Seorang teman bercerita bahwa
sekarang ia harus berhati-hati dengan lambungnya, lambungnya menjadi sangat sensitif
pada makanan yang ia konsumsi, bila makan makanan yang terlalu asam perut
menjadi melilit-lilit tidak karuan, pun
juga terlalu pedas atau sedikit terlambat makan pasti perut akan mengirim kado
rasa sakit yang lama penyembuhannya. Semua itu gara-garanya sederhana, waktu
sehat dulu ia sering terlambat makan, sering mengabaikan rasa lapar, sampai
kemudian datang sakit magh dan harus nginap di rumah sakit. Seorang teman lain
bercerita bahwa ia kini tidak memiliki harapan apa-apa, hidupnya tinggal menunggu
waktu, ginjalnya rusak dan dia sudah dua kali seminggu harus cuci darah. Dia
menyesal waktu sehatnya dulu bekerja terlalu keras, ngoyo, dan sering ‘dopping’
dengan minuman- minuman berenergi. Rasa lelah ia tidak pernah perdulikan, hanya
satu yang ia inginkan prestasi kerja, kebanggaan, uang dan rasa hormat. Alhasil ia jadi kehilangan harta terbesarnya
yaitu kehidupan sendiri yang sesungguhnya telah diberkahi Allah sedemikian
sempurnanya.
Masih banyak cerita senada yang
bisa kita dengar, kita lihat, kita rasanya dalam kehidupan masyarakat kita yang
makin kompetitif, konsumtif, dan tidak normatif. Orang cenderung berkompetisi
tidak sehat, main sikut, saling menjatuhkan, main sogok, kuruptif, menghalalkan
segala cara untuk mencapai harapan. Bagaimana mungkin aktivitas tidak sehat bisa
melahirkan kehidupan yang sehat ? Hukum
alam mengajarkan pada kita hal-hal yang sederhana, tentang pentingnya asupan makanan
yang cukup pada tubuh kita agar tubuh kita sehat, tidak ada kata perlu
berlebihan, jangan pula kurang sebab akan menjadikan tubuh sakit. Adanya siang
dan malam mengajarkan kepada kita perlunya istirahat, perlunya tubuh tidak
beraktivitas, dalam kondisi seperti ini terjadi penyeimbangan kembali
organ-organ tubuh yang lelah, perbaikan-perbaikan yang rusak, distribusi
nutrisi dan energi hingga kondisi tubuh mengalami keseimbangan kembali pada
level yang dibutuhkannya baik fisik maupun rohani.
Ada banyak manfaat mengenal dan
memahami kondisi tubuh kita sendiri, bagi yang berduit upayanya melalui general
check up. Tes menyeluruh itu meliputi kondisi jantung, paru-paru, ginjal,
darah, air kecing, organ reproduksi dll. Dari hasil tes kita bisa tahu status
kesehatan kita, ada apa dengan tubuh kita dan bagaimana selanjutnya menjaga
agar tetap sehat. Bagi yang tidak mampu, tentu tidak bisa berbuat banyak,
paling hanya merasakan bagaimana tingkat normalitas tubuh, akan terasa bila ada
yang sakit, ada yang tidak wajar. Bagaimana bila kerusakan tubuh tidak memberi
tetanda sakit ? Tentu akan sulit untuk diketahui dan bisa terlambat untuk diatasi.
Bagi mereka yang mau belajar memahami dan mengenal kondisi tubuhnya sendiri,
tentu akan lebih baik, lebih responsif terhadap abnormalitas pada tubuhnya. Mereka
akan makin bisa memahami signal-signal tubuh yang menandakan sesuatu hal yang
berbeda dan harus bagaimana menanggapinya.
Guruku pernah mengatakan bahwa
kunci dari hidup yang sehat atau tidak sehat
adalah bagaimana sikap dan pilihan kita ‘melayani rasa’ yang melingkupi kehidupan kita.
Kita harus mampu mengenalnya dan mengendalikannya, jangan sepenuhnya melayaninya,
orang jawa bilang ‘ ngono yo ngono tapi ojo ngono’, artinya semua harus
dibatasi sesuai dengan ‘keterbatasan’ tubuh kita. Ketika anda merasa tahan
terhadap rasa lapar dan anda merasa tangguh melakukan itu, maka yang kalah
adalah lambung anda, dinding lambung akan mengalami iritasi karena
jonjot-jonjotnya terus meremas tanpa ada
yang diremas. Ketika anda bekerja keras, tubuh terasa capai, tetapi anda tidak
perduli dan terus bekerja, maka tubuh akan mengatur keseimbangan dirinya
sendiri, kita akan merasakan tubuh menjadi lemah, mata mengantuk, pikiran tidak
bisa konsentrasi , di situlah titik di mana kita seharusnya melayani harapan tubuh
untuk istirahat. Kalau kita berupaya menolaknya ‘karena rasa takut’ pada bos karena
bisa jadi pekerjaan tidak selesai dengan asupan obat tertentu untuk melawan
kecenderungan tubuh, ya …. memang itu bisa dilakukan dan bisa merubah keadaan,
tapi sesungguhnya kita telah memilih mengalahkan tubuh menyakiti tubuh kita
sendiri.
Saya punya pengalaman ceroboh
yang hampir merenggut nyawanya sendiri akibat melayani rasa keinginan untuk
tetap menjalankan kendaraan walau kondisi ngantuk berat. Waktu itu saya mau
pergi ke Jogja untuk suatu acara. Seperti biasanya saya memilih berangkat dari
Malang tengah malam agar sampai Jogja pagi hari. Malang – Solo perjalanan lancer tidak ada
masalah, tetapi setelah istirahat dan makan gudeg di Manthingan rasa kantuk mulai
menyerang. Saya berpikir bahwa rasa kantuk itu hanya sementara, jadi karena berkendara
sendirian saya tetap lanjutkan perjalanan pelan-pelan. Di Klaten rasa kantuk
itu sedemikian hebatnya, sehingga saya sadar sering membawa kendaraan ke tengah
jalan. Lalu saya berkata pada diri sendiri, nanti kalau ada pom bensin saya mau
berhenti dan istirahat tidur. Beberapa kilo dari saya berujar sendiri ketemulah
pom bensin, tapi pom bensin itu ada di kanan jalan. Pikiran saya secara cepat
berguman ‘ ah nanti saja di pom bensin kiri jalan’. Kendaraanpun terus melaju,
rasa kantuk terasa dasyat, tapi keinginan terus jalan juga dasyat. Apa yang
terjadi akhirnya ? Beberapa kilometer dari pom bensin yang semestinya saya
istirahat. Saya menemukan diri saya tersadar dengan kendaraan yang nyungsep di
selokan pinggir jalan, suara mobil meraung, saya terbangun ketika orang-orang
berusaha membukakan pintu mobil untuk mematikan mesin mobil dan memastikan saya
tidak apa-apa. Saya beruntung menemukan orang-orang yang dengan iklas membantu
mengembalikan posisi mobil di jalan dan memungkinkan meneruskan ke Jogja
setelah istirahat. Saya ikut berpesan jangan sekali-kali ‘melayani rasa’
seenaknya, layani dia seperlunya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar