Senin, 22 Agustus 2011

TIGA HAL PENTING



Ketemu teman lama sering kali memberi kesan yang berbeda, memberi rasa yang tidak biasa, ada rasa gembira, rasa senang, bahagia, penasaran, obat kerinduan dan lain sebagainya. Demikian pula ketika aku ketemu sahabat lama, sahabat saat masih kuliah, sering belajar besama, main bersama, ia sering ke rumahku dan memberi kesan yang mendalam pada ibuku khususnya. Ia selalu ceria, sering dari tempat kostnya ia menenteng gitarnya untuk kemudian ngamen dari rumah ke rumah dan berakhir di rumahku. Lalu di depan ibuku uang recehan hasil ngamen dibeber dan dihitung satu-persatu kadang sambil makan makanan seadanya yang ada di rumah. Dapat uang berapa dari mengamen, bukan hal penting, karena teman satu ini sesungguhnya bukan orang yang kurang uang, orang tuanya berkecukupan di Bojonegoro. Baginya ngamen hanya sebuah kegiatan ‘menyenangkan hati’ saja, bagaimana tidak karena ia tidak perduli pada hasil ngamennya bahkan ia pernah sengaja iseng ngamen ke rumah ‘cewek’ yang ia taksir, lalu ketika ceweknya yang benar keluar hendak memberi uang recehan, ia menggodanya dan malah minta makan dengan alasan lapar. Toh, sang cewek tidak pernah meremehkan bahkan keluarganya menerima dengan baik.


Dua puluh tahun kami tidak ketemu, ia sempat terkejut dan sedih ketika aku kabari bahwa ibuku sudah meninggal, sementara aku tahu orang tua dia masih sehat dan keduanya sudah pensiun. Kami masing-masing tentu sudah berbeda, sama-sama punya keluarga, punya pengalaman sendiri-sendiri. Aku lihat dia lebih dewasa dibanding terakhir aku ketemu. Pengalaman hidup yang cukup berat membuat dirinya banyak belajar dan menjadikan hikmah hidup. Aku senang ketemu dengan dia, salah satunya karena ‘jalinan silahturami’ berarti tersambung lagi, di sisi lain aku bisa belajar dari pengalaman dia. Sekarang hpku sering berbunyi di waktu subuh sms dari dia, ia berbagi kata bijak, seperti seorang guru ia sering berbagi hal penting untuk kebaikan hidup.


Seperti layaknya seorang guru spiritual, suatu pagi ia sms padaku bunyinya adalah : ‘Di dalam kehidupan ada 3 hal yang takan kembali, yaitu: 1). Waktu, 2). Ucapan, dan 3) Kesempatan. Maka dari itu jangan sia-siakan waktu, berhati-hatilah dengan apa yang hendak kita ucapkan, serta jangan abaikan kesempatan’. Bukan hal yang baru memang, tapi setidaknya mengingatkan kepada kita untuk selalu berkesadaran bahwa waktu tidak mungkin balik, begitu lewat maka lewat pula waktu milik kita. Kita harus hargai tiap detik nafas, umur hidup kita mesti dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik. Kata-kata yang kita ucapkan juga tidak bisa kembali, bisanya hanya kita ralat atau kita cabut pernyataan tersebut. Maka dari itu kita mesti hati-hati dengan perkataan kita, salah-salah bisa menjadi pencelaka diri kita sendiri atau orang lain. Kata-kata sering dianggap bisa lebih tajam dari pedang, luka akibat kata-kata lebih sulit terobati bahkan kalau diwujudkan dalam ‘fitnah’ maka kata-kata dikatakan lebih kejam dari pembuhuhan. Trus menyangkut ‘kesempatan’ kita tahu semua akan cepat berlalu bila tidak secepatnya kita manfaatkan.


Selain 3 hal yang takan kembali, sang teman juga menulis 3 hal menurutnya harus kita jaga jangan sampai hilang, yaitu: 1). Kasih Sayang, 2). Harapan, dan 3). Ketulusan. Nah, benar sekali bukan ???! Hayo siapa mau mendebat dan tidak setuju. Siapa yang mau kehilangan satu hal saja misalnya kasih sayang, apakah kira-kira kita bisa bahagia ? Kemudian sang teman melanjutkan tausiahnya menyangkut 3 hal yang paling berharga, yaitu: 1). Kejujuran, 2). Kepercayaan, dan 3). Sahabat. Lalu mengakhirinya dengan 3 hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu: 1). Tuhan, 2). Nabi Muhammad dan 3). Orang Tua dan Keluarga. Wah…sudah aku katakan ketemu teman lama seperti ketemu seorang guru, guru spiritual yang mampu menyadarkan dengan pola sederhana, lugas dan meng-intisari.


Menyimak ungkapan 3 hal yang disampaikan teman lama, aku merasa dibagi sesuatu yang berharga di bulan puasa ini. Puasa kata guru ngajiku merupakan ibadah yang harus memjadi proses ‘pensalehan individu’ dan ‘pensalehan sosial’ seseorang. Maksudnya bahwa puasa selain diharapkan menjadi proses penguatan moral individual seseorang juga semestinya merupakan penyadaran dan aktualisasi kepedulian sosial. Semangat berbagi rejeki, kelimpahan kebutuhan hidup kepada fakir miskin dan mereka yang terkena musibah adalah hal yang positif, termasuk berbagi ‘tausiah’ kebaikan juga merupakan hal positif yang akan mengantar pada pembentukan pribadi yang berkesalehan sosial. Sekarang ini, bangsa kita tengah menghadapi ujian besar. Sebagai bangsa yang memiliki kekayaan alam yang besar, sebagai negara yang rakyatnya mayoritas mengaku beragama Islam, pemimpinnya banyak yang tampil sebagai sosok yang berkesalehan individual. Sayang hal itu tidak memberi gambaran kesalehan sosial, tergambar realita eksloitasi alam untuk kepentingan segelintir orang masih mendominasi, tingkat korupsi sangat tinggi dan tersistem, kebohongan dan rekayasa menjadi panglima, kedamaian dan keamanan masyarakat masih jauh dari harapan.


Tiga hal penting yang ternyata tidak tiga, mudah-mudahan bisa menjadi rambu-rambu atau peringatan, tanda yang harus kita jalani agar peraihan ‘kesalehan individu dan sosial’ mulai nyata. Memang kita tidak bisa berharap banyak ketika perangai politik kita ‘tidak tahu malu dan penuh tipu muslihat’. Tetapi tanpa harapan sama saja kita kehilangan hal yang sangat penting sebagai modal perubahan. Semangat berbagi dan saling bertausiah harus kita kobarkan agar arah ‘keadilan dan kesejahteraan sosial’ bisa kita kedepankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar