Ada orang, atau sekali-kali aku mau gunakan terminologi 'engkau' saja ya. Hmmm.... Engkau bukan pemarah, engkau peramah, sopan dan dengan mudah memberi senyum pada mereka yang dikenalnya. Semua orang merasakan ketika berinteraksi dengan engkau, yang terasakan adalah kesan tipologi wajahmu yang mampu mengelola rasa yang menyejukan dan lebih kooperatif. Itulah kelebihan engkau. Seribu satu teman yang pernah melihat engkau berekspresi marah, apalagi mimiknya seperti di gambar atas.
Kebanyakan orang tentu setuju bahwa wajah yang teralu akrab dengan tipologi tertentu dan jarang mengekspresikan penggambaran emosi lain terutama yang bertentangan dengan emosi biasanya, Misalnya ekspresi marah, sedih, dan lain-lain. Tentu keadaan ini akan menyulitkan orang melihat, memahami dan kemudian membedakan yang bersangkutan sesungguhnya pikiran dan kecamuk batinnya sedang pada ekspresi apa. Bayangkan, jengkel pun masih tersenyum, sakit perut tidak mengeryit, mau pinsanpun masih bisa bergurau, tidak setuju tapi tidak ada mimik menolak, rindu tapi biasa-biasa aja. Bagaimana orang mau menerjemahkan kondisi sebenarnya ekspresi model sosok seperti ini. Dan itu aku jumpai pada 'engkau' .
Menariknya, bahwa sesungguhnya walau engkau lekat dengan ekspresi harmoni tertentu itu, seperti ramah, mudah tersenyum, tapi ada yang lupa teramati orang lain yaitu kadang 'pilihan kata' yang diucapkan, nada dan penekanan serta pola komunikasi yang muncul masih menunjukan kelugasan emosi yang sebenarnya, belum terbiasa mengikuti mimik muka yang sudah mewatak. Tetapi jangan heran bahwa fenomena inipun, kadang ketika dikonfirmasikan ke 'engkau' , maka sering dengan mimik yang sejuk meyakinkan akan menampiknya, bahwa itu tidak benar. Tetapi kalau sabar sedikit dan tekun aku ajak engkau bicara, maka 'emosi' yang sebenarnya akan keluar dari bibir, atau terekspresi dengan sendirinya.
Sesungguhnya 'sosok wajah' dengan harmoni kelembutan, keramahan tentu menjadi dambaan setiap orang normal yang ingin mempunyai 'nilai' secara sosial. Kenapa ada kursus kepribadian yang perlu diikuti oleh pejabat publik ? Ya, alasannya tidak jauh dari diperlukannya perangai yang terjaga untuk 'bernilai' menyenangkan, mengesankan orang lain. Tetapi menata perangai tidak harus mengelabui diri sendiri , mengorbankan perasaan diri sendiri, dan buntutnya juga merugikan diri sendiri. Ekskpresi jujur yang kontra dengan 'perangai lembut' tidak haram untuk ditampilkan, kita diberikan anugerah rasa dan ekspresi 'marah, cemburu, sedih, ' untuk bisa kita kelola menyempurnakan hidup.
Omong-omong, rasanya aku juga cenderung seperti engkau (masa ? ramah nggak, sopan hmmmm, murah senyum wo..., mulai menyembunyikan perasaan ya). Tapi.....He....he...he, itu karena sekarang aku banyak belajar pada kau ! Kemarin aku ketemu guru lakuku ia menasehati aku, mungkin bisa kau adopsi juga mungkin. Beliau berkata: "Berekspresi marahlah ketika engkau sedang marah, bersedihlah engkau saat ingin bersedih, tertawalah engkau kalau ingin tertawa. Yang penting engkau sadar, pada siapa, atas alasan apa serta kapan kau harus marah, harus sedih serta harus tertawa". Menyembunyikan harapan dan keinginan ekspresi tubuh sama saja memendam energi potensial tubuh yang pada saatnya bisa jadi bom waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar