Jumat, 26 Agustus 2011

JALAN KELUAR



Minggu pagi ketika aku sedang asyik menata anggrek di rumah, sahabatku datang dengan anak dan istrinya. Aku tinggal kerja rutinku dan selanjutnya menyalaminya dan bercengkerama di pinggir kolam karena sambil mengawasi anak temenku yang lagi kegirangan melihat sisa ikan koi-koiku yang berebut makanan. Hal pertama yang muncul dari bibirnya adalah kata sanjungan, tentang apa lagi kalau tidak tentang tanaman yang memenuhi tiap sudut rumahku. Dia bilang: “……Beginilah semestinya dosen pertanian, ‘no talk only but full action’ , kebanyakan cuma omong doang haaa…..haa “. Aku tidak menanggapi, tapi belakangan aku jelaskan mengapa juga aku memilih banyak aksi nyata dari tidak sekedar banyak bicara. Intinya itu semua juga berawal dari ‘rasa malu’ akibat cuma banyak omong di forum, aku dianggap ngajar sepeda tapi tidak bisa naik sepeda. Ngajari berbagai seluk beluk budidaya tanaman tapi tidak pernah menanam. Bagaimana bisa benar ?


Sang teman yang satu ini, adalah satu generasi menjadi PNS yang diperbantukan di swasta. Satu juga nasib di tempatkan di tempat kerja yang berbeda dari basik asalnya. Kalau aku dari disiplin ilmu biologi dan harus mengajar di Fakultas Pertanian, sementara dia asalnya dari lingkungan ormas keagamaan A kemudian harus kerja di lembaga milik ormas keagamaan B. Sebetulnya hal tersebut kami sepakati bukan dan tidak akan menjadi problem pada situasi jaman yang menuntut kuatnya ‘pluralisme dan demokrasi’. Kenyataan memang demikian minimal hingga 20 tahunan kami kerja, terbukti dia sampai bisa meraih gelar professor, sedang aku karena males ngurus pangkat belum bisa seperti dia. Tetapi belakangan aku baru tahu bahwa sang teman ini ada kendala besar untuk berkarir menjadi pimpinan di lembaga tempat ia kerja, alasannya menyangkut aturan kelembagaan yang mengaruskan pimpinan mengakar pada ke B tersebut. Padahal dari segi kapasitas, sang teman ini jelas di atas rata-rata, dia telah tumbuh tidak saja member kontribusi ke dalam tapi juga bisa diterima dan mewarnai bidang keahliannya.


Ukuran kapasitas menjadi orang yang bisa diterima dan bisa memberi nilai menurutku telah ia buktikan, tidak mudah menjadi orang ‘yang beda’ diterima dan tumbuh di lingkungan tidak semestinya. Kalau seseorang kulit hitam tumbuh dan berprestasi di lingkungan masyarakat kulit hitam adalah hal biasa. Tetapi kalau seseorang kulit hitam tinggal dan tumbuh di masyarakat kulit putih, lalu ia mampu berkontribusi, berbaur, mengembangkan diri bahkan ia juga bisa diterima habitat kulit asalnya serta di luar masyarakat tempat ia tinggal maka itu adalah sebuah keunggulan atau orang yang berkapasitas. Karena keadaan sang temanpun bisa menerima, ia sabar, tetap berkarya, itu semua dianggap sebagai kesalahan awal yang tidak perlu disesali. Walau sesungguhnya hati kecilnya meronta, siapa sih yang tidak ingin berkarir dan menjadi orang yang mampu berbagi lebih banyak ?


Dalam sikap penerimaan yang iklas, tak diduga ia dilamar kepresidenan untuk menjadi salah satu purangga staf ahli presiden SBY. Dia berbisik padaku, jangan woro-woro, belum pasti, tapi Alhamdulillah ijin dari pimpinan tempat ia kerja sudah sudah oke. Awalnya ia kawatir ijin tidak akan keluar, karena memang selama ini tradisi pengabdian ke lembaga tempat ia kerja sangat dinomer satukan. Mendengar kabar itu aku katakana pada dia mungkin dan mudah-mudahan ‘ini jalan keluar’ kebuntuan berkarir yang selama ini dirasakan. Dari hpnya sebentar-sebentar datang ucapan selamat, bukan dari orang sembarangan, tetapi dari tokoh-tokoh masyarakat mulai dari bupati, wali kota, pimpinan Koran, partai, anggota dewan, sesama profesi, organisasi tempat ia beraktivitas dan masih banyak lagi. Ia dengan santun berterima kasih, lalu menyampaikan bahwa hal itu baru diproses, belum, tunggu kalau sudah pasti teman-teman akan dikabarinya.


Guru spiritualku berbisik padaku, itulah kebesaran dan maha bijaksananya Allah. Rizki dikejar ke mana dan dengan cara apapun kalau memang bukan rizki kamu, maka rizki itu akan lari menjauh dan sulit untuk didapatkan. Tetapi kalau sudah rizki kamu, ke mana dan sedang di mana kamu, dalam sesulit kondisi apapun, gangguan apapun, rizki itu tidak peduli pasti dan pasti akan menghampirimu. Karena Allah tidak pernah tidur, selalu melihat apa yang kita lakukan, tindakan yang baik, iklas dan sabar disertai doa yang khusuk akan diijabeni bahkan akan diberi dengan limpahan yang lebih besar. Sementara orang-orang yang hidupnya cenderung suka mempersulit orang lain, sesungguhnya kalau mau merenungkan, harusnya sadar karena dengan cara begitu berarti ia sudah memilih jalan yang sulit untuk dirinya sendiri. Hukum kebiasaan mempermudah akan lebih dimudahkan, kebiasaan memberi akan lebih diberi, kebiasaan mengasihi maka akan lebih dikasihi, ….tapi semua tetap kuncinya di iklas dan sabar.


Kepercayaan dalam menghadapi kesulitan hidup harus kita bangun, kita harus percaya bahwa Allah SWT telah menegaskan bahwa pada setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Sebuntu apapun jalan menurut kita, itupun sesungguhnya masih terbuka jalan ke luar kalau kita percaya pada Allah SWT. Alhamdulillah, banyak teman dan banyak guru yang hadir dalam hidupku justru memberi ‘benggala’ atau pencerminan hidup yang mudah-mudahan makin menjernihkan pikiran dan nuraniku. Semua jelas memperkaya hidupku, menyadarkan bahwa hidup harus dihidupi agar hidup makin hidup.

Selasa, 23 Agustus 2011

KOI KESAYANGAN




Kehilangan hal yang disayangi, hal yang selama ini memberi kebahagiaan, kesenangan dan kegembiraan akan memberi rasa duka cita yang mendalam. Kedukaan itu tidak terduga, walau kita tahu bahwa kehilangan adalah hal wajar dan pasti akan dialami siapapun. Berduka adalah hal yang tidak diinginkan siapapun, namun selalu bisa dialami oleh siapapun atas sebab apapun baik menyangkut hal besar maupun hal-hal kecil. Hanya saja respon kedukaan yang biasanya berbeda, yang sehat adalah kedukaan yang tidak perlu berlarut-larut, yang mengakibatkan orang hilang gairah kerjanya dan kehilangan harapan. Jelas bahwa kehilangan adalah hal yang menyebabkan kelengkapan hidup kita menjadi berkurang. Aku pernah bertutur di blog ini bagaimana kebingunganku ketika dompet berserta berbagai surat-surat penting hilang di pasar Bringhardjo Jogjakarta. Pulang berkendara tanpa identitas dan SIM untuk mengemudi tetapi harus mengemudi. Duka cita sebagai manusia pasti kita pernah dan mungkin sering merasakan.

Walau tanpa tangis dan raut duka, keluargaku beberapa minggu ini lagi berduka terutama barangkali aku yang paling merasakannya. Sebab-musababnya mungkin kebanyakan orang akan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat tidak berarti dan sederhana, yaitu kematian berkala ikan-ikan koi peliharaan kami. Sekitar 60 ikan koi aneka warna tiba-tiba mati sedikit demi sedikit, selidik punya selidik kata temanku yang Kepala Balai Perikanan di Bangil itu gara-garanya sederhana yaitu menambah jenis ikan koi baru kebetulan membawa penyakit ‘KHV’ atau Koi Herpes Virus, sehingga dengan cepat menular dan mematikan. Memang benar beberapa minggu yang lalu atas pemikiran bersama kami baru menambah koi yang warnanya beda, yaitu yang putih, perak dan kuning yang belum kami punya.


Bagaimana kami tidak berduka ? Selama ini kolam koi kami adalah hiburan mengasyikan, peredam kepenatan kerja dan kejenuhan akibat hirup pikuk kehidupan kota yang makin sumpek. Ikan-ikan koi peliharaan kami lincah bergerak dari satu sudut ke sudut kolam, kadang menyelam, berkejaran dan sudah sangat jinak. Suara decakan mulut saja sudah membuat mereka bergerak menuju tempat kami biasa memberi makan. Ikan-ikan tersebut tanpa takut bisa kami pegang dan biasa menghisap-hisap telapak tangan yang penuh makanan ikan, rasanya seperti dihisap dan kasapnya gigi halus di mulutnya. Tidak mengenal waktu mereka sering menghibur kami, termasuk juga tamu-tamu yang akrab yang kami ajak masuk ke samping rumah. Sekarang keceriaan dan hiburan segar itu tiada, sebagian besar koi-koi dan suasana kolam menjadi tidak tertolong walau berbagai upaya telah kami upayakan, pemberian garam, obat-obatan, kini ikan tersisa sepuluh ekoran dan kolam sudah dikurangi airnya biar agak hangat.


Kata guru lakuku, koi herpes virus memang merupakan penyakit pada sebangsa ikan emas termasuk koi yang sangat ganas, begitu dalam kolam satu ekor terserang penyakit ini maka dalam hitungan 6 - 14 hari bisa mematikan 90 – 100 persen populasi ikan koi yang ada. Cerita orang mengalami stress akibat kasus koi peliharaan mereka terserang herpes virus ini banyak terjadi, artinya ternyata kedukaan yang aku alami tidak sendiri dan belum seberapa. Sejak tahun 2002 hingga 2007 di Indonesia kerugian akibat penyakit ini mencapai 250 milyar. Itu menjawab pertanyaan aku selama ini mengapa banyak kolam-kolam koi di daerah sentra yang kosong dan tidak difungsikan. Berarti daerah itu juga merupakan daerah yang ikut menderita kerugian akibat penyakit ‘koi herpes virus’ dan memang dari sana koi baru aku dapatkan ketika tidak sengaja ada kegiatan ke daerah itu.


Setiap hari perhatian kami banyak tersita pada problem kolam itu, kami terus berupaya, satu demi satu ikan yang mengalami gejala sakit kami pantau dan ditangani khusus, tapi tak upaya apapun tidak menolong, selalu ada minimal dua ekor, pernah sehari sampai menggelepar delapan ekor. Kedukaan akibat kematian koi-koi peliharaan kami, ternyata berhikmah menyenangkan anak-anak kecil tetangga kami. Koi yang menggelepar-menggelepar, tiba-tiba berenang cepat tanpa arah, sehingga sering ada yang membentur kaki pot besar tempat tanaman gelombang cinta yang berada di tengah kolam sehingga sekarat. Anak-anak itulah yang kemudian dengan ‘suka cita’ membawanya pulang untuk dimasak sebagai hidangan puasa. Kami sendiri tidak sampai hati mengkonsumsinya. Satu ekor yang besar aku rasa bisa disantap untuk satu keluarga kecil, hal itulah yang sedikit menghibur kami. Kami sudah berusaha, menyelamatkan yang kami cintai, tapi koi-koi itu lebih memilih membahagiakan anak-anak kecil di bulan yang penuh berkah ini. Harusnya uang yang untuk beli koi baru, mestinya aku belikan ikan konsumsi lalu aku bagikan ke mereka-mereka. Kesadaran memang sering kali datang terlambat. Allah Maha Besar yang menggerakan apapun sesuai dengan keinginanNya, kewajiban kita membeningkan hati sehingga untuk memahami dan mengimaniNya.

Senin, 22 Agustus 2011

TIGA HAL PENTING



Ketemu teman lama sering kali memberi kesan yang berbeda, memberi rasa yang tidak biasa, ada rasa gembira, rasa senang, bahagia, penasaran, obat kerinduan dan lain sebagainya. Demikian pula ketika aku ketemu sahabat lama, sahabat saat masih kuliah, sering belajar besama, main bersama, ia sering ke rumahku dan memberi kesan yang mendalam pada ibuku khususnya. Ia selalu ceria, sering dari tempat kostnya ia menenteng gitarnya untuk kemudian ngamen dari rumah ke rumah dan berakhir di rumahku. Lalu di depan ibuku uang recehan hasil ngamen dibeber dan dihitung satu-persatu kadang sambil makan makanan seadanya yang ada di rumah. Dapat uang berapa dari mengamen, bukan hal penting, karena teman satu ini sesungguhnya bukan orang yang kurang uang, orang tuanya berkecukupan di Bojonegoro. Baginya ngamen hanya sebuah kegiatan ‘menyenangkan hati’ saja, bagaimana tidak karena ia tidak perduli pada hasil ngamennya bahkan ia pernah sengaja iseng ngamen ke rumah ‘cewek’ yang ia taksir, lalu ketika ceweknya yang benar keluar hendak memberi uang recehan, ia menggodanya dan malah minta makan dengan alasan lapar. Toh, sang cewek tidak pernah meremehkan bahkan keluarganya menerima dengan baik.


Dua puluh tahun kami tidak ketemu, ia sempat terkejut dan sedih ketika aku kabari bahwa ibuku sudah meninggal, sementara aku tahu orang tua dia masih sehat dan keduanya sudah pensiun. Kami masing-masing tentu sudah berbeda, sama-sama punya keluarga, punya pengalaman sendiri-sendiri. Aku lihat dia lebih dewasa dibanding terakhir aku ketemu. Pengalaman hidup yang cukup berat membuat dirinya banyak belajar dan menjadikan hikmah hidup. Aku senang ketemu dengan dia, salah satunya karena ‘jalinan silahturami’ berarti tersambung lagi, di sisi lain aku bisa belajar dari pengalaman dia. Sekarang hpku sering berbunyi di waktu subuh sms dari dia, ia berbagi kata bijak, seperti seorang guru ia sering berbagi hal penting untuk kebaikan hidup.


Seperti layaknya seorang guru spiritual, suatu pagi ia sms padaku bunyinya adalah : ‘Di dalam kehidupan ada 3 hal yang takan kembali, yaitu: 1). Waktu, 2). Ucapan, dan 3) Kesempatan. Maka dari itu jangan sia-siakan waktu, berhati-hatilah dengan apa yang hendak kita ucapkan, serta jangan abaikan kesempatan’. Bukan hal yang baru memang, tapi setidaknya mengingatkan kepada kita untuk selalu berkesadaran bahwa waktu tidak mungkin balik, begitu lewat maka lewat pula waktu milik kita. Kita harus hargai tiap detik nafas, umur hidup kita mesti dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik. Kata-kata yang kita ucapkan juga tidak bisa kembali, bisanya hanya kita ralat atau kita cabut pernyataan tersebut. Maka dari itu kita mesti hati-hati dengan perkataan kita, salah-salah bisa menjadi pencelaka diri kita sendiri atau orang lain. Kata-kata sering dianggap bisa lebih tajam dari pedang, luka akibat kata-kata lebih sulit terobati bahkan kalau diwujudkan dalam ‘fitnah’ maka kata-kata dikatakan lebih kejam dari pembuhuhan. Trus menyangkut ‘kesempatan’ kita tahu semua akan cepat berlalu bila tidak secepatnya kita manfaatkan.


Selain 3 hal yang takan kembali, sang teman juga menulis 3 hal menurutnya harus kita jaga jangan sampai hilang, yaitu: 1). Kasih Sayang, 2). Harapan, dan 3). Ketulusan. Nah, benar sekali bukan ???! Hayo siapa mau mendebat dan tidak setuju. Siapa yang mau kehilangan satu hal saja misalnya kasih sayang, apakah kira-kira kita bisa bahagia ? Kemudian sang teman melanjutkan tausiahnya menyangkut 3 hal yang paling berharga, yaitu: 1). Kejujuran, 2). Kepercayaan, dan 3). Sahabat. Lalu mengakhirinya dengan 3 hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu: 1). Tuhan, 2). Nabi Muhammad dan 3). Orang Tua dan Keluarga. Wah…sudah aku katakan ketemu teman lama seperti ketemu seorang guru, guru spiritual yang mampu menyadarkan dengan pola sederhana, lugas dan meng-intisari.


Menyimak ungkapan 3 hal yang disampaikan teman lama, aku merasa dibagi sesuatu yang berharga di bulan puasa ini. Puasa kata guru ngajiku merupakan ibadah yang harus memjadi proses ‘pensalehan individu’ dan ‘pensalehan sosial’ seseorang. Maksudnya bahwa puasa selain diharapkan menjadi proses penguatan moral individual seseorang juga semestinya merupakan penyadaran dan aktualisasi kepedulian sosial. Semangat berbagi rejeki, kelimpahan kebutuhan hidup kepada fakir miskin dan mereka yang terkena musibah adalah hal yang positif, termasuk berbagi ‘tausiah’ kebaikan juga merupakan hal positif yang akan mengantar pada pembentukan pribadi yang berkesalehan sosial. Sekarang ini, bangsa kita tengah menghadapi ujian besar. Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam yang besar, sebagai negara yang rakyatnya mayoritas mengaku beragama Islam, pemimpinnya banyak yang tampil sebagai sosok yang berkesalehan individual. Sayang hal itu tidak memberi gambaran kesalehan sosial, tergambar realita eksloitasi alam untuk kepentingan segelintir orang masih mendominasi, tingkat korupsi sangat tinggi dan tersistem, kebohongan dan rekayasa menjadi panglima, kedamaian dan keamanan masyarakat masih jauh dari harapan.


Tiga hal penting yang ternyata tidak tiga, mudah-mudahan bisa menjadi rambu-rambu atau peringatan, tanda yang harus kita jalani agar peraihan ‘kesalehan individu dan sosial’ mulai nyata. Memang kita tidak bisa berharap banyak ketika perangai politik kita ‘tidak tahu malu dan penuh tipu muslihat’. Tetapi tanpa harapan sama saja kita kehilangan hal yang sangat penting sebagai modal perubahan. Semangat berbagi dan saling bertausiah harus kita kobarkan agar arah ‘keadilan dan kesejahteraan sosial’ bisa kita kedepankan.

Minggu, 31 Juli 2011

STADIUM TIGA



Hiruk pikuk politik di bangsa ini sungguh memprihatinkan, kata Guru aku keadaannya sudah masuk penyakit politik stadium tiga. Sebuah stadium yang menggambarkan kondisi penyakit politik di mana kebobrokan sistemik merambah ke mana-mana, ada pelanggaran aturan secara jamaah oleh para penyelenggara negara, dirasakan dampaknya oleh masyarakat, lalu muncul kegelisahan, muncul keberanian mengekspresikan bahkan melakukan demontrasi dan perlawanan. Stadium ini adalah stadium berbahaya, stadium yang membutuhkan penanganan ekstra hati-hati dan perlu tindakan cepat sebelum gejolak kegelisahan menjelma menjadi ‘gerakan tuntutan’ merambah ke semua lini masyarakat agar pucuk pimpinan negeri ini mundur sebelum waktunya. Sejarah telah mengajarkan pada masyarakat Indonesia ketika Soeharto dilengserkan melalui gerakan reformasi.


Bangsa ini, sesungguhnya memiliki toleransi yang demikian besar, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dan dengan mudah bisa memaafkan. Sifat ini pula yang barangkali menjadi ‘hal’ yang sengaja dimanfaatkan oleh politisi-politisi yang tidak bertanggung jawab. Mestinya sikap toleransi, sabar dan mudah memaafkan tidak harus menjadikan bangsa ini lemah, ketegasan sikap terhadap yang salah dan benar-benar melanggar aturan harus dijalankan agar tidak menjadi preseden buruk, tidak memberi efek jera bagi orang yang melanggar aturan sehingga tak segan melakukan pelanggaran berulang. Kalau dibiarkan terus ya kondisinya seperti sekarang ini, banyak pelanggaran terjadi, banyak orang jelas-jelas salah dengan tersenyum menyatakan tidak bersalah. Korupsi di negeri ini jelas tinggi, tapi mereka yang terindikasi korupsi ‘sering bisa lolos’ dari jerat hukum karena uang dan kekuasaan.


Sangat memrihatinkan dan tentu menyinggu harkat rakyat dan bangsa ini ketika justru dari seorang Ketua DPR gagasan bertoleransi pada koruptor digulirkan. Gila, bodoh, konyol, tidak mengerti, …..dan masih banyak lagi komentar orang-orang pada pelontar ide itu. Bagaimana tidak demikian, pada saat semua orang, media terkaget-kaget pada pengungkapan kasus-kasus yang menimpa tokoh-tokoh partainya yaitu Partai Demokrat oleh kader Demokrat sendiri, di mana kecenderungan masyarakat berharap besar SBY melaksanakan janjinya menjadi yang paling depan dalam memberantas korupsi, orang ini justru melawan arus untuk bagaimana koruptor dimaafkan saja dan KPK dibubarkan saja. Jadi tidak heran banyak orang kemudian memaki-maki, bahkan ada yang berpikiran bahwa ide itu sebagai jalan keluar menghadapi kebutuan partainya terkena masalah korupsi yang lebih besar yang tidak menutup kemungkinan akan terkuak.


Keberanian manyuarakat dan perorangan memerangi kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah sekarang muncul di mana-mana, tanpa tedeng aling-aling bahkan berani menyebut ‘SBY telah gagal’, ‘SBY bohong’, dan ada yang mulai menyuarakan ‘SBY turun’. Mudah-mudahan tidak ada ‘pemakjulan’ presiden lagi, mudah-mudahan ada penyelesaian cermelang untuk bangsa ini keluar dari sesakit politik. Kata Guruku, sesungguhnya bangsa ini kalau mau keluar dari permasalahan cukup menjalankan dua hal yaitu ‘penegakan hukum’ dan ‘mensejahterakan masyarakat’. Kata beliau bangsa ini tidak saja suka melanggar dan bermain-main aturan dan hukum (sakit stadium satu) tapi juga hal tersebut sudah menjadi kebobrokan tersistem (sakit stadium dua), stadium ketiga menggambarkan kondisi penyakit politik yang makin sistemik kronis, ada pelanggaran aturan secara jamaah oleh para penyelenggara negara, dirasakan dampaknya oleh masyarakat, lalu muncul kegelisahan, muncul keberanian mengekspresikan bahkan melakukan demontrasi dan perlawanan gejalanya seperti yang terjadi sekarang. Kalau tidak ditangani secara bijak dan memuaskan rakyar, penyakit politik ini bisa masuk ke stadium empat, yaitu pemerintah negara ini kolep dan rakyatlah yang kembali mengambil pimpinan kekuasaan tertinggi.


Langkah apa yang harus di ambil pemimpin bangsa ? Aku sendiri buta soal ini, banyak orang mengemukakan ‘sulit’ untuk sekarang ini. Karena ‘pimpinan’ bangsa sudah tersandera oleh problem Partai yang dilahirkannya dan yang selalu dibelanya yang makin terendus kebusukan korupnya padahal semestinya sebagai pimpinan ia tidak boleh lagi berlaku demikian dan harus netral, juga tersandera oleh ‘para koruptor’ kelas kakap yang mungkin ‘ikut berpartisipasi’ menjadikan ‘pimpinan’ bagi dirinya, juga tersandera oleh ‘acaman buka-bukaan’ lawan politik dan mitra koalisi misalnya saja menyangkut ‘pemakzulan lewat skandal bank’ jika aib merekajuga dibuka. Artinya jika ia memerangi secara riil korupsi, membuka secara transparan kasus-kasus besar, dan menindak tegas para pelakunya sama saja menggali kuburannya sendiri. Bagaimana nasib negeri ini ? Masa harus dibelenggu oleh sakit politik terus menerus.

Senin, 25 Juli 2011

PROdikMAS




Aku punya seorang guru, yang menurutku berbeda dengan guru-guruku yang lain. Sang guru ini kalau dicermati dari cara berpikir, ucapan, tindakan benar-benar menggambar seorang mahaguru yang diharapkkan kebanyakan orang. Orang Jawa bilang ‘sembodo’, apa yang diucapkannya sebagai ajaran bukan sesuatu yang kosong, cenderung klop antara yang diucapkan dengan tindakannya, dan pikirannya terbiasa tertantang untuk menjawab permasalahan riil di lingkungannya, tidak mau duduk manis di atas singgasana akademiknya yang sudah purna. Membaca pikirannya kita diajak untuk menyingsingkan lengan baju, mengasah kecerdasan, turun kemasyarakat, bersifat humanis berbaur menggali kearifan lokal, memupuknya dengan iptek yang ada untuk mendayakan, memandirikan dan mensejahterakan masyarakat.


Sang guru ini, kepada siapapun dekat, menghargai setiap orang dan sering menjadi penggagas, inspirator, motivator gerakan yang ruhnya bertumpu pada keinginan terwujudnya ‘peradaban wilayah membudaya dan teraktualisasi di masyarakat’. Upaya merengkuh ‘profesional pendidik masyarakat atau PROdikMAS’, lalu menyatukan gerak langkah sedang beliau lakukan. Beliau selalu menekankan bagaimana semestinya ada sinergitas dan integritas kerja dalam pengabdian kepada masyarakat, jangan sepotong-potong, sendiri-sendiri, kasuistik dan individual. Mudah-mudahan gerakan ini bisa menjadi virus yang cepat menular, menjadi warna baru gerakan pendidikan. Pendidikan memang seharusnya mencerahkan kehidupan masyarakat, harus menjadi penerang kegelalan, harus menjadi pendobrak kebuntuan, agar bisa berperan demikian perguruan tinggi sebagai ibu kandung ‘iptek’ harus berani mengaktualisasikan nya di masyarakat.


Sangat sulit barangkali, menemukan guru yang demikian di jaman seperti ini. Kebanyakan maha guru lebih asyik dengan berkutat di masyarakat kampus saja, sangat kurang aktivitas di masyarakat nyata. Problem yang banyak disentuh adalah problem-problem yang dibangun oleh pikirannya sendiri bukan problem riil yang ada di mayarakat. Jadi amat banyak pendidik di perguruan tinggi yang sesungguhnya tercerabut dari peran totalitas yang mesti disandangnya untuk mengembangkan Tri Darma secara berimbang. Mereka masih banyak cuma menjalankan darma pendidikan pengajaran dan penelitian, darma pengabdiannya sangat minus untuk tidak dibilang tidak ada.


Aku lebih angkat topi pada sang maha guru ini, karena semangatnya menghimpun orang-orang perguruan tinggi yang memiliki perhatian lebih pada aspek pengabdian kepada masyarakat, bahkan kemudian memopulerkannya dengan sebutan yang menarik yaitu ‘PROdikMAS’. Prodikmas adalah akronim dari Profesional Pendidik Masyarakat. Suatu sebutan yang layak sebagai penghargaan untuk orang-orang yang melawan arus peran di perguruan tinggi yang member keseimbangan tiga darma dengan semangat mengabdi pada persoalan riil di masyarakat. Tidak mudah untuk menjadi prodikmas kareana tuntutannya tidak sebatas menguasai iptek tapi harus humanis, mau susah bayah, iklas walau tanpa imbalan insentif sekalipun.


Menjadi prodikmas berarti menjadi guru yang dapat digugu dan ditiru. Bisa menerima kearifan local masyarakat dan tidak memaksakan teori-teori yang dipahaminya tetapi berupaya mengkonstruksikan sesuai kondisi dan harapan masyarakat supaya bisa diterima dan terbangun sebagai buah pikiran yang lebih terevaluasi. Menjadi prodikmas harus memiliki semangat tinggi, karena merubah masyarakat tidak bisa dilakukan secara cepat, secara instan tetapi butuh waktu dan kesabaran. Prodikmas harus menguasai hal-hal praktis, karena hal itu akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Mengajari masyarakat naik sepeda sangat naïf bila pengajarnya tidak bisa naik sepeda.


Sungguh akan sangat berarti bila kelahiran prodikmas terjadi di mana-mana, anggaplah separoh pendidik di perguruan tinggi bisa menjadi prodikmas atau ‘aktor perubahan’ di masyarakat maka perubahan hidup, kemadirian dan kesejahteraan masyarakat akan mudah tercapai. Tidak itu saja, kesuksesan pendidik mengetahui realita di masyarakat juga akan memberi kekuatan pada proses ‘pendidikan pengajaran’ nya di bangku kuliah, sehingga mahasiswa juga memahami hal riil masyarakat te3mpat nantinya ia kembali setelah lulus. Juga hal tersebut akan melahirkan ide-ide penelitian yang rasional dan cemerlang yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan lagi penelitian yang mendaki-daki tapi tidak ada manfaatnya bagi masyarakat sekitarnya.

Sabtu, 23 Juli 2011

NYANYI SENDU DI TORAJA


................
kabut menyapa pandangku
dingin mengeryutkan pori-pori sekujur tubuhku
sejauh mata memandang cakrawala seperti beludru membalut bukit kapur
aroma bebungaan, cericit burung dan dendang tari anak-anak sekolah
aku terdiam di antara 'tongkonan' tempat kami singgah
dan merebah
terasa seperti di surga yang mengawang di atas awan
membuatku terkesima
di sini lagi-lagi kutemukan diriMU

................
sepanjang jalan sering aku lihat
cengkrama kerbau dengan burung sawah bersama petani yang tangguh
kadang di balik bilik kayu perempuan tua wajahnya bergurat kesabaran
memilin-milin kapas menjadi benang
menggerakan alat penenun dengan tangan dan kakinya yang perkasa
teman-temanku terharu biru

....................
di ujung perkampungan Pala'tokke ada Rambu Solo
orang-orang berkumpul di balai tongkonan
di rusuk tengah puluhan tanduk kerbau bicara ketokohan sang empunya
aku dengar nyanyi sendu di timpa gemerisik daun bambu
mewartakan kedukaan
lalu ada geliat darah puluhan 'todung' dan babi-babi
yang menggelepar di antara batu-batu megalitik
lalu doa-doa dilafalkan
gerak tubuh, tatap mata, kata hati
ditambatkan pada yang tak kasad
: persembahan padaMU

aku tak bisa berhitung
betapa besar pengabdian Tanah Toraja pada kematian
pada nyanyi sendu hilangnya orang tercinta
pada harapan kedamaian alam baka
.....................
di sini aku dibisiki
tak ada beda
semua kepercayaan menggariskan 'korban'
sebagai ujian keimanan
....................
untuk hidup ......
kekal bersamaMU.

Kamis, 07 Juli 2011

PUASA BICARA



Seorang teman yang biasanya banyak bicara, banyak berpendapat lantaran pikirannya benar-benar banyak gagasan, kalau dalam diskusi terasa sering pikirannya mendominasi dan mudah dipahami yang lainnya, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat dan terasa banyak memilih diam. Apapun kondisinya ia lebih memilih diam, tidak banyak bicara, hemat gagasan, banyak member kesempatan orang lain bicara. Banyak orang jadi bingun merasakan hal tersebut, karena tidak ada penjelasan maka muncul berbagai spekulasi; bahwa sang teman lagi marah besar, lagi kecewa, lagi sakit hati, lagi sakit gigi, lagi ngambek, lagi protes dan berbagai alasan lain yang dipikir nyambung.


Sang teman pada suatu kesempatan pernah berbisik-bisik kepadaku, mengatakan bahwa apa yang didukakan teman-temannya kepadanya adalah salah semua, karena ‘kediaman’ dia sesungguhnya hanya sebuah ‘eksperimen’ kecil dia untuk mencoba ‘puasa bicara’ yang disarankan guru spiritualnya untuk dilakukan di luar kebiasaan puasa pada umumnya. Hikmah spiritual menyangkut apapun yang namanya puasa merupakan kegiatan mengendalikan diri, terutama mengendalikan dorongan napsu dan dorongan-dorongan hasutan setan untuk melakukan tindakan yang tidak disukai oleh Allah SWT.


Puasa bicara secara ideologis pernah dilakukan oleh Siti Maryam AS yang dikenal sangat santun dan saleh, kemudian harus menerima kenyataan ia ditakdirkan punya anak walau belum bersuami dan masyarakat mempertanyakan dan menghujat kenyataan itu. Atas perintah Allah SWT Maryam diminta untuk puasa bicara, tidak perlu menanggapi pertanyaan dan hujatan masyarakat. Perlakuan buruk masyarakat akhirnya bisa dihindari dan bahkan masyarakat bisa dicerahkan aspek spiritualitasnya dengan menyadari bahwa apapun bisa saja terjadi bila Allah SWT menghendaki.


Orang bijak mengatakan bahwa ‘puasa bicara’ adalah tindakan pengendalian yang dapat memperindah diri, karena dengan pengendalian bicara seseorang bisa menahan diri untuk tidak lepas kendali. Orang yang terlalu banyak bicara bisa lepas kendali, sehingga tanpa sadar menyampaikan hal yang bisa menyakiti hati orang lain, karena kata-katanya bersifat membuka aib, melaknat, menghina, kotor dan merendahkan. Kata-kata sering bisa lebih tajam dari pedang, bisa melukai yang lebih menyakitkan, bisa menimbulkan dendam tujuh turunan. Omongan yang tidak terkendali bisa membuat orang kehilangan kecintaan, kasihsayang, kehormatan, kepercayaan, tidak itu saja bisa menggiring seseorang masuk ke hotel prodeo yang berjeruji besi karena menjadi masalah hukum.


Puasa bicara pada kontek yang lebih konteplatif dengan nuansa kebeningan hati sesungguhnya merupakan upaya berdiam diri, ‘tafakur’ agar sensitifitas batin kita lebih terasah. Dengan memilih mengistirahatkan mulut berarti member ruang untuk hati kita yang lebih leluasa bicara banyak, lalu kita yang harus menjadi pendengar setia, sehingga bisa menajamkan mata, telinga dan pikiran kita sehingga mampu melihat, mendengar dan memikirkan hal-hal yang selama ini tidak mampu atau tidak sempat kita lihat, dengar, dan pikirkan. Ruh intropeksi bisa kita hembuskan terus menerus sehingga kita tidak bebal, tuli dari suara hati kita sendiri. Semangat spiritual bisa kita sentuhkan agar kita makin dekat dengan Allah SWT dan makin menjadikan kita selalu bersyukur, tidak gelisah terus-menerus karena masih merasa kurang dan kurang, masih merasa benar dan benar, masih merasa pintar dan pintar.


Kesalahan bicara bila kita rajin mengevaluasi diri tentu bisa saja terjadi pada kita, termasuk kesalahan bicara pada orang yang kita cintai. Mungkin saja kesalahan ini klimak yang tak tertahankan dan merupakan akumulasi ‘kemenerimaan’ sepihak yang tak kesampaian untuk diucapkan. Bisa saja karena kebebalan sepihak yang memang sulit menerima kritikan, sepihak yang toleransinya kurang, sepihak yang amat sensitif. Untuk itu sebaiknya semua orang juga sadar punya kewajiban ‘bercermin’, mencari sisi minus dari dirinya yang bisa memicu omongan orang yang menyakitkan. Cerna terlebih dulu ‘kata yang kita klaim menyakitkan’ itu, jangan-jangan itu memang sebuah kritik konstruktif dan sebuah kejujuran yang justru sedang dan akan menyelamatkan kita.