Sabtu, 24 Desember 2011

WANITA PERKASA



Beberapa hari yang lalu, diluar kebiasaan, aku ke Surabaya tidak membawa kendaraan sendiri tapi menggunakan bus umum. Pingin aja, udah lama tidak naik bus umum, pingin sedikit keluar dari kebiasaan, padahal sesungguhnya malah tidak bisa fleksibel. Dalam situasi apapun, jangan pikir misal ketika jalanan macet bisa main terobos memilih jalan alternatif, sekarang harus sabar ngikuti apa keinginan sang sopir.  Berangkatnya relatif lancar, cuma di  Porong yang agak tersendat lantaran pertigaan Polsek Porong di buka sehingga arus kendaraan harus selalu bergantian. Singkat kata,  ternyata ada hikmahnya memiilih pulang pergi ke Surabaya menggunakan bus, aku seperti diingatkan pada sosok almarhum Ibuku, sosok yang sangat aku cintai, wanita perkasa, ibu dan sekaligus bapakku. Memang, aku sejak kecil cuma hidup dengan  ibuku bersama saudar-saudaraku, tepatnya aku tiga bersaudara, semenjak ayah tiada hanya ibu yang menjadi tumpuan hidup kami.

 Saat pulang, di terminal Bungurasih aku bersikap tidak memaksakan diri kalau harus masuk bus dengan cara berebut, memang penumpang cukup banyak, sehingga aku harus maklum ketika baru bisa naik pada keberangkatan bus yang ke tiga. Itupun dengan cepat bus terisi penuh, aku lihat dari arah depan seorang ibu muda sambil menjinjing tas merah bata   beringsut cepat lalu memilih duduk di sampingku. Kami saling tersenyum, berkenalan, dan sepanjang jalan mengalir berbagi cerita, sampai-sampai aku pribadi diuntungkan tidak merasa jenuh dan kecapaian hingga sampai di terminal Arjosari Malang.  Terus terang, mendengar ceritanya itulah aku jadi ingat ibuku. Menurutku ia termasuk wanita perkasa. Walau nasibnya tidak seperti Ibuku, karena wanita itu masih punya suami yang produktif, tetapi ethosnya sebagai wanita yang ikut bekerja menopang kehidupan rumah tangganya. Layak aku jadikan catatan di hari Ibu ini, hari di mana semua anak bangsa ini selalu diingatkan betapa mulianya sosok seorang ibu.

Sebut saja wanitia ini berinitial ‘S’, tinggal di pinggiran timur kota Malang, prediksiku umurnya masih 30-an tahun, bekerja sebagai ‘ujung tombak’ tenaga pemasaran di perusahaan konveksi di kota Malang, mendengar merk produk konveksi yang dijualnya, ranah pemasaran, target bulanan, pola komunikasi, cara berpikir, jelas ia bekerja di perusahaan yang sudah ‘mapan’ dan ia sendiri tentu orang pilihan.  Ia bercerita bahwa hari ini sepertinya ia tidak akan bisa pulang ke rumah, karena jalanan yang macet dan kelamaan di terminal Bungurasih sepertinya bus akan masuk malang lepas maghrib. Padahal siang esoknya ia harus ketemu ‘calon custemer’ di Bali, berarti setiba di Malang ia terpaksa harus sambung ke Bali.  Ia telp suaminya, juga anak buahnya untuk mengabarkan kerangkatannya agar semua kebutuhannya untuk ‘jualan’ di Bali bisa ia bawa sesampainya di terminal bus Arjosari Malang, tidak mungkin ia mampir ke rumah atau kantor. Ketika aku bertanya apa sekiranya tidak capai ? Dia bilang, menikmati pekerjaannya, mengambil insisiatif istirahat manakala bisa dan menganggap pekerjaan sebagai ibadah, sehingga tidak ada beban dan kita bisa enjoi. Woow…

Ketika aku tanyakan bagaimana tanggapan suami dan anak-anak terhadap pekerjaannya yang menurut pengakuannya jelas sering keluar kota dan sering harus bermalam di luar rumah.  Ia mengaku suaminya mengerti dan memahami, sementara anak-anaknya kan masih kecil dan selalu dalam pengawasan neneknya. 

“Tapi saya selalu membayar kekurangan akibat kerja itu dengan bersama mereka secara penuh ketika ‘off’  kerja, dan setiap minggu kami menyempatkan rekreatif misalnya yang paling sederhana bersepeda pagi bersama”. Ucapnya sambil terus memainkan beberapa hape di tasnya secara bergantian.

“ Kami punya kesepakatan, terutama dengan suami untuk menekankan hubungan yang berkualitas.” sambungnya.

“ Buat apa kalau kuantitas besar tapi berisi kekakuan, disharmoni, dan ketidakpuasan satu sama lainnya yang tidak pernah terselesaikan ?” Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Aku mengerti, aku katakana pada dia bahwa saya pernah menjalani itu, tapi belakangan aku ngerti bahwa anak-anak memiliki pemahaman yang berbeda dengan orang dewasa. Aku punya teman yang juga merupakan wanita karir, sampai-sampai anak sulungnya mogok belajar, dan mempertanyakan apakah ia harus membayar untuk mendapatkan waktu mamanya.

“ Yang penting niat kita dan bagaimana konsekuensi menjalaninya, juga besarnya keyakinan kita bahwa Allah akan menolong umatnya yang tulus pasrah, “ kata dia. Aku tertegun, di situ aku jadi ingat Ibuku. Akmarhumah Ibuku dulu, sebagai orang tua tunggal tentu juga tidak mungkin beliau bisa memberi perhatian penuh pada anak-anaknya. Beliau harus memastikan ada nafkah untuk kami. Aku masih ingat, ibu sering harus berangkat pagi karena ke kantor jalan kaki, aku kebagian masak, kakak cuci baju, adik bersih-bersih rumah. Sehingga aktifitas kami relatif tidak terkontrol, aku bisa mandi di sungai besar yang berbahaya, pergi jauh dari rumah, banyak hal yang bisa dilakukan kalau mau. Cuma aku selalu ingat, Ibu selalu mengatakan percaya pada kami, Ibu tidak pernah absen puasa, tirakat mendoakan kami. Keyakinan Ibu yang kukuh itulah yang menurutku menjaga kami semua dari hal-hal buruk walau beliau tidak seharian waktu bersama kami.

Guru spiritualku pernah berkata, bahwa kerja keras, ketulusan, dan keyakinan dalam berdoa adalah tiga sikap sekawan yang akan menolong kita merengkuh apa yang kita inginkan dan apa yang kita dambakan.  Kerja keras adalah implementasi fisik dari keinginan yang kuat, sedangkan ketulusan adalah implementasi rasa yang paling tanpa beban 'tulus dan pasrah', trus dilengkapi dan dikuatkan dengan keyakinan kepada kebesaran Yang Maha  yang memungkinkan segala kemungkinan termasuk yang tidak mungkin bisa terjadi menurut manusia. Perempuan yang ditemani oleh tiga sikap sekawan dalam menjalani hidupnya akan mampu menyelamatkan keluarganya dari hal-hal buruk walau secara fisik keberadaannya tidak bisa selalu ada di rumahnya. Realita yang banyak, orang seringkali  sudah merasa bekerja keras, tulus iklas dan selalu khusuk berdoa, tetapi sesungguhnya itu hanya sebatas merasa, realitanya sesungguhnya masih jauh. Tetapi jujur kalau kita mau mengakui memang menjalani ‘laku’ yang demikian tidaklan mudah, hanya mereka-mereka yang perkasa yang bisa melakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar