Senin, 25 Juli 2011

PROdikMAS




Aku punya seorang guru, yang menurutku berbeda dengan guru-guruku yang lain. Sang guru ini kalau dicermati dari cara berpikir, ucapan, tindakan benar-benar menggambar seorang mahaguru yang diharapkkan kebanyakan orang. Orang Jawa bilang ‘sembodo’, apa yang diucapkannya sebagai ajaran bukan sesuatu yang kosong, cenderung klop antara yang diucapkan dengan tindakannya, dan pikirannya terbiasa tertantang untuk menjawab permasalahan riil di lingkungannya, tidak mau duduk manis di atas singgasana akademiknya yang sudah purna. Membaca pikirannya kita diajak untuk menyingsingkan lengan baju, mengasah kecerdasan, turun kemasyarakat, bersifat humanis berbaur menggali kearifan lokal, memupuknya dengan iptek yang ada untuk mendayakan, memandirikan dan mensejahterakan masyarakat.


Sang guru ini, kepada siapapun dekat, menghargai setiap orang dan sering menjadi penggagas, inspirator, motivator gerakan yang ruhnya bertumpu pada keinginan terwujudnya ‘peradaban wilayah membudaya dan teraktualisasi di masyarakat’. Upaya merengkuh ‘profesional pendidik masyarakat atau PROdikMAS’, lalu menyatukan gerak langkah sedang beliau lakukan. Beliau selalu menekankan bagaimana semestinya ada sinergitas dan integritas kerja dalam pengabdian kepada masyarakat, jangan sepotong-potong, sendiri-sendiri, kasuistik dan individual. Mudah-mudahan gerakan ini bisa menjadi virus yang cepat menular, menjadi warna baru gerakan pendidikan. Pendidikan memang seharusnya mencerahkan kehidupan masyarakat, harus menjadi penerang kegelalan, harus menjadi pendobrak kebuntuan, agar bisa berperan demikian perguruan tinggi sebagai ibu kandung ‘iptek’ harus berani mengaktualisasikan nya di masyarakat.


Sangat sulit barangkali, menemukan guru yang demikian di jaman seperti ini. Kebanyakan maha guru lebih asyik dengan berkutat di masyarakat kampus saja, sangat kurang aktivitas di masyarakat nyata. Problem yang banyak disentuh adalah problem-problem yang dibangun oleh pikirannya sendiri bukan problem riil yang ada di mayarakat. Jadi amat banyak pendidik di perguruan tinggi yang sesungguhnya tercerabut dari peran totalitas yang mesti disandangnya untuk mengembangkan Tri Darma secara berimbang. Mereka masih banyak cuma menjalankan darma pendidikan pengajaran dan penelitian, darma pengabdiannya sangat minus untuk tidak dibilang tidak ada.


Aku lebih angkat topi pada sang maha guru ini, karena semangatnya menghimpun orang-orang perguruan tinggi yang memiliki perhatian lebih pada aspek pengabdian kepada masyarakat, bahkan kemudian memopulerkannya dengan sebutan yang menarik yaitu ‘PROdikMAS’. Prodikmas adalah akronim dari Profesional Pendidik Masyarakat. Suatu sebutan yang layak sebagai penghargaan untuk orang-orang yang melawan arus peran di perguruan tinggi yang member keseimbangan tiga darma dengan semangat mengabdi pada persoalan riil di masyarakat. Tidak mudah untuk menjadi prodikmas kareana tuntutannya tidak sebatas menguasai iptek tapi harus humanis, mau susah bayah, iklas walau tanpa imbalan insentif sekalipun.


Menjadi prodikmas berarti menjadi guru yang dapat digugu dan ditiru. Bisa menerima kearifan local masyarakat dan tidak memaksakan teori-teori yang dipahaminya tetapi berupaya mengkonstruksikan sesuai kondisi dan harapan masyarakat supaya bisa diterima dan terbangun sebagai buah pikiran yang lebih terevaluasi. Menjadi prodikmas harus memiliki semangat tinggi, karena merubah masyarakat tidak bisa dilakukan secara cepat, secara instan tetapi butuh waktu dan kesabaran. Prodikmas harus menguasai hal-hal praktis, karena hal itu akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Mengajari masyarakat naik sepeda sangat naïf bila pengajarnya tidak bisa naik sepeda.


Sungguh akan sangat berarti bila kelahiran prodikmas terjadi di mana-mana, anggaplah separoh pendidik di perguruan tinggi bisa menjadi prodikmas atau ‘aktor perubahan’ di masyarakat maka perubahan hidup, kemadirian dan kesejahteraan masyarakat akan mudah tercapai. Tidak itu saja, kesuksesan pendidik mengetahui realita di masyarakat juga akan memberi kekuatan pada proses ‘pendidikan pengajaran’ nya di bangku kuliah, sehingga mahasiswa juga memahami hal riil masyarakat te3mpat nantinya ia kembali setelah lulus. Juga hal tersebut akan melahirkan ide-ide penelitian yang rasional dan cemerlang yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan lagi penelitian yang mendaki-daki tapi tidak ada manfaatnya bagi masyarakat sekitarnya.

Sabtu, 23 Juli 2011

NYANYI SENDU DI TORAJA


................
kabut menyapa pandangku
dingin mengeryutkan pori-pori sekujur tubuhku
sejauh mata memandang cakrawala seperti beludru membalut bukit kapur
aroma bebungaan, cericit burung dan dendang tari anak-anak sekolah
aku terdiam di antara 'tongkonan' tempat kami singgah
dan merebah
terasa seperti di surga yang mengawang di atas awan
membuatku terkesima
di sini lagi-lagi kutemukan diriMU

................
sepanjang jalan sering aku lihat
cengkrama kerbau dengan burung sawah bersama petani yang tangguh
kadang di balik bilik kayu perempuan tua wajahnya bergurat kesabaran
memilin-milin kapas menjadi benang
menggerakan alat penenun dengan tangan dan kakinya yang perkasa
teman-temanku terharu biru

....................
di ujung perkampungan Pala'tokke ada Rambu Solo
orang-orang berkumpul di balai tongkonan
di rusuk tengah puluhan tanduk kerbau bicara ketokohan sang empunya
aku dengar nyanyi sendu di timpa gemerisik daun bambu
mewartakan kedukaan
lalu ada geliat darah puluhan 'todung' dan babi-babi
yang menggelepar di antara batu-batu megalitik
lalu doa-doa dilafalkan
gerak tubuh, tatap mata, kata hati
ditambatkan pada yang tak kasad
: persembahan padaMU

aku tak bisa berhitung
betapa besar pengabdian Tanah Toraja pada kematian
pada nyanyi sendu hilangnya orang tercinta
pada harapan kedamaian alam baka
.....................
di sini aku dibisiki
tak ada beda
semua kepercayaan menggariskan 'korban'
sebagai ujian keimanan
....................
untuk hidup ......
kekal bersamaMU.

Kamis, 07 Juli 2011

PUASA BICARA



Seorang teman yang biasanya banyak bicara, banyak berpendapat lantaran pikirannya benar-benar banyak gagasan, kalau dalam diskusi terasa sering pikirannya mendominasi dan mudah dipahami yang lainnya, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat dan terasa banyak memilih diam. Apapun kondisinya ia lebih memilih diam, tidak banyak bicara, hemat gagasan, banyak member kesempatan orang lain bicara. Banyak orang jadi bingun merasakan hal tersebut, karena tidak ada penjelasan maka muncul berbagai spekulasi; bahwa sang teman lagi marah besar, lagi kecewa, lagi sakit hati, lagi sakit gigi, lagi ngambek, lagi protes dan berbagai alasan lain yang dipikir nyambung.


Sang teman pada suatu kesempatan pernah berbisik-bisik kepadaku, mengatakan bahwa apa yang didukakan teman-temannya kepadanya adalah salah semua, karena ‘kediaman’ dia sesungguhnya hanya sebuah ‘eksperimen’ kecil dia untuk mencoba ‘puasa bicara’ yang disarankan guru spiritualnya untuk dilakukan di luar kebiasaan puasa pada umumnya. Hikmah spiritual menyangkut apapun yang namanya puasa merupakan kegiatan mengendalikan diri, terutama mengendalikan dorongan napsu dan dorongan-dorongan hasutan setan untuk melakukan tindakan yang tidak disukai oleh Allah SWT.


Puasa bicara secara ideologis pernah dilakukan oleh Siti Maryam AS yang dikenal sangat santun dan saleh, kemudian harus menerima kenyataan ia ditakdirkan punya anak walau belum bersuami dan masyarakat mempertanyakan dan menghujat kenyataan itu. Atas perintah Allah SWT Maryam diminta untuk puasa bicara, tidak perlu menanggapi pertanyaan dan hujatan masyarakat. Perlakuan buruk masyarakat akhirnya bisa dihindari dan bahkan masyarakat bisa dicerahkan aspek spiritualitasnya dengan menyadari bahwa apapun bisa saja terjadi bila Allah SWT menghendaki.


Orang bijak mengatakan bahwa ‘puasa bicara’ adalah tindakan pengendalian yang dapat memperindah diri, karena dengan pengendalian bicara seseorang bisa menahan diri untuk tidak lepas kendali. Orang yang terlalu banyak bicara bisa lepas kendali, sehingga tanpa sadar menyampaikan hal yang bisa menyakiti hati orang lain, karena kata-katanya bersifat membuka aib, melaknat, menghina, kotor dan merendahkan. Kata-kata sering bisa lebih tajam dari pedang, bisa melukai yang lebih menyakitkan, bisa menimbulkan dendam tujuh turunan. Omongan yang tidak terkendali bisa membuat orang kehilangan kecintaan, kasihsayang, kehormatan, kepercayaan, tidak itu saja bisa menggiring seseorang masuk ke hotel prodeo yang berjeruji besi karena menjadi masalah hukum.


Puasa bicara pada kontek yang lebih konteplatif dengan nuansa kebeningan hati sesungguhnya merupakan upaya berdiam diri, ‘tafakur’ agar sensitifitas batin kita lebih terasah. Dengan memilih mengistirahatkan mulut berarti member ruang untuk hati kita yang lebih leluasa bicara banyak, lalu kita yang harus menjadi pendengar setia, sehingga bisa menajamkan mata, telinga dan pikiran kita sehingga mampu melihat, mendengar dan memikirkan hal-hal yang selama ini tidak mampu atau tidak sempat kita lihat, dengar, dan pikirkan. Ruh intropeksi bisa kita hembuskan terus menerus sehingga kita tidak bebal, tuli dari suara hati kita sendiri. Semangat spiritual bisa kita sentuhkan agar kita makin dekat dengan Allah SWT dan makin menjadikan kita selalu bersyukur, tidak gelisah terus-menerus karena masih merasa kurang dan kurang, masih merasa benar dan benar, masih merasa pintar dan pintar.


Kesalahan bicara bila kita rajin mengevaluasi diri tentu bisa saja terjadi pada kita, termasuk kesalahan bicara pada orang yang kita cintai. Mungkin saja kesalahan ini klimak yang tak tertahankan dan merupakan akumulasi ‘kemenerimaan’ sepihak yang tak kesampaian untuk diucapkan. Bisa saja karena kebebalan sepihak yang memang sulit menerima kritikan, sepihak yang toleransinya kurang, sepihak yang amat sensitif. Untuk itu sebaiknya semua orang juga sadar punya kewajiban ‘bercermin’, mencari sisi minus dari dirinya yang bisa memicu omongan orang yang menyakitkan. Cerna terlebih dulu ‘kata yang kita klaim menyakitkan’ itu, jangan-jangan itu memang sebuah kritik konstruktif dan sebuah kejujuran yang justru sedang dan akan menyelamatkan kita.

Rabu, 29 Juni 2011

ISTIKHAROH


Sudah menjadi kodrat manusia bahwa ia tidak dicipta untuk tunduk, tetapi diberi alternatif. Sehingga tidak urung, hidup manusia selalu diliputi alternatif : ada pilihan. Pilihan-pilihan ini menuntut lahirnya sikap keberanian memilih, karena memang memilih tidak bisa tidak harus dilakukan manusia. Kita bisa pahami bahwa aktivitas memilih merupakan sesuatu hal yang pasti terus menerus dilakukan manusia, maka sesungguhnya jika seseorang tidak menentukan pilihan bukan berarti ia tidak memilih tapi ia telah memilih untuk tidak menanggapi pilihannya.


Sikap ragu selalu saja akan muncul di setiap gerak manusia, karena hidup manusia selalu diliputi bermunculannya pilihan-pilihan yang bisa jadi semua menjanjikan. Dan kebimbangan akan juga selalu lahir, karena dalam hidup harapan demi harapan juga menjadi tuntutan dan selalu mengalir.


Maka dari itu sikap orang terhadap hidup juga beragam. Ada yang menyatakan hidup itu sulit, ada pula yang mengatakan mudah. Saya ingin mencoba memandangnya sebagai suatu hal yang tidak perlu kita anggap sulit. Kesulitan yang paling dominan sesungguhnya bukan datang dari orang lain atau lingkungan kita tapi lebih banyak muncul dari diri kita sendiri.


Ragu, gelisah, takut, tidak percaya adalah merupakan sikap-sikap manusia yang cenderung menjadikan hidup itu terasa sulit. Sesungguhnya semua rasa gelisah yang acap kali muncul adalah merupakan kodrat bagi manusia dan tidak akan pernah terpisahkan dari manusia. Bukankah beberapa sifat manusia yang demikian secara tegas dimuat dalam Al Qur’an : tergesa-gesa (Al Isra’ 11), berkeluh kesah, gelisah (Al Ma’arij 19), putus asa bila ada kesusahan (Al Ma’arij 20).


Dengan sifat-sifat tersebut lahirlah dorongan penggunaan akal, lalu lahirlah pemikiran-pemikiran untuk menjauhkan rasa ragu, gelisah, takut dan ketidak percayaan diri. Pengalaman demi pengalaman meyakinkan seseorang akan sesuatu hal, ketajaman memahami sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, entah dialami secara pribadi atau dialami orang lain menjadi kunci untuk menentukan sikap terhadap fenomena masa depan. Semua sikap yang menjadi pilihan untuk dijalani sama-sama mengandung harapan dan tantangan, mengandung kepastian dan ketidakpastian. Dalam menentukan pilihan baru, pilihan masa depan, manusia tidak bisa menawar agar menjadi pasti sesuai prediksi, sebab keserbapastian bukan miliknya tetapi hanya milik Allah semata.


Hidup manusia diwarnai oleh adanya kebebasan memilih, dan selalu pilihan demi pilihan muncul, harapan demi harapan lahir. Disinilah bedanya mahluk yang dinamakan manusia. Semua ini menuntut kerja keras mental, fisik dan rasa agar kita mampu mengambil satu pilihan yang tepat. Apalah artinya memiliki seribu alternatif yang indah tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan menjadikan kita bingung. Juga janganlah kita tergila-gila hanya pada satu pilihan yang terbaik menurut kita tapi kenyataannya dari waktu ke waktu merupakan mimpi belaka. Padalah satu-satunya yang jelas pasti datang kepada siapa yang menunggu adalah hilangnya waktu dan bertambahnya usia. Kita memang harus bersikap supaya tidak sekedar mengembangkan harap, lalu tanpa sadar tergilas waktu.


Dalam hal apapun apabila kita harus memilih. Intropeksi menjadi sangat penting agar harapan demi harapan bisa kita benahi sekaligus kita sikapi. Mana yang pantas dan mana yang benar. Tidak salah bila kita berharap sesuatu yang terbaik, tidak salah, yang salah adalah bila kita terjebak pada harapan-harapan yang tidak kunjung bisa kita rengkuh. Biasanya waktu yang akan menyadarkan kita. Karena kita sering menuntut : bahwa segala sesuatu yang untuk kita mesti harus yang terbaik. Tanpa kita menyadari bahwa belum tentu kita bisa diterima sebagai sosok yang terbaik, belum tentu kita bisa memberi yang terbaik bagi orang lain yang kita harapkan yang tentunya mereka mempunyai ukuran yang terbaik baginya yang kita tidak pernah tahu.


Keadaan yang belum tentu ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang harus kita sadari dan kita terima. Ini merupakan tantangan bagi manusia. Karena manusia adalah mahluk berakal . Dan bila segala upaya rasional telah kita lakukan, dan rasa gemetar menentukan sikap masih tetap ada, rasa ragu masis menyelimuti sikap kita. Maka iskharoh adalah upaya yang selayaknya kita lakukan.


Guru spiritualku berpikiran, istikharoh adalah suatu usaha manusia untuk menagkap fenomena langkah ke depan yang baik untuk kita dengan mendekatkan diri pada Allah. Menangkap sesuatu yang masih abstrak, amat sulit. Dengan indra apa kita menangkap fenomena ini ? Semua indra kita sudah terlalu biasa hanya menangkap fenomena riil atau nyata, sesuatu yang nampak, yang dapat disentuh, diraba, atau didengar. Memahami sesuatu yang abstrak mesti harus dengan gerak hati. Keyakinan merupakan kunci yang bisa membuka semuai ini. Maka dalam istikharoh , ketajaman hati yang disertai dengan keyakinan yang mendalam dan iklas kepada Allah adalah sangat diperlukan. Sebab buah dari istikharoh tidak lain juga adalah satu keyakinan yang menghilangkan seribu pilihan lain yang sebelumnya membingungkan. Buah istikharoh menjadikan kita berani memilih satu pilihan, satu langkah atas nur Allah.


Nah, menurutku, kita garus selalu bahagia ! Bersyukur ! Bahwa sang waktu telah menjaga semangat kita. Detak harap memang harus selalu dilahirkan, agar tidak terhenti. Gairah harus dibangun terus, sebelum ia membeku. Mungkin benar bahwa hidup dapat diumpamakan sebagai gelas. Fungsi gelas tidak akan bermakna jika hanya sekedar ditandaskan isinya. Padahal mesti kita rajin, mengisinya, merawatnya, bahkan bisa mengoptimalkannya untuk berbagai fungsi yang pantas. Kalau kita bingung mengembangkan harap, mengoptimalkan hidup, menentukan pilihan di antara banyak pilihan, maka jalan terbaik adalah beristikaroh, sebab denga cara itu kita bisa dibimbing pada pilihan yang tepat.

Senin, 27 Juni 2011

KITA DAN PLASTIK




Kalau futurolog dunia meramalkan bahwa modernisasi dunia abad 21 mendatang akan banyak diwarnai 4 teknologi penting, yaitu : mikroelektronika, teknologi energi alternatif, aeronautika dan bioteknologi. Hal tersebut hampir pasti dapat dikatakan benar. Penduduk belahan bumi manapun secara umum dapat dikatakan telah terpukau dan bahkan tergantung pada sebagaian produk-produk teknologi itu contohnya TV, komputer, telpon, satelit, klon (produk teknologi kloning). Percepatan efektivitas, efisiensi, globalisasi adalah kenyataan yang dirasakan manusia akibat teknologi-teknologi tersebut.


Disamping ketergantungan pada teknologi di atas, sesungguhnya ada ketergantungan lainnya yang kurang diperhatikan manusia tetapi sesungguhnya telah mempengaruhi jauh pada kehidupan manusia bahkan kehidupan di bumi. Ketergantungan apakah itu ? Tidak lain adalah ketergantungan manusia pada apa yang disebut plastik. Plastik lahir dari teknologi kimia. Keluputan atau ketidaksadaran manusia tersirat pada dialog dibawah :
“ Hidup masa kini rasanya akan sukar tanpa kehadiran yang namanya plastik,” celoteh seorang gadis menor yang barangkali sadar bahwa dirinya sangat bergantung pada yang namanya plastik. Betapa tidak, di dalam tasnya yang juga terbuat dari plastik, ia ingat terdapat : sisir, dompet, pulpen, tilpon genggam, kotak bedak; di tubuhnya melekat kain nilon, kancing baju besar-besar, sal rambut, sabuk, jam tangan, bahkan rambut palsunya semua terbuat dari plastik.
“ Tapi saya benci plastik !! “ kata seorang lelaki di samping perempuan menor sambil terus menghisap rokok filternya. Rupanya laki-laki itu adalah perokok berat, hal tersebut terlihat dari cara merokok dan warna bibirnya yang menghitam.
“ Plastik menjadi pencemar berat lingkungan karena tidak terbusukan. “ lanjutnya.
“ Jangan munafik, anda benci plastik tapi tidak semua plastik. “ kata orang bekaca mata tebal turut bicara.
“ Maksud anda ?? “ tanya sang perokok.
“ Coba anda perhatikan rokok yang anda hisap, bukankah filternya terbuat dari plastik ? “ kata si kacamata. Sang perokok agak terperanjat, dan nampak sedikit malu sendiri. Orangnya diam, mungkin hanya hatinya yang membenarkan ucapan orang yang baru dikenalnya di halte bus. Inilah cermin ketidaksadaran manusia.


Memang benar sulit dipungkiri bahwa banyak segi kehidupan manusia yang telah tersentuh plastik tapi manusia tidak menyadarinya secara penuh seperti halnya sang perokok di atas. Mengapa demikian ? Jawabnya secara pasti barangkali belum pernah dicari. Hanya saja teknologi kimia plastik harus diakui memang telah berkembang sangat maju. Kelahirannya pun sudah cukup lama. Plastik paling sederhana pertama dibuat oleh Leo Baekelend di tahun 1907. Plastik tersebut dibuat dari fenol dan formaldehid yang kemudian diberi nama Bakelit untuk menghargai penemunya.

104 tahun waktu bagi perkembangan teknologi kimia plastik secara menakjubkan telah melahirkan berbagai produk, seperti : fenorokarbon, fotokronik, kapton, kulit sintetik, leksan, lusit, melamin, poliakrilik, polipropilina, polivinil dan lain sebagainya. Prosesnya pembuatannya mulai dari memerlukan hitungan waktu jam seperti nilon, menit seperti polietilena, dan detik seperti perekat cepat kering.


Istilah plastik sendiri mulai populer di tahun 1920-an akibat maraknya penelitian dan berkembangnya produk polimer sintetik yang dapat dikatakan lajunya kira-kira satu macam satu hari. Istilah plastik sendiri mempunyai maksud ‘ bahan yang dapat dibentuk’. Tentu saja tidak semua bahan yang dapat dibentuk tergolong plastik.


Ada 2 macam polimer plastik utama. Yang pertama disebut ‘termoplastic’ yang mempunyai maksud bahwa bahannya akan menjadi lunak secara teralihkan (reversible) bila dipanaskan dan segera mengeras bila didinginkan. Plastik ini dibentuk dengan cara ekstruksi (penarikan atau penekanan ke luar), injeksi (penuangan) atau pemampatan, dan biasanya digunakan untuk membuat serat, jas hujan, wadah es, dan beribu-ribu produk lainnya.


Golongan yang kedua disebut sebagai ‘thermosetting plastic’ dan bahannya terbuat dari zat yang berpolimerisasi secara tak terbalikan (ireversible) bila dipanaskan serta diberi tekanan, kadangkala dengan katalisator, kadang kala tanpa katalisator; dengan begitu bahan tersebut membentuk massa yang keras, kaku dan tak dapat dilebur. Satuan-satuan pembentuk plastik ini berupa molekul organik kecil yang berujud serbuk, butiran, atau cairan kental. Bahan ini dibentukdengan jalan dipanaskan agar berpolimerisasi hingga mencapai bentuk yang diinginkan. Hasil akhir golongan ini misalnya produk aneka perhiasan, mangkuk, piring, hingga kotak televisi; juga bisa menjadi busa kasur hingga kubah masjid seperti yang sekarang sedang diterapkan pada kubah masjid Agung Surabaya bahkan plasti ini dapat untuk lambung kapal sekalipun.


Disadari atau tidak disadari bahwa plastik memang telah terbukti mewarnai berbagai kehidupan manusia. Buku-buku yang kita baca sampul depannya tidak akan bagus dan mengkilap tanpa kehadiran pelapis polimer plastik. Baju yang kita pakai, resleting, kaca mata, sendal, sepatu, jok kursi yang diduduki, karpet yang tergelar di lantai, televisi yang kita lihat, komputer yang kita pakai, radio, sisir, sikat gigi, aneka barang pecah belah sangat mungkin terbuat dari plastik dan bila disebutkan terus akan menjadi daftar yang sangat panjang.


Plastik telah sukses mengganti bahan-bahan alamiah yang sebelumnya menjadi kebanggaan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia. Mulai dari kain yang dulu dibuat dan dirajut dari kapas, serat tetumbuhan, benag sutra kini diganti oleh sintetiknya yang bisa sangat variatif dari kenampakan, kehalusan, rasa saat dipakai, ketahanan, warna, motif dan lain-lain. Alat-alat perkakas dapur / ruamah tangga , juga banyak yang beralih dari bahan logam atau gelas ke plastik, seperti : piring, gelas, mangkuk, sendok, ember, botol, dan lain-lain. Berbagai pembungkus yang tadinya menggunakan daun, kulit pepohonan sekarang telah tergeser plastik. Meja, kursi, almari, karur dari bahan plastik juga semakin mendominasi rumah tangga.


Teknologi plastik memang tidak terbendung perkembangannya dan menggeser banyak kebiasaan dan kegemaran manusia. Plastik yang mudah dibentuk, dipoles, direkayasa semakin memanjakan manusia. Kecenderungan manusia yang menghendaki kepraktisan, hemat, bersih, tahan banyak terpenuhi oleh kehadiran plastik. Berbagai makanan, minuman instan hampir semuanya menggunakan kemasan dari bahan ini. Cobalah perhatikan apa yang terjadi di kantor- kantor, ruang tamu rumah-rumah di kota bahkan di desa. Tanaman dan bunga-bunga pehias meja atau interiornya telah bergeser dari tanaman dan bunga-bunga alami ke bentuk-bentuk sintesisnya yang nyaris persis.


Fenomena penggunaan bahan plastik dalam kehidupan manusia sudah dapat dikatakan telah memasuki segenap aspek kehidupan. Dari aspek kehidupan sosial hingga aspek kehidupan pribadi misalnya penggunaan kondom dalam kegiatan seksual yang umumnya tertutup. Manfaat dan ketergantungan pada plastik dirasakan di berbagai bidang, misalnya : antariksa, arsitektur, agronomi, oseonografi, rancang komputer, kedokteran, biologi, teknik sipil, bioteknologi, aeronotika, perminyakan dan lain-lain.


Banyak hal yang menjadi kenyataan sekarang, padahal pada tahun 1960-an hanya merupakan ramalan para ahli plastik terhadap produk kecanggihan teknologi fisika- kimia plastik. Beberapa hal yang dulu hanya merupakan gagasan itu, misalnya : rumah plastik yang praktis, organ pengganti tubuh manusia yang rusak (kornea mata, katup jantung, paru-paru, dada sintetik, otot jantung, tulang rawan dan membran selofan untuk mengatasi ginjal yang rusak), pengumpul energi, pengganti dan peringkas buku-buku perpustakaan, halaman dan lapangan rumput plastik, taman dengan tata lingkungan plastik, jalan karet sintetik, bendungan plastik, lambung kapal. Amerika mampu membuat plastik khusus untuk melindungi logam terhadap suhu 2.200 °C untuk jangka waktu pendek sebagai pelapis ruang pembakaran mesin roket, cerobong sembur, dan moncong pesawat antariksa.


Dengan memperhatikan teori-teori, azas dan teknologi yang sekarang telah dikuasai, pa a ahli plastik membangun mimpi p nggunaan plastik di masa yang akan datang. Mungkinkah 10, 20, 50 tahun yang akan datang plastik akan menjadi bahan perumahan yang mudah dibentuk dan aman dari kebakaran, plastik sebagai membran elektrodialisis dan osmosis balik sebagai sarana penyedia air minum bersih dari air laut atau untuk mengatasi pencemaran, plastik sebagai pelindung logam pada mesin apapun bahkan plastik sebagai mesin itu sendiri ( sekarang masih pada arloji), plastik untuk membangun rumah di bulan, plastk untuk bahan utama kerangka dan bodi mobil, kapal, pesawat, kereta api sehingga memungkinkan efisiensi pembuatannya ataupun dalam kebutuhan energi, plastik juga diharapkan mampu mengatasi problem cuci darah, pengendalian penyakit, problem genetik dan bahkan ada gila menggagas tentang sintetik kehidupan.

Dalam era krisis ekonomi, banyak barang dan bahan kebutuhan pokok masyarakat harganya naik secara tak terduga. Barang yang naik umumnya adalah barang yang banyak diperlukan masyarakat. Barang tersebut bisa bahan pangan yang setiap hari harus dikomsumsi, bahan bakar, bahan bangunan dan bahan-bahan lain yang sangat diperlukan masyarakat dan sudah sulit digantikan alternatif penggantinya. Kenaikan harga biasanya dipicu oleh langkanya barang, permintaan pasar yang sangat besar atau karena terjadi kenaikan biaya produksi.


Bersama-sama dengan kenaikan harga beras, minyak goreng, susu, minyak tanah, telur, daging, semen, besi beton ternyata plastik harganya juga ikut-ikutan naik. Bahkan kenaikan harganya ini sempat menjadi alasan untuk kenaikan barang dan bahan lain terutama yang menggunakan plastik sebagai bahan kemasannya. Alasannya bahwa harga bahan bakunya naik. Saya pernah mbaca (lama sekali) polyfinylchloride harganya Rp.72.000 per kg, sekarang tentu sudah jauh berbeda.


Kenaikan harga plastik sangat dirasakan para pedagang dipasar, toko-toko, ibu-ibu rumah tangga yang terbiasa menggunakan plastik sebagai sarana pembungkus. Tas plastik umumnya harganya naik dua kali lipat, demikian pula kertas pembungkus berplastik, plastik es, plastik untuk menaman (polybag), mulsa plastik dan lain-lain. Keadaan sulit demikian ternyata tidak menyurutkan penggunaan plastik bagai mereka. Bukankah ini semakin meyakinkan bahwa manusia sudah sangat bergantung pada plastik.


Pada sisi lain kehadiran plastik, selesai pakai dibuang dan bila terakumulasi di alam akan menjadi pencemar lingkungan yang tidak dapat didaur ulang bakteri. Hal ini akan mengganggu proses-proses alamiah yang semestinya terjadi di alam, seperti proses pembusukan, penguraian, peresapan air, dan lain sebagainya. Padahal proses-proses tersebut adalah merupakan kunci terjadinya daur energi dan daur biogeokimia yang memungkinkan terjaganya kelangsungan kehidupan organisme yang ada di muka bumi ini.


Lebih buruk lagi, mana kala manusia semakin merasa lebih baik memelihara tanaman-tanaman plastik, bunga-bunga plastik, hiasan-hiasan plastik, ornamen plastik karena dianggap lebih praktis, tidak repot pemeliharaannya, resiko kecil, dan lebih-lebih lagi sifat yang tidak mudah rusak sehingga dianggap kekal. Tidak seperti bila memelihara tanaman atau bunga-bunga alami , maka harus dirawat, dipupuk, disiram dan dikendalikan hama dan penyakit yang mungkin muncul. Hal ini tidak mustahil akan melahirkan penyakit syirik baru, yaitu orang tidak lagi mencintai mahluk Allah dan sistem alamiahnya yang fana dan tergila-gila pada apa yang seolah-olah kekal.


Akankah teknologi menjadi bumerang bagai kehidupan manusia ? Harus bagaimanakah manusia ? Marilah kita coba renungkan ! Jangan tanya pada rumput yang bergoyang saja, tapi bertanyalah dan kembalilah pada titah Dzat yang menjadikan rumput dan alam ini.

Rabu, 22 Juni 2011

PROF. GOYANG BOKONG



Ada terminologi menarik yang aku dapat ketika aku mengikuti ujian terbuka program doktor di lantai tiga gedung Pascasarjana Universitas Airlangga. Promovendus yang berasal dari Batam mencoba menggambarkan tingkat kepuasan kerja dosen di Propinsi Kepulauan Riau akibat faktor komitmen dan budaya organisasi PTS tempat mereka kerja. Terus terang tulisan ini jelas tidak akan mengupas hasil penelitian temanku ini, tetapi mencoba menggelitiki terminologi yang muncul sebagai respon penyimpulan sang promovendus. Terminologi itu adalah kata ‘profesor’ dan ‘goyang bokong’, yang kritis keluar dari salah satu profesor penguji ketika ada kecenderungan penyimpulan bahwa profesi dosen belum menjadi profesi yang memuaskan dan prestisius.


Sang profesor yang rambutnya sudah memutih berujar, bahwa membandingkan ‘nilai’ tingkat kepuasan suatu profesi tidak bisa diukur hanya dengan melihat dan mengukur dari satu sisi saja, terlebih lagi ditekankan pada aspek perolehan materi. Bayangkan saja kalau kita menilai atau membandingkan ‘nilai’ tingkat kepuasan dan prestasi kerja antara seorang ‘profesor’ dengan seseorang yang mempunyai kerja ‘goyang bokong’. Dua profesi yang akan kita bandingkan keduanya sama-sama bekerja professional dan mampu memberi kepuasan dan prestasi kerja yang bagus. Bagi sang professor, ia merasa telah ‘memiliki nilai’ kepuasan dan prestasi yang jelas berbeda dan membanggakan.


Gelar professor dapat diraih seseorang mana kala yang bersangkutan sudah Doktor, artinya sekarang ini untuk menjadi professor maka seseorang harus melalui jenjang pendidikan yang lengkap mulai dari TK, SD, SMP, SMA, S1, S2, S3. Tidak itu saja disyaratkan juga harus punya prestasi , karya yang terukur, dan memenuhi ketentuan menyangkut tiga darma, yaitu: pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan terakhir presiden berkenan mengangkatnya. Jelas untuk menjadi seorang professor prosesnya tidak mudah, harus melalui proses yang panjang , dan makin hari persyaratan makin bertambah sulit. Kinerja professor insentif gajinya berkisar antara 11 – 15 jutaan rupiah per bulan, itu sudah akumulatif gaji dan tunjangan profesornya. Harus diakui jumlah itu masih kalah jauh dengan gaji orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan yang harus presiden yang menentukan, seperti menteri, jaksa agung, hakim agung, kapolri, direktur BI dan lain sebagainya.


Seorang pekerja ‘goyang bokong’ tidak perlu belajar berjenjang, kadang bisa juga SD saja tidak lulus, tidak perlu melakukan aktivitas kegiatan yang terukur dari berbagai aspek, hanya dituntut mampu menjaga penampilan diri, gaya komunikasi, servis, dan ‘gaya binal’ nya. Siapapun dapat meraih pekerjaan ini dengan mudah, tidak perlu waktu berlama-lama, hanya kalau mau professional tentu untuk kerja apapun belajar menyangkut lika-liku kerja itu penting, tidak sesulit untuk menjadi professor. Gaji seorang pekerja ‘goyang bokong’ yang professional akan mudah melampaui gaji seorang professor, dalam hitungan perbulan jumlahnya bisa berlipat-lipat dari jumlah yang diterima professor, bahkan bukan hal yang aneh bila ada yang menerima ratusan juta untuk tampil sekali goyang.


Pada pekerjaan ‘goyang bokong’ bisa jadi merupakan sebuah ‘ambiguitas’ profesi, satu sisi banyak kemudahan, gaji besar dan sisi lainnya bukan menjadi kehormatan untuk menjalani profesi demikian. Untuk itu ‘nilai’ kepuasan dan prestasi kerja tidak bisa dinilai dari satu sisi, terlebih hanya dinilai dari sisi material saja. Seorang professor yang pendapatannya lebih kecil dari dari penghasilan seorang ‘pegoyang bokong’ bukan berarti dia ‘nilainya’ lebih rendah. Ada aspek capaian lain yang harus dipertimbangkan, misalnya: aspek kehormatan, aspek status socsal, aspek moral, kenyamanan kerja, ketenangan hidup, pengetahuan. Banyak uang tetapi tidak memiliki kehormatan, dianggap amoral, hidup dalam situasi was-was apakah layak kita nilai ‘kepuasan dan prestasi kerja’nya tinggi ? Sementara sebagai professor dengan uang cukup dan aspek kehormatan, aspek status socsal, aspek moral, kenyamanan kerja, ketenangan hidup, pengetahuan melengkapi atribut hidupnya layakah dianggap merupakan profesi ‘ kurang memuaskan’ ?


Guru spiritualku berkomentar, banyak capaian hidup yang ujudnya bukan material yang sering tidak diperhatikan karena manusia sudah berkecenderungan bersikap sangat materialistik, jadi yang diukur hanya yang serba materi. Pada kondisi demikian orang cenderung ‘buta mata’ nya dan tidak mampu memperhatikan dan membangun kebijakan soalial, spiritual dan moralnya, sebagai representasi sebagai manusia si mahluk yang beradab. Maraknya orang-orang yang tidak malu dan tidak merasa bersalah melakukan tindakan korupsi, penipuan, bohong, merupakan gambaran masyarakat kita yang makin tercerabut dari kepositifan dan kearifan hidup. Untuk itu evaluasi menyangkut kecenderungan kita yang relatif ‘materialistik’ harus kembali disuarakan, perjuangan harus dilakukan untuk menguatkan aspek spiritualitas, kebajikan sosial, dan moralitas agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang ternistakan.

Minggu, 19 Juni 2011

CERITA KITA


di remang malam
tak kusangka
kembali aku dengar tawamu
lepas seperti tak ada kendali………..
mata dan rona pipimu membisukan kata-kataku
bicaramu seperti kicau burung pagi hari
memecah kerinduan yang lama tak pernah terobati
setelah masing-masing memilih jalan yang terpisah
karena tidak bisa menyatu

aku bisikan pada sang malam
kau sempurna seperti purnama
makin berbinar mempesona
kemolekanmu
menggoda hasrat purba yang lama tersimpan
tetapi kesadaran dan rasa hormat
lebih berkuasa

aku teringat......
sering aku katakan pada rumput-rumput ilalang
celoteh anak-anak kampung
terbanyang tempat dulu kita sering bertemu
merenda harap yang tak terselesaikan
yang tak disuburi oleh keyakinan kita
perlu kau tahu.....
bahwa harum lembar suratmu yang pertama dulu
di alam bawah sadarku ia masih terpateri
sering mendebarkan jantungku
ketika membauinya……
sampai kini

kini waktu telah mendewasakan kita
tak perlu mengurai kegundahan yang lalu
aku dan kau tak lagi sendiri
ada cerita kenangan masa lalu sebagai hikmah
ada kesadaran masa kini sebagai realita
aku dan kau seperti anak wayang
yang DIA lakonkan sebagai sepenggal cerita
: cerita kita

jenggala malam, 1306
ada kita bertiga