Untuk
sebuah penghormatan pada teman yang tinggal menjalani fase akhir menyelesaikan program
doktor, dari kantor mengirim satu rombongan ke Bogor menggunakan bus. Beberapa
teman protes dan mengumpat-ngumpat ketika mereka merasa didorong untuk mau
bersusah-susah tetapi saat berangkat baru tahu beberapa teman mereka justru mengambil
jalan yang mudah dan tidak susah serta tidak melelahkan, naik pesawat. Mana rasa toleransi dan kebersamaannya ? Memangnya
kita gak bisa beli tiket pesawat apa ? Demikian teriak yang lain, sementara yang
lainnya ada juga yang merasa dikibuli karena telah dijanjikan tersedianya
sarana transportasi yang lengkap dan nyaman, tetapi kenyataan jauh dari yang
diharapkan. Perjalanan dari Malang ke Bogor ditempuh selama 27 Jam, pulangnya
lebih hebat lagi karena harus ditempuh dengan waktu 30 jam plus bonus makin debar-debar
hati dan harus melalui proses ‘ngeban’ terlebih dahulu. Bagaimana tidak berdebar-debar
setelah mengetahui bahwa sang sopir ternyata yang sering nampak kelelahan dan
ngantuk telah kerja lembur empat hari sebelumnya
tanpa off pulang ke rumah atau istirahat yang cukup.
Seperti
halnya kebiasaanku, walau juga gelisah, aku mencoba mengajak teman-teman yang
gundah untuk tetap berupaya mencoba menikmati perjalanan yang telah kita pilih.
Berupaya meminimalisir hal buruk yang bisa saja terjadi. Aku salut atas kesabaran teman-teman. Ada
teman yang sangat perhatian pada sang sopir, kalau kelihatan capai atau ngantuk
berat maka kepada sang sopir diminta untuk menepi entah untuk alasan ke toilet,
istirahat, sholat atau makan, sementara kebutuhan untuk sopir dan kenet selalu
disediakan. Yang lain mencoba menghibur dengan bernyanyi, bersendau gurau, goda
menggoda, aku sendiri ikut bernyanyi atau menggoda anak teman yang lucu menggemaskan.
Kami diselamatkan oleh suasana tol jagorawi yang relative tidak ramai seperti
hari biasanya, juga jalanan yang tidak macet di jalan protokol kota Bogor, trus
dapat panduan dari kakakku yang mengarahkan lewat jalan baru lingkar Bogor
Utara sehingga yang prediksinya kami terlambat menjadi tepat waktu mengikuti
ujian terbuka sang teman.
Menurut
Guru Spiritualku, kesabaran adalah puncak dari perolehan. Jadi teman-teman yang
sudah mampu bersabar ditempa perjalanan
panjang melelahkan berarti telah lolos
ujian dan berada pada puncak perolehan, mereka mau susah dan senang bersama,
makan nasi indramayu seharga dua ribu perporsi pun dilahapnya dengan suka cita.
Pernah suatu waktu kepada para calon pemimpin Sang Guru bertutur, bahwa ada lima
(5) hal penting agar seseorang bisa dihormati omongan dan tindakannya. Satu, bisa mengerti , sadar dan mampu
mengaktualisasikan apa yang hak dan bathil; dua,
mampu memberi dan menerima nasehat yang baik; tiga, mengurangi perbedaan dan pertentangan dengan argumentasi yang
baik, yang benar sehingga akan dapat bersifat menyadarkan; empat, tetap memperlakukan dengan baik orang-orang yang
berseberangan paham dan gerakan, lawan-lawan, atau kompetitornya; lima, menjadi teladan, seorang terpercaya tidak cuma hanya
ngomong saja tapi menjadikan dirinya
sebagai panutan yang dalam tindakan.
Bagiku,
perjalan yang kami lalukan di penghujung tahun 2011 adalah sebuah ‘hikmah’,
sebuah perjalanan yang sarat dengan pembelajaran hidup. Satu, pembelajaran dari
sang teman yang akhirnya meraih gelar doctor, terbetik pembelajaran bahwa
hijrah dengan niat dan upaya yang kuat akan mampu merubah hidup. Kebetulan sang
teman adalah seorang sarjana peternakan, lalu S3 nya dia hijrah ke perikanan,
walau cukup alot perjuangannya aku melihat kehijrahannya telah merubah banyak kehidupannya, ada lompatan yang
tidak mungkin terjadi tanpa tindakan hijrah. Dua, perjalanan itu juga memberi
pembelajaran padaku bahwa beberapa ‘teman-teman’
telah beranjak menengah dan berada pada tingkat kematangan hidup yang cukup tinggi,
toleransi yang tinggi, kesabaran yang tinggi, tetapi sensitif pada sikap
diskriminatif dan disharmoni. Sebagian besar telah menempatkan ‘kualitas hidup’
menjadi hal yang mesti diutamakan, termasuk pementingan pada kesehatan tubuh.
Perjalanan
tersebut kata Guruku yang lain mestinya harus menjadi pembelajaran bagi siapapun
yang akan menjadi pemimpin, pemimpin apapun dan tingkat apapun, contohlah Rasulullah, walau beliau adalah
seorang pilihan Allah tetapi dalam memimpin beliau selalu: bersikap lemah
lembut, selalu memaafkan kesalahan orang lain betapapun besar kesalahannya
terhadap beliau, selalu memintakan ampun dosa dan kesalahan orang lain bukan
memanfaatkan kesalahan orang lain untuk penonjolan dirinya, selalu mengajak
bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu hal dan kosekuen dengan hasil musyawarah
itu, selalu bertawakal kepada Allah SWT dengan perencanaan dan sistem kerja
yang diupayakan matang. Aku berdoa
mudah-mudahan perjalanan di akhir tahun kemarin bisa menjadi perjalanan ‘spiritual’
teman-teman, mampu mencerahkan hati dan hidup kita. Amin.