Pada suatu kesempatan ketika aku baru saja selesai diskusi kelas dan mencoba duduk-duduk di bangku serambi pasca, seorang sahabat datang dengan wajah gelisah, lalu duduk di bangku sebelahku. “Suamiku masih di kantor, bakalan lama aku harus menunggu.” Gumamnya pendek. “ Eh…kamu kelihatan tidak sehat ?!” Sambungnya lagi sambil menatapku. Ketika aku sedang mengangguk kecil bermaksud mengiyakan pertanyaannya, mulutnya nyerocos lagi. “Ok, jangan pulang dulu, kamu temani aku makan malam sambil nunggu jemputan suamiku. Bagaimana ?!”. Akupun tanpa pikir panjang menyetujuinya, dengan syarat cari makan yang sejalur dengan arah tempat kostku, dan sahabatkupun setuju.
Pilihan akhirnya jatuh pada ‘soto djayus’ dekat kebon bibit Bratang, yang rupanya juga untuk memudahkan suami sahabatku menemukannya. Sejurus ketika aku menikmati menu special di warung itu yaitu ‘soto telur ayam muda’, tiba-tiba sms masuk. Tetap sambil makan aku buka sms itu, ternyata dari temanku yang rodho ‘istimewa’. Bunyi smsnya: ‘……… dinner kok di soto Djayus, ……….’. Aku tertegun, nada smsnya tidak mengenakan. Aku sengaja diam, tidak menunjukkan pada sahabatku yang mengajak ‘makan’, takut itu akan membuat tersinggung dan luka hatinya. Aku sendiri menerima sms ‘darinya’ yang bernada merendahkan tidak cuma sekali ini. Jadi bagiku sudah tidak heran.
Pada satu sisi menyangkut sms dinner di soto djayus, aku ingin sampaikan bahwa tempat makan memang bisa memberi citra, insyaallah saya bisa dan pernah makan di tempat yang lebih istimewa dari yang 'nyelatu', tetapi saya punya asumsi sendiri bahwa boleh jadi makan di manapun sama yang penting bagaimana kita mampu tidak menciptakan suasana hati menerima dan menikmati pilihan kita. Pada sisi yang lain yang lebih penting, kita harus berani belajar untuk tidak ngurusi pilihan orang lain, harus mau belajar menghormati pilihan orang lain. Belakangan aku baru tahu ternyata sang teman ini tidak sekedar sms ke aku, tetapi juga memberitahukan ke orang-orang lain, dengan bumbu yang sedaaap. Apa maksudnya ?
Aku jadi ingat kata guru spiritualku, bahwa ‘cara bertutur kata, cara berpikir, cara bersikap adalah cermin dari kepribadian seseorang’. Pribadi santun akan ditunjukan oleh tutur dan cara berpikir dan sikap yang juga santun, pribadi yang sabar akan tergambarkan oleh tutur kata, raut wajah yang sabar dan cara berpikir juga yang sabar pula. Berkepribadian adalah proses, pilihan yang harus ditata, ditempa melalui sederatan pengalaman yang kemudian mengkristalkan pancaran kekuatan pribadi.
Seorang yang berkepribadian, tabu untuk usil dan mengurusi apa yang dilakukan orang lain. Tidak asal bicara, bahasa jawa gaulnya ‘ora asal njeplak’, tetapi tertata dan mampu memilih kata-kata yang proporsional. Bicarapun ‘umpan paran’ dan ‘umpan papan’ artinya bagi orang yang berupaya berkualitas ia faham pada dirinya, dan juga faham harus bagaimana bicara dengan siapa dan kapan harus bicara. Untuk itu bicara butuh asupan nilai ‘art, teposliro, tatakrama’, agar orang yang kita ajak bicara tetap meramahi - menghormati kita.
Mari kita coba memulai untuk tidak melukai hati orang lain, jaga kata-kata kita, jaga hati kita. Luka hati diterapi, diobati dengan cara apapun akan masih tetap meninggalkan goresan yang susah untuk dilupakan. Maka perlu sekiranya kita simak kata orang bijak yang menurut saya bisa menjauhkan kita dari ‘melukai hati’ orang. Minimal mulailah hiasi perkataan, pemikiran, dan laku empati kita dengan keramahan. Karena ‘keramahan dalam perkataan akan mampu menciptakan keyakinan dan kepercayaan, keramahan dalam pemikiran akan mampu menciptakan kedamaian, dan keramahan dalam kita memberi akan mampu memunculkan kasih sayang’. Begitu jeng !!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar