Kamis, 07 Juli 2011

PUASA BICARA



Seorang teman yang biasanya banyak bicara, banyak berpendapat lantaran pikirannya benar-benar banyak gagasan, kalau dalam diskusi terasa sering pikirannya mendominasi dan mudah dipahami yang lainnya, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat dan terasa banyak memilih diam. Apapun kondisinya ia lebih memilih diam, tidak banyak bicara, hemat gagasan, banyak member kesempatan orang lain bicara. Banyak orang jadi bingun merasakan hal tersebut, karena tidak ada penjelasan maka muncul berbagai spekulasi; bahwa sang teman lagi marah besar, lagi kecewa, lagi sakit hati, lagi sakit gigi, lagi ngambek, lagi protes dan berbagai alasan lain yang dipikir nyambung.


Sang teman pada suatu kesempatan pernah berbisik-bisik kepadaku, mengatakan bahwa apa yang didukakan teman-temannya kepadanya adalah salah semua, karena ‘kediaman’ dia sesungguhnya hanya sebuah ‘eksperimen’ kecil dia untuk mencoba ‘puasa bicara’ yang disarankan guru spiritualnya untuk dilakukan di luar kebiasaan puasa pada umumnya. Hikmah spiritual menyangkut apapun yang namanya puasa merupakan kegiatan mengendalikan diri, terutama mengendalikan dorongan napsu dan dorongan-dorongan hasutan setan untuk melakukan tindakan yang tidak disukai oleh Allah SWT.


Puasa bicara secara ideologis pernah dilakukan oleh Siti Maryam AS yang dikenal sangat santun dan saleh, kemudian harus menerima kenyataan ia ditakdirkan punya anak walau belum bersuami dan masyarakat mempertanyakan dan menghujat kenyataan itu. Atas perintah Allah SWT Maryam diminta untuk puasa bicara, tidak perlu menanggapi pertanyaan dan hujatan masyarakat. Perlakuan buruk masyarakat akhirnya bisa dihindari dan bahkan masyarakat bisa dicerahkan aspek spiritualitasnya dengan menyadari bahwa apapun bisa saja terjadi bila Allah SWT menghendaki.


Orang bijak mengatakan bahwa ‘puasa bicara’ adalah tindakan pengendalian yang dapat memperindah diri, karena dengan pengendalian bicara seseorang bisa menahan diri untuk tidak lepas kendali. Orang yang terlalu banyak bicara bisa lepas kendali, sehingga tanpa sadar menyampaikan hal yang bisa menyakiti hati orang lain, karena kata-katanya bersifat membuka aib, melaknat, menghina, kotor dan merendahkan. Kata-kata sering bisa lebih tajam dari pedang, bisa melukai yang lebih menyakitkan, bisa menimbulkan dendam tujuh turunan. Omongan yang tidak terkendali bisa membuat orang kehilangan kecintaan, kasihsayang, kehormatan, kepercayaan, tidak itu saja bisa menggiring seseorang masuk ke hotel prodeo yang berjeruji besi karena menjadi masalah hukum.


Puasa bicara pada kontek yang lebih konteplatif dengan nuansa kebeningan hati sesungguhnya merupakan upaya berdiam diri, ‘tafakur’ agar sensitifitas batin kita lebih terasah. Dengan memilih mengistirahatkan mulut berarti member ruang untuk hati kita yang lebih leluasa bicara banyak, lalu kita yang harus menjadi pendengar setia, sehingga bisa menajamkan mata, telinga dan pikiran kita sehingga mampu melihat, mendengar dan memikirkan hal-hal yang selama ini tidak mampu atau tidak sempat kita lihat, dengar, dan pikirkan. Ruh intropeksi bisa kita hembuskan terus menerus sehingga kita tidak bebal, tuli dari suara hati kita sendiri. Semangat spiritual bisa kita sentuhkan agar kita makin dekat dengan Allah SWT dan makin menjadikan kita selalu bersyukur, tidak gelisah terus-menerus karena masih merasa kurang dan kurang, masih merasa benar dan benar, masih merasa pintar dan pintar.


Kesalahan bicara bila kita rajin mengevaluasi diri tentu bisa saja terjadi pada kita, termasuk kesalahan bicara pada orang yang kita cintai. Mungkin saja kesalahan ini klimak yang tak tertahankan dan merupakan akumulasi ‘kemenerimaan’ sepihak yang tak kesampaian untuk diucapkan. Bisa saja karena kebebalan sepihak yang memang sulit menerima kritikan, sepihak yang toleransinya kurang, sepihak yang amat sensitif. Untuk itu sebaiknya semua orang juga sadar punya kewajiban ‘bercermin’, mencari sisi minus dari dirinya yang bisa memicu omongan orang yang menyakitkan. Cerna terlebih dulu ‘kata yang kita klaim menyakitkan’ itu, jangan-jangan itu memang sebuah kritik konstruktif dan sebuah kejujuran yang justru sedang dan akan menyelamatkan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar