulbophyllum vaginatum, Dipodium fictum, Eria densa, Liparis latifolia, serta anggrek-anggrek yang lain yang menggerombol di pohon-pohon besar. Keberuntungan juga ketika jalan-jalan di antara rumah masyarakat dalam suku kajang ini penulis berkenalan dengan  Camat Kajang dan dikenalkan dengan beberapa ‘Juru’ yang membantu Ammatoa, salah satunya adalah Galla Puto yaitu Sekretaris dan  Juru Bicara Tana Toa. Dari sang juru bicara inilah aku mengetahui beberapa hal tentang Tana Toa, beliau besama Bapak Camat dan sepertinya ajudannya dengan tekun menjelaskan berbagai hal tentang Tana Toa termasuk menuliskan lafal bahasa yang aku tidak mudeng. Dalam komunikasi harian masyarakat Suku Kajang  menggunakan bahasa Konjo. Bahasa konjo merupakan salah satu rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat.
                Menurut Galla Puto umumnya masyarakat adat Tana toa hidup dari bertani dan memelihara hewan ternak. Kehidupan mereka sangat sederhana, tercermin dari misalnya rumah mereka yang sangat sederhana, tiap rumah hanya memiliki satu tangga berikut pintu masuk dibagian depan. Pada bagian dalam tidak ada kamar, yang ada hanyalah dapur yang terdapat pada bagian depan rumah tepat di sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung filosofis bahwa Orang Kajang sangat mamuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Tidak adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa orang Kajang ingin menunjukkan sikap keterbukaannya kepada para tamu yang datang.
                Masyarakat kawasan adat Tana Toa dipimpin oleh Ammatoa yang sangat dipatuhi. Ammatoa berarti bapak atau pemimpin yang dituakan. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Ammatoa bukanlah pemimpin yang dipilih oleh rakyat melainkan seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Yang Kuasa.  Apabila seorang Ammatoa meninggal dunia, maka Ammatoa berikutnya akan ada lagi tiga tahun kemudian. Dalam masa tiga tahun, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang biasanya terdapat pada seorang calon Ammatoa. Setelah masa tiga tahun, para calon Ammatoa yang telah terpilih dikumpulkan, lalu seekor ayam yang telah dilepas pada penobatan terdahulu didatangkan lagi, lalu ayam tersebut dilepas kembali, ketika ayam tersebut lepas dan hinggap pada seorang calon Ammatoa, maka dialah yang menjadi Ammatoa.
                Sebagai tetua adat Ammatoa tidak sendirian, tetapi didampingi oleh dua orang Anronta, yaitu Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi serta 26 orang pemangku adat. Ke-26 orang pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas sebagai wakil atau sekretaris sekaligus juru bicara dan Galla Lombo yang bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Yang jelas di Tana Toa sudah ada tatanan, dan tatanan tersebut benar-benar dijunjung dengan teguh, ditaati bersama, bagi yang melanggar juga ada sangsi sesuai hokum adat. Ada beberapa hukum adat, mulai dari hukuman paling ringan sampai paling berat. Hukuman paling ringan atau disebut juga cappa babala adalah keharusan menbayar denda sebesar 12 real ditambah satu ekor kerbau. Satu tingkat di atasnya adalah tangga babala dengan denda 33 real ditambah satu ekor kerbau, denda paling tinggi adalah poko babala yang diharuskan membayar 44 real ditambah dengan seekor kerbau. real yang digunakan dalam hal ini adalah nilainya saja, karena uang yang digunakan adalah uang benggol yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan.
                Juga ada dua bentuk hukuman lain di selain hukuman denda yaitu: tunu panroli dan tunu Passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari palakunya. Caranya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang membara setelah dibakar. Jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan adat Tana Toa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu Passau. Caranya Ammatoa akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan ke pelaku agar jatuh sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.
                Kata Guru spiritual di Kajang  bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Tana Toa memegang teguh pasanga ri Kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Isi pasanga ri Kajang yaitu:
  1. Tangurangi mange ri turiea arana, yang berarti senangtiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak.
  2. Alemo sibatang, abulo sipappa, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
  3. Lambusu kigattang sabara ki pesona, yang artinya bertindak tegas tetapi juga sabar dan tawakkal.
  4. Sallu riajoka, ammulu riadahang ammaca ere anreppe batu, alla buirurung, allabatu cideng, yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung
  5. Nan digaukang sikontu passuroangto mabuttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.

                Bagiku mengenal dan berada di masyarakat Tana Toa merupakan hal yang menarik sekali, masyarakat suku Kajang yang dianggap ‘kuno’  dan menutup diri dari gempuran modernisasi zaman ternyata  memiliki ‘hal adi luhung’ yang sekarang makin banyak ditinggalkan masyarakat modern. Lima poin pasanga ri Kajang rasanya perlu menjadi pembelajaran buat kita ‘kumpulan siapapun, partai apapun, generasi manapun ’ yang menganggap lebih moderat, lebih rasional ketibang masyarakat tradisional tentu harus mampu  mengaktualisasi diri meninggalkan ‘kegaduhan, tidak beraturan, amoralitas’  yang jauh dari akar rumput masyarakat ketimuran yang semestinya santun, bisakah kita menelurkan ‘pasanga ri  kita’ yang bisa menggawangi bingkai kebangsaan kita yang beragam untuk tetap bersatu menjaga harmoni negeri . Masa kita tidak malu dengan Suku Kajang yang sederhana. Heeee !!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar