Jagat
Indonesia yang tenang-tenang saja, tiba-tiba hiruk pikuk gegap gempita lantaran
ada penolakan ‘pagelaran Lady Gaga’. Tidak itu saja, hiruk pikuk rencana
pertunjukan kini malah berubah menjadi kegaduhan. Dimulai dari ancaman ‘ormas
keras’ yang menolak dan mengancam akan membubarkan pertunjukan jika tetap
diselenggarakan, hal tersebut memunculkan kegundahan penggiat seni atas
pelanggaran kebebasan ekspresi , mengundang empati para penggiat HAM,
mengundang simpati para agamawan yang mengedepankan toleransi, menjadikan
posisi polisi yang canggung dan serba salah karena tidak mau terpancing emosi.
Sikap polisi yang canggung, memancing kritik masyarakat terhadap salah satu
institusi penegak hukum ini, masyarakat sampai pada kesimpulan polisi tidak
berani menghadapi ‘ormas keras’, polisi menjadi banci, menjadi tidak berdaya.
Seorang
guru bijak menulis di media, bahwa bangsa ini tidak pernah dewasa, bahwa bangsa
ini tidak cerdas, tidak sadar bahwa ‘polemik’ adalah cara modern untuk
publikasi gratis. Konser Lady Gaga sesungguhnya bila diwajarkan, paling hanya
akan ditonton oleh sebagian masyarakat yang menggilainya. Maksimal sesuai
kapasitas tempat pertunjukan, hanya akan ditonton oleh orang yang mampu
membayar tiket ratusan ribu hingga jutaan. Tetapi begitu dipolemikan, seluruh
bangsa ini dipaksa mengenal Lady Gaga melalui polemik di televisi, radio,
internet, anak-anak muda secara otomatis penasaran ingin mengetahui ‘penyanyi
kontroversial’ ini. Akhirnya yang semestinya bila Lady Gaga hanya dilihat
masyarakat melalui pertunjukkannya, maka masyarakat hanya mengetahui apa yang
boleh ditampilkan di Indonesia. Tetapi ketika terbangun polemik, kepenasaran
masyarakat terutama anak muda, dengan leluasa terpenuhi oleh keterbukaan dunia
maya. Di dunia maya siapapun bisa melihat penampilan sang lady dalam berbagai
gaya, termasuk yang bagi masyarakat Indonesia dianggap tidak layak menjadi
tontonan.
Angka
brossing tentang Lady Gaga tentu terus menerus naik, karena dari hari ke hari
kepenasaran dan komentar melalui posting di web juga terus naik, kreativitas
komentar, dorongan untuk berpendapat tentu menggelitik semua orang. Seperti
penulis ini, terus terang, berarti sudah tergelitik menambah jumlah tulisan
tentang sang lady. Bila kita brossing akan tersedia ratusan juta hal menyangkut
penyanyi kontroversial ini. Ini yang menurut sang guru bahwa ‘polemik’ yang
terjadi telah lebih merusak pikiran bangsa ini, dibanding bila tanpa
kontroversi di masyarakat yang cenderung dikipas-kipasi oleh pers dan media
elektronik. Bila dihitung secara rupiah, energy, waktu yang tersedot kasus
ini tentu nilai kerugian dan kesia-siaan
tidak sedikit. Pengguna internet di Indonesia menurut Word Internet Statistic
2012 negeri ini berjumlah 55 juta pengguna. Sangat besar potensi masyarakat
yang bisa terpancing untuk yang menggugah ‘polemik panas’, dan sangat besar
potensi kesia-siaan penggunaan waktu, dana, energy yang bakal terjadi.
Terus
terang saya pribadi menjadi tertarik komentar dan menulis ini adalah ketika ada
salah seorang teman di BBM mengupload gambar bertajuk ‘Lady Gagal’, ya bukan
Lady Gaga, dan yang terpasang adalah wajah artis komedian dengan wajah kocak
plus keriput-keriput di kulit muka, tetapi dandanannya bergaya Lady Gaga.
Kontan saya ketawa kecil, beberapa teman yang ikut melihat malah tertawa ngakak.
Bayangkan, polemik tersebut secara pasti mendorong keisengan orang, sangat
ironis, karena foto semacam itu bisa bermakna pelecehan pada seseorang,
penghinaan pada orang lain yang bisa jadi melanggar hukum. Saya yakin awalnya
mungkin peng-up load hanya ingin guyon dan iseng, tapi hal tersebut bisa
berbalik menjadi kasus hukum, yang tidak pernah disadarinya sebelumnya. Hukum
pemikiran selalu akan terjadi, mana kala berkembang pemikiran negatif di
masyarakat maka energy, daya, kreativitas negatif secara otomatis akan terdorong
menyertainya. Ya….beginilah masyarakat kita, mudah terpancing. Masyarakat kita
butuh panutan. Padahal kita semua juga belum tahu bagaimana sesungguhnya Lady
Gaga sesungguhnya, denger-denger dia bukan orang biasa, tetapi orang pintar dan
orang berprinsip di era serba hypermodern atau dengan kata lain bukan orang gagal. Sudahlah mari kita sudahi
pembicaraan kita tentang Lady Gaga. Stop dan stop.
Seorang
bijak lain bertutur, memang capaian apapun dalam kehidupan sungguh sangat
ditentukan bagaimana sikap kita terhadap segala sesuatu hal yang tengah kita
hadapi. Kalau kita memandangnya secara negatif, maka segala hal menyangkut diri
kita baik pikiran, waktu, semangat, energy, intuisi akan teraktualisasi untuk
menggali dan menyuguhkan hal-hal negatif ke kepala kita. Juga segala hal
menyangkut lingkungan kita, jelas akan mengakomodir harapan negatif kita dan
energy, suasana, bayangan-bayangan, materi, orang-orang, keluarga dan lain-lain
akan cenderung memberi input yang negative. Ekstrinya, misal bila kita sudah
berpikir negatif pada orang terdekat kita, maka kecurigaan, prasangka akan
terus datang mendera, dan secara tidak sadar kedekatan kita makin berkurang,
akan lahir sikap, pandangan yang membentuk jarak, yang biasanya mesra jadi
tidak mesra, yang biasanya penuh perhatian menjadi cuek, yang biasanya bermanja
lahir sikap cuek. Jangan salah jika kemudian lingkungan luar akan mendorong
juga partisipasi membangun negativitas yang kita bayang dan pikirkan. Orang
terdekat kita yang sesungguhnya tengah berada pada pikiran positif, bisa jadi
tidak akan terus-menerus kuat tergoda paparan hal negatif yang kita bangun.
Bisa jadi orang tercinta kita malah menemukan hal positif baru. Pikiran memang
dasyat bisa menggiring energy dan lain-lain sesuai dengan apa yang dibangunnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar