Ada terminologi menarik yang aku dapat ketika aku mengikuti ujian terbuka program doktor di lantai tiga gedung Pascasarjana Universitas Airlangga. Promovendus yang berasal dari Batam mencoba menggambarkan tingkat kepuasan kerja dosen di Propinsi Kepulauan Riau akibat faktor komitmen dan budaya organisasi PTS tempat mereka kerja. Terus terang tulisan ini jelas tidak akan mengupas hasil penelitian temanku ini, tetapi mencoba menggelitiki terminologi yang muncul sebagai respon penyimpulan sang promovendus. Terminologi itu adalah kata ‘profesor’ dan ‘goyang bokong’, yang kritis keluar dari salah satu profesor penguji ketika ada kecenderungan penyimpulan bahwa profesi dosen belum menjadi profesi yang memuaskan dan prestisius.
Sang profesor yang rambutnya sudah memutih berujar, bahwa membandingkan ‘nilai’ tingkat kepuasan suatu profesi tidak bisa diukur hanya dengan melihat dan mengukur dari satu sisi saja, terlebih lagi ditekankan pada aspek perolehan materi. Bayangkan saja kalau kita menilai atau membandingkan ‘nilai’ tingkat kepuasan dan prestasi kerja antara seorang ‘profesor’ dengan seseorang yang mempunyai kerja ‘goyang bokong’. Dua profesi yang akan kita bandingkan keduanya sama-sama bekerja professional dan mampu memberi kepuasan dan prestasi kerja yang bagus. Bagi sang professor, ia merasa telah ‘memiliki nilai’ kepuasan dan prestasi yang jelas berbeda dan membanggakan.
Gelar professor dapat diraih seseorang mana kala yang bersangkutan sudah Doktor, artinya sekarang ini untuk menjadi professor maka seseorang harus melalui jenjang pendidikan yang lengkap mulai dari TK, SD, SMP, SMA, S1, S2, S3. Tidak itu saja disyaratkan juga harus punya prestasi , karya yang terukur, dan memenuhi ketentuan menyangkut tiga darma, yaitu: pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan terakhir presiden berkenan mengangkatnya. Jelas untuk menjadi seorang professor prosesnya tidak mudah, harus melalui proses yang panjang , dan makin hari persyaratan makin bertambah sulit. Kinerja professor insentif gajinya berkisar antara 11 – 15 jutaan rupiah per bulan, itu sudah akumulatif gaji dan tunjangan profesornya. Harus diakui jumlah itu masih kalah jauh dengan gaji orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan yang harus presiden yang menentukan, seperti menteri, jaksa agung, hakim agung, kapolri, direktur BI dan lain sebagainya.
Seorang pekerja ‘goyang bokong’ tidak perlu belajar berjenjang, kadang bisa juga SD saja tidak lulus, tidak perlu melakukan aktivitas kegiatan yang terukur dari berbagai aspek, hanya dituntut mampu menjaga penampilan diri, gaya komunikasi, servis, dan ‘gaya binal’ nya. Siapapun dapat meraih pekerjaan ini dengan mudah, tidak perlu waktu berlama-lama, hanya kalau mau professional tentu untuk kerja apapun belajar menyangkut lika-liku kerja itu penting, tidak sesulit untuk menjadi professor. Gaji seorang pekerja ‘goyang bokong’ yang professional akan mudah melampaui gaji seorang professor, dalam hitungan perbulan jumlahnya bisa berlipat-lipat dari jumlah yang diterima professor, bahkan bukan hal yang aneh bila ada yang menerima ratusan juta untuk tampil sekali goyang.
Pada pekerjaan ‘goyang bokong’ bisa jadi merupakan sebuah ‘ambiguitas’ profesi, satu sisi banyak kemudahan, gaji besar dan sisi lainnya bukan menjadi kehormatan untuk menjalani profesi demikian. Untuk itu ‘nilai’ kepuasan dan prestasi kerja tidak bisa dinilai dari satu sisi, terlebih hanya dinilai dari sisi material saja. Seorang professor yang pendapatannya lebih kecil dari dari penghasilan seorang ‘pegoyang bokong’ bukan berarti dia ‘nilainya’ lebih rendah. Ada aspek capaian lain yang harus dipertimbangkan, misalnya: aspek kehormatan, aspek status socsal, aspek moral, kenyamanan kerja, ketenangan hidup, pengetahuan. Banyak uang tetapi tidak memiliki kehormatan, dianggap amoral, hidup dalam situasi was-was apakah layak kita nilai ‘kepuasan dan prestasi kerja’nya tinggi ? Sementara sebagai professor dengan uang cukup dan aspek kehormatan, aspek status socsal, aspek moral, kenyamanan kerja, ketenangan hidup, pengetahuan melengkapi atribut hidupnya layakah dianggap merupakan profesi ‘ kurang memuaskan’ ?
Guru spiritualku berkomentar, banyak capaian hidup yang ujudnya bukan material yang sering tidak diperhatikan karena manusia sudah berkecenderungan bersikap sangat materialistik, jadi yang diukur hanya yang serba materi. Pada kondisi demikian orang cenderung ‘buta mata’ nya dan tidak mampu memperhatikan dan membangun kebijakan soalial, spiritual dan moralnya, sebagai representasi sebagai manusia si mahluk yang beradab. Maraknya orang-orang yang tidak malu dan tidak merasa bersalah melakukan tindakan korupsi, penipuan, bohong, merupakan gambaran masyarakat kita yang makin tercerabut dari kepositifan dan kearifan hidup. Untuk itu evaluasi menyangkut kecenderungan kita yang relatif ‘materialistik’ harus kembali disuarakan, perjuangan harus dilakukan untuk menguatkan aspek spiritualitas, kebajikan sosial, dan moralitas agar bangsa ini tidak menjadi bangsa yang ternistakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar