Aku punya seorang guru, yang menurutku berbeda dengan guru-guruku yang lain. Sang guru ini kalau dicermati dari cara berpikir, ucapan, tindakan benar-benar menggambar seorang mahaguru yang diharapkkan kebanyakan orang. Orang Jawa bilang ‘sembodo’, apa yang diucapkannya sebagai ajaran bukan sesuatu yang kosong, cenderung klop antara yang diucapkan dengan tindakannya, dan pikirannya terbiasa tertantang untuk menjawab permasalahan riil di lingkungannya, tidak mau duduk manis di atas singgasana akademiknya yang sudah purna. Membaca pikirannya kita diajak untuk menyingsingkan lengan baju, mengasah kecerdasan, turun kemasyarakat, bersifat humanis berbaur menggali kearifan lokal, memupuknya dengan iptek yang ada untuk mendayakan, memandirikan dan mensejahterakan masyarakat.
Sang guru ini, kepada siapapun dekat, menghargai setiap orang dan sering menjadi penggagas, inspirator, motivator gerakan yang ruhnya bertumpu pada keinginan terwujudnya ‘peradaban wilayah membudaya dan teraktualisasi di masyarakat’. Upaya merengkuh ‘profesional pendidik masyarakat atau PROdikMAS’, lalu menyatukan gerak langkah sedang beliau lakukan. Beliau selalu menekankan bagaimana semestinya ada sinergitas dan integritas kerja dalam pengabdian kepada masyarakat, jangan sepotong-potong, sendiri-sendiri, kasuistik dan individual. Mudah-mudahan gerakan ini bisa menjadi virus yang cepat menular, menjadi warna baru gerakan pendidikan. Pendidikan memang seharusnya mencerahkan kehidupan masyarakat, harus menjadi penerang kegelalan, harus menjadi pendobrak kebuntuan, agar bisa berperan demikian perguruan tinggi sebagai ibu kandung ‘iptek’ harus berani mengaktualisasikan nya di masyarakat.
Sangat sulit barangkali, menemukan guru yang demikian di jaman seperti ini. Kebanyakan maha guru lebih asyik dengan berkutat di masyarakat kampus saja, sangat kurang aktivitas di masyarakat nyata. Problem yang banyak disentuh adalah problem-problem yang dibangun oleh pikirannya sendiri bukan problem riil yang ada di mayarakat. Jadi amat banyak pendidik di perguruan tinggi yang sesungguhnya tercerabut dari peran totalitas yang mesti disandangnya untuk mengembangkan Tri Darma secara berimbang. Mereka masih banyak cuma menjalankan darma pendidikan pengajaran dan penelitian, darma pengabdiannya sangat minus untuk tidak dibilang tidak ada.
Aku lebih angkat topi pada sang maha guru ini, karena semangatnya menghimpun orang-orang perguruan tinggi yang memiliki perhatian lebih pada aspek pengabdian kepada masyarakat, bahkan kemudian memopulerkannya dengan sebutan yang menarik yaitu ‘PROdikMAS’. Prodikmas adalah akronim dari Profesional Pendidik Masyarakat. Suatu sebutan yang layak sebagai penghargaan untuk orang-orang yang melawan arus peran di perguruan tinggi yang member keseimbangan tiga darma dengan semangat mengabdi pada persoalan riil di masyarakat. Tidak mudah untuk menjadi prodikmas kareana tuntutannya tidak sebatas menguasai iptek tapi harus humanis, mau susah bayah, iklas walau tanpa imbalan insentif sekalipun.
Menjadi prodikmas berarti menjadi guru yang dapat digugu dan ditiru. Bisa menerima kearifan local masyarakat dan tidak memaksakan teori-teori yang dipahaminya tetapi berupaya mengkonstruksikan sesuai kondisi dan harapan masyarakat supaya bisa diterima dan terbangun sebagai buah pikiran yang lebih terevaluasi. Menjadi prodikmas harus memiliki semangat tinggi, karena merubah masyarakat tidak bisa dilakukan secara cepat, secara instan tetapi butuh waktu dan kesabaran. Prodikmas harus menguasai hal-hal praktis, karena hal itu akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Mengajari masyarakat naik sepeda sangat naïf bila pengajarnya tidak bisa naik sepeda.
Sungguh akan sangat berarti bila kelahiran prodikmas terjadi di mana-mana, anggaplah separoh pendidik di perguruan tinggi bisa menjadi prodikmas atau ‘aktor perubahan’ di masyarakat maka perubahan hidup, kemadirian dan kesejahteraan masyarakat akan mudah tercapai. Tidak itu saja, kesuksesan pendidik mengetahui realita di masyarakat juga akan memberi kekuatan pada proses ‘pendidikan pengajaran’ nya di bangku kuliah, sehingga mahasiswa juga memahami hal riil masyarakat te3mpat nantinya ia kembali setelah lulus. Juga hal tersebut akan melahirkan ide-ide penelitian yang rasional dan cemerlang yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan lagi penelitian yang mendaki-daki tapi tidak ada manfaatnya bagi masyarakat sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar