Selasa, 08 Juni 2010

PERLUKAH BERSEDIH ?



Lantaran mendapat informasi dari seorang teman yang tahu kalau aku punya blog yang sering mengulas tentang masalah sederhana kehidupan, seseorang yang merasa gagap teknologi bertanya padaku: Perlukah bersedih bila kita titinggalkan kekasih hati ? Ya, benar-benar pertanyaan sederhana yang sangat umum problemnya dijumpai di masyarakat, tetapi tidak pernah dipertanyakan secara kritis seperti ini.

Bersedih adalah sebuah ekspresi tubuh dan pikiran akibat adanya disorientasi harapan, dalam kontek pertanyaan di atas berarti ekspresi tubuh dan pikiran karena hilangnnya seorang kekasih hati padahal ia masih memerlukan belahan hati itu. Kata tanya ‘perlukah’ memiliki peran menekankan seberapa nilai ‘kebutuhan’ untuk menyikapi keadaan ‘sedih’ tersebut yang bila kita telusuri hal itu akan sangat berkait dengan status emosi masing-masing orang.

Sesungguhnya ekspresi bersedih atau berduka adalah hak setiap orang untuk mengekpresikaqn, bahkan mungkin tidak ada aturan yang melarangnya. Tetapi ketika diawali pertanyaan ‘perlukah’, maka ini tidak lagi merupakan pertanyaan sederhana karena pertanyaan tersebut masuk ranah yang jawabannya butuh cara pandang, cara berpikir yang lebih dalam menyangkut masalah itu.

Ketika aku didesak untuk segera menjawab, pengetahuan bawah sadarku, yang mungkin juga lantaran diwarnai status maskulinitas dan terhidupinya kesadaran intuitif spontan menjawab: ‘Tidak Perlu Bersedih !’. Alasannya apa ? Aku jawab belum tahu. Untuk alasan jawaban itu aku tulis di blog ini dan maaf agak sedikit terlambat postingnya.

Menurut ‘Guru’ metafisisku jawaban aku sudah benar. Kesedihan tidak perlu dan tidak tepat untuk alas an hilangnya seorang kekasih hati, terlebih bila kesedihan itu terjadi berlarut-larut hingga mengganggu anugerah kehidupan yang selayaknya kita jaga.

Sang Guru bertutur lebih lanjut: ‘bahwa ketika seseorang meratapi, menangisi hilangnya seorang kekasih hati, pada tahapan tertentu akan dapat membawa pada situasi bahwa ia merasa ia tidak bisa hidup tanpa kekasih itu, hidup akan tidak punya arti tanpa belahan hati itu. Maka pada tahapan ini secara tidak langsung yang bersangkutan telah menafikan keberadaan yang mengatur hidup.

Kelemahan kita yang setiap waktu disuguhi dan dilingkungi pengalaman fisik, nyata, terlihat, terasakan maka dengan susah akan mengakui yang ‘metafisis, tidak nyata, tidak terlihat, tidak terasakan’. Kekasih hati yang memberi pengalaman fisik, nyata, terlihat, terasa sesungguhnya tidak ada artinya, karena kalau kita cermati ‘hal fisik’ sering mengecewakan. Harus dibangun kesadaran bagi mereka yang sedang kehilangan ‘kekasih’, bahwa di luar kekasih fisik ada kekasih metafisis yaitu Allah. Bahwa hidup kita tentu masih punya arti mana kala kita punya keyakinan ‘percaya kepada Allah’, dengan ikhtiar, doa yang di bantarkan pada kesabaran maka permasalahan hidup menjadi ringan dan kita tidak perlu bersedih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar