Seorang teman bertutur kepada
saya, telah mendapat pembelajaran hidup yang sangat berarti tanpa sengaja.
Suatu hari ketika ia tengah duduk-duduk di kawasan pujasera di Kota Bandung,
menghirup kopi Lembang, memandang lalu lalang moyang Priyangan yang trendy,
modis, tidak membosankan untuk dinikmati.
Nah…Ketika ia tengah asyik memandang gerak lenggok orang-orang di
sepanjang kawasan itu yaitu jalan Dago, ia melihat seorang ibu muda bersama dua
anaknya yang masih kecil baru menyeberang dan berjalan se arah di mana ia
duduk. Sesekali ibu muda itu mengikuti jalan anaknya yang menunjuk jajanan yang
dijual di jalan itu, sejumput sang ibu menghampiri sang penjual dan terjadi
pembicaraan. Awalnya sang penjual nampak wajahnya gembira, tapi tak lama setelah
berbincang wajahnya terlihat tidak ramah dan ibu dan anak-anaknya pun kembali
berlalu. Tak jauh dari kejadian itu, sang anak kembali menunjuk salah satu
makanan yang dijajakan pedagang lain, terjadi kembali dialog antara ibu dan
sang pedagang, lalu kejadian sebelumnya terulang lagi.
Entah berapa kali kejadian serupa
terulang kemali, sampai kemudian ibu itu sampai di tenda di mana sang teman
duduk, memang duduknya agak jauh dari
etalase tempat kue-kue dan sang penjualnya duduk, tapi sempat masih bisa mendengar ketika
kembali ibu itu melayani anak-anaknya yang menunjuk kue-kue di etalase.
“ Selamat siang, Ibu. Maaf
anak-anak saya ingin sekali kue yang Ibu jual, bisakah saya mendapatkannya tapi
saya tidak punya uang, “ tutur sang Ibu sopan dengan mengajak sabar
anak-anaknya. Sang teman tertegun, semua orang yang sedang santai di kafe tenda
itu dan mendengar ucapan kejujuran ibu muda itu juga terenyuh. Sejumput
terlihat ada kegamangan, sang ibu dan anak-anaknya rupanya sudah siap menerima penolakan sang pemilik kafe
seperti yang dialami sebelumnya.
“ Tidak apa, silakan pilih mana
yang anak-anak ibu inginkan, “ kata sang
pemilik kafe sambil tersenyum ramah. Ibu muda dan anak-anaknya malah
terkejut mendengar, masih ragu akan apa
yang dikatakan sang pemilik kafe, tapi anak-anaknya sudah mulai tunjuk-tunjuk
kue yang dinginkan.
“Tapi saya tidak punya uang, “
kata ibu muda. Sang pemilik kafe dengan sabar menegaskan sikapnya dengan
mengambil kotak kue dan menanyakan anak-anak yang lugu yang kemudian menunjuk
beberapa kue-kue lain yang diinginkannya. Terbersit wajah-wajah ceria anak-anak itu,
wajah tak bersalah yang gembira bisa menyudahi kelaparannya. Sang teman yang
menyaksikan ‘drama’ kehidupan yang demikian itu, tertegun, kerongkongannya
terasa kering. Ia melihat dua orang yang
mulia, ibu yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dan jujur terhadap
keberadaannya, lalu pedagang budiman yang mau berbagi nikmat dan bisa menghargai
orang-orang yang jujur tapi
berkekurangan. Betapa cantik pelajaran hidup hari ini pikirnya, sudah terbukti tidak
banyak orang yang mau berbagi di zaman seperti ini, sepanjang jalan ibu dengan
anaknya ditolak ‘harapan bisa berbagi’ dari beberapa orang, bahkan ada mungkin
yang mengumpatnya.
Di tengah memikirkan pelajaran
hidup itu, tiba-tiba ia mendapat pembelajaran baru lagi yang lebih mempercantik
hidup. Sebut aja ‘seorang eksekutif muda’ yang saya tahu sudah lama duduk dekat
dipojok lain kafe tempat ia lagi
menyantaikan diri, bertutur dengan pemilik kafe.
" Ini Ibu, uangnya..........."
“ Bapak, sebentar uang kembaliannya …” tutur sang pemilik kafe
yang menerima uang seratus ribu dari sang eksekutif muda yang terkesan mau
buru-buru keluar.
“ Ya, Ibu….. sisa kembaliannya ambil
saja untuk mengganti apa yang tadi Ibu berikan gratis kepada Ibu dan anak-anaknya tadi….. saya berkesan dengan
ketulusan semua . Jangan tolak ketulusan saya…. Terima kasih. ” pemilik kafe jadi bengong.
“ Lho…. Ini terlalu banyak, “
kata sang pemilik kafe. Tapi sang eksekutif muda tidak mau menerimanya dan malah berujar bahwa kita sama-sama harus bisa berbagi, sekemampuan kita
berbagi.
Kata temanku, hari itu ia
dikenalkan dengan tiga orang terpuji, tiga orang yang patut dicontoh. Ia
berpikir kenapa bukan ia yang terstimulasi menjadi ‘sang eksekutif muda’,
padahal ia berada di sana. Kenapa tidak ada ide dan gagasan melakukan seperti
itu, kenapa tidak ada dorongan ? apa karena ia kikir ? apa ia terlalu bebal
dengan situasi sosial yang mengelilingi kehidupannya ? apa memang sudah jadi
orang yang tidak perduli ? Dia marah pada dirinya sendiri. Tapi yang jelas, pembelajaran hidup hari itu menyadarkannya
betapa manisnya orang bisa berbagi, dan ia berpikir ternyata orang yang bisa berbagi
sesungguhnya bukan berarti menjadi kehilangan tetapi justru dengan berbagi
orang akan mendapatkan.
Cerita teman ini, mengingatkanku
pada Guru Spiritualku, beliau pernah mengatakan bahwa semangat berbagi harus terus kita
kita tumbuhkan. Semestinya kita banyak belajar pada alam. Alam telah mengajarkan kepada kita bahwa berbagi itu menjamin hidup
kita makin hidup. Selapar apapun harimau, tidak akan mampu dan mau melahap semua hasil
buruannya, lalu sisanya akan dimakan teman-temannya, predator yang lebih kecil, burung bangkai,
bakteri tanah, cacing, serangga hingga gigisan mineralnya untuk tanaman. Tidak akan
ada orang yang mampu berbagi berakhir menjadi miskin, andai itu terjadi berati
ada kesalahan dalam cara dan bagaimana berbagi, yang sering karena berbaginya
belum tulus belum iklas secara penuh. Ada orang yang berbagi karena
gagah-gagahan, karena ingin dihormati, karena kesombongan, karena gengsi,
karena terpaksa, semua model berbagi atas alasan seperti itu tidak akan
mengayakan batin kita, bisa jadi yang muncul malah kegelisahan, hidup malah
menjadi tidak makin hidup. Belajarlah secara
cepat memutuskan ‘iklas berbagi’ ketika ada hasrat untuk berbagi, jangan tunda, sebelum muncul berbagai
alasan yang menggoda kita untuk tidak perlu berbagi. Salam berbagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar