Kamis, 13 Oktober 2011

TOPENG-TOPENG



Aku pernah menulis puisi yang judulnya ‘hidup adalah topeng-topeng’, intinya dulu aku pernah berpikir bahwa adalah sebuah kewajaran kalau manusia hidup sering menggunakan topeng. Ketika ia merasa takut tapi malu untuk dikatakan takut maka ia berpura-pura menjadi sosok yang berani, ketika ia merasa sedih tapi tidak ingin kelihatan sedih maka ia menjelma menjadi sosok yang tegar dan gembira, ketika ia merasa malu termasuk miskin maka ia menutupinya dengan bergaya sebagai orang kaya, ketika ia merasa kurang tinggi maka ia memanipulasi dirinya agar tampak tinggi. Semua bukan sekedar kepura-puraan, tapi lebih mengarah pada kebutuhan untuk hidup, hal tersebut terbukti telah menenangkan dan ada pula yang menyenangkan serta bisa diterima, perilaku kamuflase tersebut terjadi di mana-mana, kapan saja, dilakukan oleh siapa saja, contoh kongkrit adalah hal yang dilakukan perempuan yang kita cintai, bibir mereka sesungguhnya tidak merah, lalu dipoles merah menantang, pundak mereka tidak datar mereka sumpal dengan spon di bajunya.  Tapi semua kamuflase itu kita terima dan bahkan menjadi menyukainya.

Anggapan wajar terhadap kebiasaan hidup manusia untuk menyembunyikan realita yang dialami dan dirasakan dalam hidupnya atau menggunakan kamuflase (baca: bertopeng) untuk menutupi kelemahan dirinya justru sekarang menjadi sebaliknya. Menurutku bangsa ini justru makin terpuruk karena makin maraknya mentalitas dan sikap tidak punya rasa malu, munafik dan tidak takut berbohong dan bersumpah palsu. Topeng manis tetap terpancar walau sudah terang benderang keburukan terungkap menyangkut dirinya, misalnya saja kasus pada beberapa petinggi negeri ini walau jejak korupsi telah terkuak, bukti-bukti terpaparkan, saksi-saksi bernyanyi tidak cuma satu orang, mereka masih bisa menampiknya dan berkelit menyatakan tidak atau ‘beraksi menyatakan ‘lupa’’ terhadap hal-hal yang disangkakan padanya. Dan sepertinya sudah menjadi ‘orkestra’ yang baku akan menyuarakan kekompakan nada dan irama baik polisi, jaksa, pengacara, dan hakim ikut mengalunkan tetabuhan yang jauh dari harapan masyarakat untuk memerangi penyelewengan.

Kehidupan berbangsa dan bernegara  menjadi seperti penuh dengan sandiwara, penuh kepalsuan, penuh topeng-topeng yang menutup wajah yang sebenarnya. Hukum dan perundang-undangan bisa dipelintir-pelintir, bisa diatur sesuai negosiasi dan kesepakatan yang dicapai atas prinsip ‘saling berbagi’.  Tidak heran ‘mereka yang punya uang’, walau sumbernya tidak berasal dari gaji halalnya, tetap saja uang itu yang bicara dan menentukan. Bisa juga karena keburukan sudah meranah ke mana-mana mereka yang tersangkut bisa saling takut menakuti, saling ancam mengancam untuk membuka semuanya. Sehingga semestinya mereka yang harus menegakan hukum dan aturan di negeri ini, justru sebagian besar berperan sebaliknya yaitu mengerogotinya dan merusaknya. Alhasil kondisi carut marut ini sepertinya akan sulit berubah, korupsi akan terus berjalan mungkin cuma bermetamorfosis menyesuaikan keadaan, benar kata kata banyak demonstran bahwa membersihkan kotoran tidak bisa menggunakan sapu yang kotor, harus menggunakan sapu yang bersih.

Mencari sapu yang bersih, atau mencari orang-orang yang bersih sesungguhnya tidak susah. Saya termasuk orang yang yakin masih banyak orang yang bisa memerangi ‘korupsi’. Tetapi kalau dalam proses pecariannya selalu saja melibatkan orang-orang yang tidak bersih maka proses ‘kontaminasi’ akan selalu terjadi. Masuknya ‘orang bertopeng’ akan menyuburkan proses tawar-menawar, proses pengotoran dan intimidasi. Setidaknya yang paling halus dengan memasukan lebih banyak orang-orang mereka yang ‘bertopeng’ kesantunan tetapi sesungguhnya bermental serigala, sehingga  ketika terjadi identifikasi, konfirmasi, musyawarah mencari bukti-bukti merekalah yang dominan. Sepuluh orang baik dengan 7 orang berkebaikan semu atau cuma bertopeng moralis dan anti korupsi, bisa menegaskan kenyataan ‘merah’ untuk disepakati menjadi berwarna ‘hijau’, mana kala tiga orang yang benar-benar baik tetap pada pendirian berwarna ‘merah’ sesuai realita maka pada akhir penyimpulan akan kalah karena skornya 7 lawan 3. 

Guru spiritualku pernah bertutur, bangsa ini harus mampu melahirkan generasi yang memiliki kekuatan cinta, ketekunan, kesabaran dan penguasaan diri agar bisa terhindar dari malapetaka kehancuran sebagai bangsa. Bangsa ini adalah bangsa yang tidak mencintai negerinya yang elok, luas, kaya raya, subur makmur, rukun sentosa. Hutan dibabati, tambang dieksplorasi gila-gilaan, pencemaran lingkungan di mana-mana semua untuk keinginan instan dan kemakmuran segelintir orang. Kita telah lama terbiasa tidak tekun dan sabar menjaga dan mengelola alam, negara tidak bertanggung jawab menjalankan amanat undang-undang dasar memerintahkan pengelolaan sumberdaya alam untuk sepenuhnya demi kemakmuran rakyat. Jujur harus diakui eksekusinya adalah dikelola untuk segelintir atau sekelompok orang, bahkan justru dampak negatifnya yang untuk masyarakat seperti: banjir, tanah longsor, pencemaran, pemiskinan, dan lain-lain.

Kita merindukan lahirnya generasi yang   memiliki kecintaan pada negeri dan sanggup memberikan cinta untuk kejayaan pertiwi, generasi yang ditandai kemampuan mengalahkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri; mereka adalah generasi yang berketekunan yang akan memberi kekuatan memecahkan kesulitan dan pantang putus asa; merupakan juga generasi berkesabaran yang akan memberi kekuatan untuk menanggung segala sesuatu dan tidak pernah merasa disakiti karena apapun keadaannya tetap ada usaha dan ikhtiar; semua juga merupakan generasi yang mampu menguasai diri dengan tanda-tanda mampu menguasai napsu keduniawian sehingga mereka selalu mau berbagi untuk sesame dan selalu bersyukur kepada Yang Kuasa. Generasi tanpa ‘topeng’ ini suatu saat pasti akan lahir, karena hidup dalam kepalsuan, kebohongan, kepura-puraan, omong kosong bukan tawaran hidup yang menggembirakan dan menentramkan. Kegelisahan pasti akan melahirkan peruba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar