Beberapa hari yang lalu, diluar
kebiasaan, aku ke Surabaya tidak membawa kendaraan sendiri tapi menggunakan bus
umum. Pingin aja, udah lama tidak naik bus umum, pingin sedikit keluar
dari kebiasaan, padahal sesungguhnya malah tidak bisa fleksibel. Dalam situasi apapun, jangan pikir misal ketika jalanan macet bisa main terobos memilih jalan alternatif, sekarang harus sabar
ngikuti apa keinginan sang sopir. Berangkatnya
relatif lancar, cuma di Porong yang
agak tersendat lantaran pertigaan Polsek Porong di buka sehingga arus kendaraan harus selalu bergantian. Singkat kata, ternyata ada hikmahnya memiilih pulang pergi ke Surabaya
menggunakan bus, aku seperti diingatkan pada sosok almarhum Ibuku, sosok yang sangat
aku cintai, wanita perkasa, ibu dan sekaligus bapakku. Memang, aku sejak kecil cuma
hidup dengan ibuku bersama saudar-saudaraku,
tepatnya aku tiga bersaudara, semenjak ayah tiada hanya ibu yang menjadi
tumpuan hidup kami.
Saat pulang, di terminal Bungurasih aku bersikap tidak memaksakan
diri kalau harus masuk bus dengan cara berebut, memang penumpang cukup banyak,
sehingga aku harus maklum ketika baru bisa naik pada keberangkatan bus yang ke
tiga. Itupun dengan cepat bus terisi penuh, aku lihat dari arah depan seorang ibu
muda sambil menjinjing tas merah bata beringsut cepat lalu memilih duduk di
sampingku. Kami saling tersenyum, berkenalan, dan sepanjang jalan mengalir
berbagi cerita, sampai-sampai aku pribadi diuntungkan tidak merasa jenuh dan
kecapaian hingga sampai di terminal Arjosari Malang. Terus terang, mendengar ceritanya itulah aku
jadi ingat ibuku. Menurutku ia termasuk wanita perkasa. Walau nasibnya tidak
seperti Ibuku, karena wanita itu masih punya suami yang produktif, tetapi
ethosnya sebagai wanita yang ikut bekerja menopang kehidupan rumah tangganya.
Layak aku jadikan catatan di hari Ibu ini, hari di mana semua anak bangsa ini selalu diingatkan betapa mulianya sosok seorang ibu.
Sebut saja wanitia ini berinitial
‘S’, tinggal di pinggiran timur kota Malang, prediksiku umurnya masih 30-an
tahun, bekerja sebagai ‘ujung tombak’ tenaga pemasaran di perusahaan konveksi
di kota Malang, mendengar merk produk konveksi yang dijualnya, ranah pemasaran,
target bulanan, pola komunikasi, cara berpikir, jelas ia bekerja di perusahaan
yang sudah ‘mapan’ dan ia sendiri tentu orang pilihan. Ia bercerita bahwa
hari ini sepertinya ia tidak akan bisa pulang ke rumah, karena jalanan yang
macet dan kelamaan di terminal Bungurasih sepertinya bus akan masuk malang lepas maghrib.
Padahal siang esoknya ia harus ketemu ‘calon custemer’ di Bali, berarti setiba
di Malang ia terpaksa harus sambung ke Bali.
Ia telp suaminya, juga anak buahnya untuk mengabarkan kerangkatannya
agar semua kebutuhannya untuk ‘jualan’ di Bali bisa ia bawa sesampainya di terminal bus
Arjosari Malang, tidak mungkin ia mampir ke rumah atau kantor. Ketika aku
bertanya apa sekiranya tidak capai ? Dia bilang, menikmati pekerjaannya,
mengambil insisiatif istirahat manakala bisa dan menganggap pekerjaan sebagai
ibadah, sehingga tidak ada beban dan kita bisa enjoi. Woow…
Ketika aku tanyakan bagaimana
tanggapan suami dan anak-anak terhadap pekerjaannya yang menurut pengakuannya
jelas sering keluar kota dan sering harus bermalam di luar rumah. Ia mengaku suaminya mengerti dan memahami, sementara anak-anaknya kan masih kecil dan selalu dalam pengawasan neneknya.
“Tapi saya selalu membayar
kekurangan akibat kerja itu dengan bersama mereka secara penuh ketika ‘off’ kerja, dan setiap minggu kami menyempatkan rekreatif misalnya yang paling sederhana bersepeda pagi bersama”. Ucapnya sambil terus memainkan beberapa hape di tasnya
secara bergantian.
“ Kami punya kesepakatan,
terutama dengan suami untuk menekankan hubungan yang berkualitas.” sambungnya.
“ Buat apa kalau kuantitas besar
tapi berisi kekakuan, disharmoni, dan ketidakpuasan satu sama lainnya yang
tidak pernah terselesaikan ?” Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Aku
mengerti, aku katakana pada dia bahwa saya pernah menjalani itu, tapi belakangan aku ngerti bahwa anak-anak
memiliki pemahaman yang berbeda dengan orang dewasa. Aku punya teman yang juga
merupakan wanita karir, sampai-sampai anak sulungnya mogok belajar, dan
mempertanyakan apakah ia harus membayar untuk mendapatkan waktu mamanya.
“ Yang penting niat kita dan bagaimana konsekuensi menjalaninya, juga besarnya keyakinan kita bahwa Allah akan menolong umatnya yang tulus pasrah, “ kata dia. Aku tertegun, di situ
aku jadi ingat Ibuku. Akmarhumah Ibuku dulu, sebagai orang tua tunggal tentu juga tidak mungkin beliau bisa memberi
perhatian penuh pada anak-anaknya. Beliau harus memastikan ada nafkah untuk kami. Aku masih ingat, ibu sering harus berangkat
pagi karena ke kantor jalan kaki, aku kebagian masak, kakak cuci baju, adik
bersih-bersih rumah. Sehingga aktifitas kami relatif tidak terkontrol, aku bisa mandi di
sungai besar yang berbahaya, pergi jauh dari rumah, banyak hal yang bisa
dilakukan kalau mau. Cuma aku selalu ingat, Ibu selalu mengatakan percaya pada
kami, Ibu tidak pernah absen puasa, tirakat mendoakan kami. Keyakinan Ibu yang
kukuh itulah yang menurutku menjaga kami semua dari hal-hal buruk walau beliau
tidak seharian waktu bersama kami.
Guru spiritualku pernah berkata, bahwa
kerja keras, ketulusan, dan keyakinan dalam berdoa adalah tiga sikap sekawan
yang akan menolong kita merengkuh apa yang kita inginkan dan apa yang kita
dambakan. Kerja keras adalah
implementasi fisik dari keinginan yang kuat, sedangkan ketulusan adalah
implementasi rasa yang paling tanpa beban 'tulus dan pasrah', trus dilengkapi dan dikuatkan dengan
keyakinan kepada kebesaran Yang Maha yang
memungkinkan segala kemungkinan termasuk yang tidak mungkin bisa terjadi menurut
manusia. Perempuan yang ditemani oleh tiga sikap sekawan dalam menjalani
hidupnya akan mampu menyelamatkan keluarganya dari hal-hal buruk walau secara fisik
keberadaannya tidak bisa selalu ada di rumahnya. Realita yang banyak, orang
seringkali sudah merasa bekerja keras,
tulus iklas dan selalu khusuk berdoa, tetapi sesungguhnya itu hanya sebatas
merasa, realitanya sesungguhnya masih jauh. Tetapi jujur kalau kita mau
mengakui memang menjalani ‘laku’ yang demikian tidaklan mudah, hanya mereka-mereka
yang perkasa yang bisa melakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar