Senin, 05 Desember 2011

TIGA ORANG TERPUJI


Seorang teman bertutur kepada saya, telah mendapat pembelajaran hidup yang sangat berarti tanpa sengaja. Suatu hari ketika ia tengah duduk-duduk di kawasan pujasera di Kota Bandung, menghirup kopi Lembang, memandang lalu lalang moyang Priyangan yang trendy, modis, tidak membosankan untuk dinikmati.  Nah…Ketika ia tengah asyik memandang gerak lenggok orang-orang di sepanjang kawasan itu yaitu jalan Dago, ia melihat seorang ibu muda bersama dua anaknya yang masih kecil baru menyeberang dan berjalan se arah di mana ia duduk. Sesekali ibu muda itu mengikuti jalan anaknya yang menunjuk jajanan yang dijual di jalan itu, sejumput sang ibu menghampiri sang penjual dan terjadi pembicaraan. Awalnya sang penjual nampak  wajahnya gembira, tapi tak lama setelah berbincang wajahnya terlihat tidak ramah dan ibu dan anak-anaknya pun kembali berlalu. Tak jauh dari kejadian itu, sang anak kembali menunjuk salah satu makanan yang dijajakan pedagang lain, terjadi kembali dialog antara ibu dan sang pedagang, lalu kejadian sebelumnya terulang lagi.

Entah berapa kali kejadian serupa terulang kemali, sampai kemudian ibu itu sampai di tenda di mana sang teman duduk,  memang duduknya agak jauh dari etalase tempat kue-kue dan sang penjualnya duduk,  tapi sempat masih bisa mendengar ketika kembali ibu itu melayani anak-anaknya yang menunjuk kue-kue di etalase.

“ Selamat siang, Ibu. Maaf anak-anak saya ingin sekali kue yang Ibu jual, bisakah saya mendapatkannya tapi saya tidak punya uang, “ tutur sang Ibu sopan dengan mengajak sabar anak-anaknya. Sang teman tertegun, semua orang yang sedang santai di kafe tenda itu dan mendengar ucapan kejujuran ibu muda itu juga terenyuh. Sejumput terlihat ada kegamangan, sang ibu dan anak-anaknya rupanya sudah  siap menerima penolakan sang pemilik kafe seperti yang dialami sebelumnya.  

“ Tidak apa, silakan pilih mana yang anak-anak ibu inginkan, “  kata sang pemilik kafe sambil tersenyum ramah. Ibu muda dan anak-anaknya malah terkejut  mendengar, masih ragu akan apa yang dikatakan sang pemilik kafe, tapi anak-anaknya sudah mulai tunjuk-tunjuk kue yang dinginkan.

“Tapi saya tidak punya uang, “ kata ibu muda. Sang pemilik kafe dengan sabar menegaskan sikapnya dengan mengambil kotak kue dan menanyakan anak-anak yang lugu yang kemudian menunjuk beberapa kue-kue lain yang diinginkannya.  Terbersit wajah-wajah ceria anak-anak itu, wajah tak bersalah yang gembira bisa menyudahi kelaparannya. Sang teman yang menyaksikan ‘drama’ kehidupan yang demikian itu, tertegun, kerongkongannya terasa kering.  Ia melihat dua orang yang mulia, ibu yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dan jujur terhadap keberadaannya, lalu pedagang budiman yang mau berbagi nikmat dan bisa menghargai orang-orang yang  jujur tapi berkekurangan. Betapa cantik pelajaran hidup hari ini pikirnya, sudah terbukti tidak banyak orang yang mau berbagi di zaman seperti ini, sepanjang jalan ibu dengan anaknya ditolak ‘harapan bisa berbagi’ dari beberapa orang, bahkan ada mungkin yang mengumpatnya.

Di tengah memikirkan pelajaran hidup itu, tiba-tiba ia mendapat pembelajaran baru lagi yang lebih mempercantik hidup. Sebut aja ‘seorang eksekutif muda’ yang saya tahu sudah lama duduk dekat dipojok lain kafe  tempat ia lagi menyantaikan diri, bertutur dengan pemilik kafe.

" Ini Ibu, uangnya..........."
“ Bapak, sebentar  uang kembaliannya …” tutur sang pemilik kafe yang menerima uang seratus ribu dari sang eksekutif muda yang terkesan mau buru-buru keluar.
“ Ya, Ibu….. sisa kembaliannya ambil saja untuk mengganti apa yang tadi Ibu berikan gratis kepada Ibu dan  anak-anaknya tadi….. saya berkesan dengan ketulusan semua . Jangan tolak ketulusan saya…. Terima kasih. ” pemilik kafe jadi bengong.
“ Lho…. Ini terlalu banyak, “ kata sang pemilik kafe. Tapi sang eksekutif muda tidak mau menerimanya dan malah berujar bahwa kita sama-sama harus bisa berbagi, sekemampuan kita berbagi. 

Kata temanku, hari itu ia dikenalkan dengan tiga orang terpuji, tiga orang yang patut dicontoh. Ia berpikir kenapa bukan ia yang terstimulasi menjadi ‘sang eksekutif muda’, padahal ia berada di sana. Kenapa tidak ada ide dan gagasan melakukan seperti itu, kenapa tidak ada dorongan ? apa karena ia kikir ? apa ia terlalu bebal dengan situasi sosial yang mengelilingi kehidupannya ? apa memang sudah jadi orang yang tidak perduli ? Dia marah pada dirinya sendiri. Tapi yang jelas, pembelajaran hidup hari itu menyadarkannya betapa manisnya orang bisa berbagi, dan ia berpikir ternyata orang yang bisa berbagi sesungguhnya bukan berarti menjadi kehilangan tetapi justru dengan berbagi orang akan mendapatkan.

Cerita teman ini, mengingatkanku pada Guru Spiritualku, beliau pernah mengatakan bahwa semangat berbagi harus terus kita kita tumbuhkan. Semestinya kita banyak belajar  pada alam. Alam telah mengajarkan kepada kita bahwa berbagi itu menjamin hidup kita makin hidup. Selapar apapun harimau, tidak akan mampu dan mau melahap semua hasil buruannya, lalu sisanya akan dimakan teman-temannya, predator yang lebih kecil, burung bangkai, bakteri tanah, cacing, serangga hingga gigisan mineralnya untuk tanaman. Tidak akan ada orang yang mampu berbagi berakhir menjadi miskin, andai  itu terjadi berati ada kesalahan dalam cara dan bagaimana berbagi, yang sering karena berbaginya belum tulus belum iklas secara penuh. Ada orang yang berbagi karena gagah-gagahan, karena ingin dihormati, karena kesombongan, karena gengsi, karena terpaksa, semua model berbagi atas alasan seperti itu tidak akan mengayakan batin kita, bisa jadi yang muncul malah kegelisahan, hidup malah menjadi tidak makin hidup.  Belajarlah secara cepat memutuskan ‘iklas berbagi’ ketika ada hasrat untuk  berbagi, jangan tunda, sebelum muncul berbagai alasan yang menggoda kita untuk tidak perlu berbagi. Salam berbagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar