(Maaf untuk anakku, kau,
teman Fabio 83 yang jadi ngumpul di PWT,
karena aku tidak bisa melunasi rindu)
Seorang teman lama tiba-tiba saja muncul di rumahku, rupanya dunia maya memudahkan tempat tinggalku diendus olehnya. Dalam sekejap kami jadi asyik, kami bertutur panjang lebar tentang hidup masing-masing, bayangkan dua puluh lima tahun kami tidak pernah berjumpa, jadi ketika berjumpa rasanya kami asyik melepas kekangenan. Sebagai ekspresi kerinduan, rasa hormat dan empati kami saling bercerita, aku merasa asyik mendengarkan apa saja yang ia katakana, pun kayaknya demikian sebaliknya ketika aku yang cerita, tentu tak lupa sambil makan singkong goreng hasil tanam sendiri. Harap maklum di kampung yang paling mudah disajikan ya makanan seperti itu, dan istriku paling tau bahwa menyajikan ‘singkong dan derivatnya’ itu lebih menarik bagi orang kota dibanding menyajikan kue kalengan yang mungkin sudah membosankan karena biasa mereka santap.
Berbincang dengan teman lama, seperti layaknya memutar film documenter, tiap cerita menjadi kan kita ingat banyak hal yang dulu pernah dialami bersama. Kadang kami jadi tertawa kalau kami ingat hal-hal yang lucu, kadang harus bersyukur karena solidaritas pertemanan kami benar-benar teruji, tapi kadang kami juga menjadi prihatin ketika teringat nasib buruk yang menimpa beberapa teman. Beberapa teman teman kami mati muda karena kecerobohan hidup dan kurang perhatiannya orang tua, ada juga sekarat karena obat-obatan, ada juga yang terpaksa kawin muda karena pacarannya kebablasan hingga hamil duluan. Kilas balik itu akhirnya melahirkan sebuah pertanyaan yang awalnya entah dari mana yang prinsipnya membuat kami diam. Pertanyaannya sederhana ‘ Apakah kamu bahagia ?’
Kami akhirnya diskusi tentang kebahagiaan, aku katakana pada temanku bahwa aku punya blog dan pernah menulis tentang kebahagiaan atau sedikit perenungan tentang bahagia. ‘Saya tertarik pada konsep dalam Islam tentang bagaimana sebaiknya kita selalu berusaha mencari jati diri sebagai hamba (makrifatullah). Memahami ‘kehambaan’ akan banyak membantu kita selalu syukur, tidak sombong dengan perolehan harta, kedudukan, ketenaran, kemolekan dan lain sebagainya. Menyukuri apa yang kita dapatkan setelah upaya kita menghidupi hidup, dan mampu memaknai dan mengevaluasi berbagai peristiwa yang menghiasi hidup kita termasuk yang menyedihkan sekalipun adalah ‘ruh bahagia’. Kataku padanya, ia tersenyum ketika kutunjukan blog cakrawala beningku.
Temanku satu ini adalah salah satu teman yang dari kecil suka pemikiran, aku ingat ia pernah membuat gaduh pengajian ahad pagi ramadhan di masjid besar di kota kelahiranku dengan bertanya hal mendasar tentang ke-Tuhan-an yang jelas-jelas sering menjadi wilayah tabu untuk ditanyakan bagi kebanyakan orang. Pertanyaannya kalau dicermati sudah mengarah ke ranah ‘filosofis’ tentunya. Contoh pertanyaannya rasanya tidak perlu saya sampaikan, yang jelas mempertanyakan keberadaan Tuhan tetapi sesungguhnya dimaksudkan untuk menguatkan keimanan.
‘Bahagia menurutku adalah sesuatu yang hanya bisa kita rasakan bila kita tidak menetapkan syarat apapun untuk itu. Kalau dengan syarat berarti kita masih belum bahagia sepenuhnya, belum iklas, mungkin masih kebahagian pribadi, sesaat, atau semu. Kebahagian tidak bisa dicari, kalau dicari berarti ada gambaran, ada ciri, ada ukuran, ada syarat. Kalau ada ukuran dan syarat tertentu mengenyangkut hal yang membahagiakan maka yang akan terjadi adalah kebahagiaan yang kurang atau kondisi yang kurang bahagia, lantaran ukuran dan syarat akan berubah mengikuti waktu dan rasa ketidakpuasan juga selalu muncul. Bahkan jika kebahagian kita kejar maka kebahagiaan itu akan makin menjauh dari kita. Kita mesti memahami ‘hakekat’ sumber yang menyebabkan perasaan yang demikian. Kebahagiaan sejati adalah anugerah Illahi yang akan datang sendiri manakala kita benar-benar layak dan siap menerimanya, jadi syarat justru bukan di kita, tetapi dari Allah’. Nah benarkan, kata-katanya menjadi sulit kita telaah manakala ia mulai bicara hakekat.
Sang teman kemudian mengibaratkan kebahagiaan seperti kupu-kupu, ada-ada saja pikirku. Sering kita lihat ketika jumpai kupu-kupu lalu kita kejar maka sudah dipastikan kupu-kupu itu akan terbang dan terbang makin menjauh, tetapi manakala kita diam jauh dari rasa ingin merengkuh kupu-kupu, justru kupu-kupu itu akan datang menghampiri kita dan tanpa takut dia hinggap di tubuh kita, mengajak bercanda dengan kita.
‘ Itulah kehidupan, untuk mendapat kebahagiaan sejati seseorang harus banyak bersyukur, berupaya membangun kesolehan diri dan keluarga, mencari dan berbagi rejeki dan harta yang halal, hidup dan menghidupi lingkungan yang agamis dan humanis, serta memanfaatkan barokah umur untuk selalu menempuh jalan yang diridhoi Allah. Kebahagiaan akan menghampiri siapapun yang mampu memahami bahwa segala sesuatu terjadi karena Allah, dari kesadaran itu akan melapangkan dada dan hati kita untuk selalu bisa menerima rejeki, nikmat, cobaan, godaan, dan tetap selalu bersyukur serta iklas memelihara kewajiban ibadah kita kepada Allah. Tidak perlu kita buat kriteria bahagia, yang perlu kita lakukan adalah memenuhi syarat agar kita bahagia seperti yang dijanjikan Allah ‘.