Aku punya dua orang teman yang perangainya benar-benar bertolak belakang, kalau disitir dari cerita pewayangan barangkali dapat ditelusuri mungkin secara genetis mereka berdua tertirah dari dua trah gen yang berbeda yaitu : trah Astina dan trah Kurawa. Kalau keduanya bertemu selalu terjadi 'perang' yang tentu di landasai akibat perbedaan aktivitas ekspresi gen yang berbeda itu. Walau kelihatan diampun, mereka sesungguhnya sudah berseberangan pikirannya, yang satu cenderung berpikir positif dan yang lainnya berpikir negatif.
Berbagi cerita tentang perilaku teman yang jelek dari trah Kurawa saya pikir bukan hal yang utama, tidak baik menggunjingkan kejelekan teman. Maka ijinkan aku mau cerita tentang teman yang satunya saja, yang cenderung memvisualisasikan sosok yang mungkin bisa jadikan 'guru laku'. Konon lebih baik kita belajar dari pengalaman orang lain dari pada kita harus mengawalinya, harus kita akui berjalan di jalan yang sudah terbangun lebih mudah dari pada kita harus mengawali membuat jalan sendiri, kita harus menebas semak belukar, mengikis batu karang dan lain sebagainya.
Sisi baik teman yang ingin aku soroti pada tulisan ini adalah mengapa ia nampak melakukan banyak hal selalu bisa dilandasi dengan rasa 'senang hati' ? Siapapun mengakui bahwa satu teman itu, memiliki banyak sahabat dan bisa berkomunikasi baik dengan siapapun, sekalipun dengan mereka yang berseberangan pemikirannya. Ada hal menarik ketika aku bertandang ke tempatnya, Ada lukisan semi abstrak motif kaligrafi yang awalnya saya pikir itu benar-benar kaligrafi arab, eh... ternyata tulisan biasa. Ketika kita simak benar, akan terbaca: .....don't try to have thing that you love, .....but try to love thing that you have.
Dari kata-kata dalam lukisan itu, aku mulai mengajak tukar pikiran tentang hidup dan kehidupan. Menurut sang teman baik ini, semangat utama yang perlu dikembangakan untuk merengkuh kebahagiaan yang seluas-luasnya adalah ' bersyukur'. Orang sering lupa pada apa yang dimilikinya, apa yang telah dianugerahkan Allah padanya. Benar, ketika kita telah memdapatkan 9 dari 10 hal yang kita inginkan, pikiran kita tidak tercurah pada mensyukuri 9 yang telah kita peroleh tetapi justru terfokus pada 1 hal yang belum kita dapatkan. Dengan membiasakan bersyukur, rasa ketenangan akan terbangun dan hal itu akan membuat kita bisa menjalani hidup dengan hati yang senang.
Sang teman menyitir kata-kata sang bijak Imam Gozali yang intinya mengatakan: "Kebahagiaan yang sebenarnya dan lagi utama terletak pada kemenangan kita dalam memerangi hawa napsu dan menahan kehendak yang berlebih-lebihan". Maka dari itu membangun diri harus dilihat dalam kontek 'tidak untuk sendiri'. Pengembangannya perlu dengan semangat intropeksi, cobalah melakukan apapun dengan 'senang hati' agar feedbacknya juga bersenang hati. Upayakan kita sukses dengan melibatkan dan mengajak orang lain juga menjadi sukses. Berbagilah menyangkut hal yang baik, agar kebaikan itu tumbuh seperti virus merambah ke mana-mana, sehingga atmosfir kita makin menyenangkan.
Laku bersenang hati lahir dari semangat mencoba menikmati (baca: mensyukuri) apapun yang harus kita alami. Kalau kita tidak rajin menyuburkan rasa suka hati, siapa lagi yang harus melakukan. Bayangkan kit berada dalam bus tanpa ac lalu terjebak dalam kemacetan, kita diburu waktu untuk suatu acara, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Kalau kita jengkel, mangkel, marah akan banyak energi positif hilang dan kita akan dikuasai energi negatif yang makin menyesakan dada, sakit hati dan waktu jadi terasa panjang. Tetapi ketika persepsi kita rubah dengan semangat 'nikmati aja', misalnya dengan mengajak diskusi hal yang menarik dengan teman di sebelah kita, atau mengabadikan (memotret, menulis) momen itu atau menelepon teman, maka suasana hati tidak akan begitu gundah, lalu kita belajar bisa menerima kenyataan tak terduga itu. Itulah hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar