Malam ini, ramadlan telah beringsut ke hari yang ke 21. Aku sengaja beranjak dari rumah, ingin ke mesjid AR. Fahruddin di jalan menuju kota Batu, tempat di mana aku sering mendapat hikmah. Aku berkendara, berjalan seirama dengan kumandang orang mengeja ayat Al Qur'an. Di sepanjang perjalanan, walau waktu sudah di puncak malam kulihat orang-orang mulai berbondong-bondong mendatangi masjid, bergegas dengan niat yang kukuh, tidak peduli pada hawa dingin yang selalu membalut kota Malang. Masjid milik kampus Universitas Muhammadiyah Malang ini menjadi berbeda dari hari biasanya, mobil-mobil berjajar di parkiran. Di dalam orang-orang mengisi beberapa sudut-sudut masjid, mereka kebanyakan berzikir, ada juga yang sembahyang,....... tapi ada juga yang sekedar tiduran. Sepertinya semua berharap mendapat berkah 'malam lailatul qodar'.
Aku lihat di seberang masjid, ada orang tua berumur 60 tahunan mendorong gerobag angsle yang disinari lampu teplok. Wajahnya penuh keteduhan, nampak iklas menjalani lakon hidup sebagai penjual minuman khas jawa timuran itu. Kopiah hitam yang sudah mulai kumal adalah piranti yang melengkapi kekhasan tukang angsle yang akhirnya aku kenal bernama ' Zaenal'. Menurut ceritanya ia telah berjualan angsle selama 30 tahun, bekerja untuk menghidupi istri dan 4 anaknya. Kala bulan puasa, mulai berjualan sore menjelang magrib dan sering terpaksa harus berjualan hingga larut malam, seperti halnya malam ini. Pak Zaenal tidak sempat beritifkah atau bertadzabur di masjid, ia hanya iklas menjalani hidup berjualan angsle untuk keluarganya. Sholat tarawih ia lakukan setelah selesai berjualan dan ia lakukan sendiri di rumahnya, sangat jarang dan kecil kemungkinan ia dapatkan nikmat tarawih berjamaah, tapi ia selalu pasrah dan iklas.
Bertemu dengan pak Zaenal si tukang Angsle, berkecamuk dalam benak pikirku. Muncul pertanyaan-pertanyaan. Apakah orang seperti Zaenal masih bisa mendapatkan anugerah dan berkah malam lailatul qodar ? Apakah berkah malam seribu bintang hanya diperuntukan bagi mereka yang berkutat di masjid pada malam-malam dimungkinkan datangnya malam lailatul qodar ? Apakah tidak mungkin orang biasa-biasa saja, yang tidak terang-terangan memburu malam lailatul qodar, beribadah di sela perjuangan hidup yang sulit, tetapi ia selalu tawaqdu menjalani hidup.
Apakah tidak mungkin malam lailatul qodar bersinar di rumah pak Karto si tukang becak yang selalu memuliakanNya di biliknya yang sempit ? Bukankah Islam adalah agama yang manfaatnya berdimensi 'rahmatan lil alamin'. Tentu dengan melihat ranah 'rahmat bagi seluruh alam' itu, saya punya keyakinan bahwa barokah malam lailatul qodar itu dimensi barokahnya juga bersifat 'lil alamin', artinya siapapun yang ada di alam ini sebagai mahluk Allah SWT yang iman dan islam memiliki kesempatan bisa mendapatkannya. Lagi pula hanya Allah SWT yang mengetahui kepada siapa dan kapan barokah malam lailatul qodar akan diturunkan. Rizki memiliki kaki seribu, kalau itu hak kita di manapun ia akan menghampiri kita, pun demikian kalau itu bukan hak kita sedekat apapun ia akan menjauhi kita. Allahu Akbar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar