Aku pernah menulis puisi yang
judulnya ‘hidup adalah topeng-topeng’, intinya dulu aku pernah berpikir bahwa adalah
sebuah kewajaran kalau manusia hidup sering menggunakan topeng. Ketika ia
merasa takut tapi malu untuk dikatakan takut maka ia berpura-pura menjadi sosok
yang berani, ketika ia merasa sedih tapi tidak ingin kelihatan sedih maka ia menjelma
menjadi sosok yang tegar dan gembira, ketika ia merasa malu termasuk miskin
maka ia menutupinya dengan bergaya sebagai orang kaya, ketika ia merasa kurang
tinggi maka ia memanipulasi dirinya agar tampak tinggi. Semua bukan sekedar
kepura-puraan, tapi lebih mengarah pada kebutuhan untuk hidup, hal tersebut terbukti
telah menenangkan dan ada pula yang menyenangkan serta bisa diterima, perilaku
kamuflase tersebut terjadi di mana-mana, kapan saja, dilakukan oleh siapa saja,
contoh kongkrit adalah hal yang dilakukan perempuan yang kita cintai, bibir
mereka sesungguhnya tidak merah, lalu dipoles merah menantang, pundak mereka
tidak datar mereka sumpal dengan spon di bajunya. Tapi semua kamuflase itu kita terima dan
bahkan menjadi menyukainya.
Anggapan wajar terhadap kebiasaan
hidup manusia untuk menyembunyikan realita yang dialami dan dirasakan dalam
hidupnya atau menggunakan kamuflase (baca: bertopeng) untuk menutupi kelemahan
dirinya justru sekarang menjadi sebaliknya. Menurutku bangsa ini justru makin
terpuruk karena makin maraknya mentalitas dan sikap tidak punya rasa malu,
munafik dan tidak takut berbohong dan bersumpah palsu. Topeng manis tetap terpancar
walau sudah terang benderang keburukan terungkap menyangkut dirinya, misalnya
saja kasus pada beberapa petinggi negeri ini walau jejak korupsi telah terkuak,
bukti-bukti terpaparkan, saksi-saksi bernyanyi tidak cuma satu orang, mereka
masih bisa menampiknya dan berkelit menyatakan tidak atau ‘beraksi menyatakan
‘lupa’’ terhadap hal-hal yang disangkakan padanya. Dan sepertinya sudah menjadi
‘orkestra’ yang baku akan menyuarakan kekompakan nada dan irama baik polisi,
jaksa, pengacara, dan hakim ikut mengalunkan tetabuhan yang jauh dari harapan
masyarakat untuk memerangi penyelewengan.
Kehidupan berbangsa dan bernegara
menjadi seperti penuh dengan sandiwara,
penuh kepalsuan, penuh topeng-topeng yang menutup wajah yang sebenarnya. Hukum
dan perundang-undangan bisa dipelintir-pelintir, bisa diatur sesuai negosiasi
dan kesepakatan yang dicapai atas prinsip ‘saling berbagi’. Tidak heran ‘mereka yang punya uang’, walau
sumbernya tidak berasal dari gaji halalnya, tetap saja uang itu yang bicara dan
menentukan. Bisa juga karena keburukan sudah meranah ke mana-mana mereka yang
tersangkut bisa saling takut menakuti, saling ancam mengancam untuk membuka
semuanya. Sehingga semestinya mereka yang harus menegakan hukum dan aturan di
negeri ini, justru sebagian besar berperan sebaliknya yaitu mengerogotinya dan
merusaknya. Alhasil kondisi carut marut ini sepertinya akan sulit berubah,
korupsi akan terus berjalan mungkin cuma bermetamorfosis menyesuaikan keadaan, benar
kata kata banyak demonstran bahwa membersihkan kotoran tidak bisa menggunakan
sapu yang kotor, harus menggunakan sapu yang bersih.
Mencari sapu yang bersih, atau
mencari orang-orang yang bersih sesungguhnya tidak susah. Saya termasuk orang
yang yakin masih banyak orang yang bisa memerangi ‘korupsi’. Tetapi kalau dalam
proses pecariannya selalu saja melibatkan orang-orang yang tidak bersih maka proses
‘kontaminasi’ akan selalu terjadi. Masuknya ‘orang bertopeng’ akan menyuburkan proses
tawar-menawar, proses pengotoran dan intimidasi. Setidaknya yang paling halus
dengan memasukan lebih banyak orang-orang mereka yang ‘bertopeng’ kesantunan
tetapi sesungguhnya bermental serigala, sehingga ketika terjadi identifikasi, konfirmasi, musyawarah
mencari bukti-bukti merekalah yang dominan. Sepuluh orang baik dengan 7 orang
berkebaikan semu atau cuma bertopeng moralis dan anti korupsi, bisa menegaskan
kenyataan ‘merah’ untuk disepakati menjadi berwarna ‘hijau’, mana kala tiga
orang yang benar-benar baik tetap pada pendirian berwarna ‘merah’ sesuai
realita maka pada akhir penyimpulan akan kalah karena skornya 7 lawan 3.
Guru spiritualku pernah bertutur,
bangsa ini harus mampu melahirkan generasi yang memiliki kekuatan cinta,
ketekunan, kesabaran dan penguasaan diri agar bisa terhindar dari malapetaka
kehancuran sebagai bangsa. Bangsa ini adalah bangsa yang tidak mencintai
negerinya yang elok, luas, kaya raya, subur makmur, rukun sentosa. Hutan
dibabati, tambang dieksplorasi gila-gilaan, pencemaran lingkungan di mana-mana
semua untuk keinginan instan dan kemakmuran segelintir orang. Kita telah lama
terbiasa tidak tekun dan sabar menjaga dan mengelola alam, negara tidak
bertanggung jawab menjalankan amanat undang-undang dasar memerintahkan
pengelolaan sumberdaya alam untuk sepenuhnya demi kemakmuran rakyat. Jujur
harus diakui eksekusinya adalah dikelola untuk segelintir atau sekelompok
orang, bahkan justru dampak negatifnya yang untuk masyarakat seperti: banjir,
tanah longsor, pencemaran, pemiskinan, dan lain-lain.
Kita merindukan lahirnya generasi yang memiliki kecintaan pada negeri dan sanggup memberikan
cinta untuk kejayaan pertiwi, generasi yang ditandai kemampuan mengalahkan
keinginannya untuk mementingkan diri sendiri; mereka adalah generasi yang
berketekunan yang akan memberi kekuatan memecahkan kesulitan dan pantang putus
asa; merupakan juga generasi berkesabaran yang akan memberi kekuatan untuk
menanggung segala sesuatu dan tidak pernah merasa disakiti karena apapun
keadaannya tetap ada usaha dan ikhtiar; semua juga merupakan generasi yang
mampu menguasai diri dengan tanda-tanda mampu menguasai napsu keduniawian
sehingga mereka selalu mau berbagi untuk sesame dan selalu bersyukur kepada
Yang Kuasa. Generasi tanpa ‘topeng’ ini suatu saat pasti akan lahir, karena
hidup dalam kepalsuan, kebohongan, kepura-puraan, omong kosong bukan tawaran
hidup yang menggembirakan dan menentramkan. Kegelisahan pasti akan melahirkan
peruba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar