Selasa, 23 Februari 2010

REFRESSING


Menghibur diri, memanjakan diri, mencoba untuk santai terlepas dari rutinitas tugas-tugas dan himpitan kerja otak telah menjadi kesepakatan bersama kami, komunitas para kandidat doktor mipa 2008/2009 UA. Tanggal 20-21 februari merupakan waktu yang disepakati bersama kami untuk menggelar hajat itu dan pilihan tempat jatuh di sebuah villa di kota Batu yang terbilang lingkungannya masih 'fress'.

Acara berjalan mulus dan benar-benar memanjakan diri, santai, akrab, menyenangkan, tidak ada notulen yang harus dipatuhi, ketika komunitas beraklamasi 'ke BNS' maka bus bergeraklah ke surga anak-anak bermain, jadilah kami seperti anak-anak 'dewasa' ikutan naik dermolen dengan aneka lampu-lampu warna-warni. Ada yang jantungnya terpicu ada pula yang masih sempat tertawa-tawa. Komunitas setuju 'makan bakso inu malang' maka berame-rame kami nglurug bakso malang milik teman kami yang 'ternyata memberi diskon 50 %'. Asyik-asyik.

Ketika malam makin larut, setelah kami bincang-bincang tentang bagaimana 'membangun kebersamaan', acara dilanjut dengan acara bebas, boleh pilih bobo, ngrumpi di kamar, teras villa ditemani dingin malam atau bisa pula pilih 'berkaraoke' di ruang tengah bersama-sama. Keasyikan itu mengalir, sehingga jangan heran kemudian ada yang begadang hingga terpaksa 'subuhan' dulu baru tidur. Lalu jam tujuh pagi mesti bangun karena nggak mau ketinggalan untuk jalan-jalan menyusuri kampung bunga di Sidomulyo, sebuah kampung produktif yang menghasilkan aneka tanaman hias. Woooooow.

Saya merasa target refressing tercapai, semua happi, bisa tertawa-tawa, goda menggoda, makan durian berame-rame, naik perahu dan panen jambu bersama. Pembelajaran 'bening' pertama yang aku dapatkan mengikuti gelar hajat refressing cukup banyak, salah satunya adalah semakin kuatnya kesadaran bahwa hidup harus berkeseimbangan, tidak bisa tidak. Kita yang mayoritas berumur, punya problem rumah, ada problem kantor, ada harapan yang belum tercapai, butuh sarana pendewasaan, perlu upaya penyeimbang berupa nutrisi batin yang namanya 'refressing sehat' sejenak melupakan hal-hal berat dan rutinitas.
Pelajaran 'bening' yang tidak kalah penting adalah saya makin faham bahwa sekecil apapun ketidaksepahaman, beda pendapat, beda kepentingan, bisa menjadi 'energi polutan' yang berdampak sistemik menyebabkan disharmoni kebersamaan. Di sini kedewasaan diperlukan, sikap mau berpikir positif perlu dibangun, agar ketidaksepahaman, beda pendapat, beda kepentingan malah bisa menjadi barokah yang menempa kita menguatkan semangat 'sabar', mau berbagi dan intropektif. Menyadari kekurangan kita sendiri lebih 'terhormat' dari pada menyembunyikannya dengan terus menyalahkan orang lain.
Harapan saya terakhir, cobalah buang hal kecil yang dirasa kurang pas. Niat membangun kebersamaan jangan dicederai dengan 'guyonan' akan dirilisnya foto beberapa teman pada posisi tidak santun 'misalnya: sedang tidur dengan mulut terbuka, mimik tidak cantik, tidur mendengkur, mengenakan pakaian seadanya dan lain-lain'. Hindari menjelek-jelekan teman. Simpanlah hal unik kita di benak dan folder kita masing-masing, jangan jadikan sumber kontra produktif terhadap niat membangun kebersamaan. Ingak... ! Together will be Better !

Kamis, 11 Februari 2010

KEBERSAMAAN



Kata ‘kebersamaan’ rasanya begitu lekat di telinga kita, sering kita dengar bahkan sering kita ucapkan. Kata ini memiliki daya dan kekuatan yang membius mereka yang mendengarkannya sehingga banyak didamba orang atau digunakan orang untuk mencapai tujuannya. Kebersamaan adalah kodrat mahluk yang tidak mungkin ditiadakan, kebersamaan adalah tuntutan hidup. Beberapa waktu yang lalu kita sering dengar kalimat: ‘bersama kita bisa’, orang-orang meresponnya karena itu harapan , tetapi sekarang mana kebersamaan itu ?

Kebersamaan untuk tujuan sepihak adalah kebersamaan semu. Dalam hal itu kebersamaan yang nampak atau terwujud adalah kebersamaan ‘prematur’ dan tidak sehat. Sebagi contoh kebersamaan orang yang tengah melakukan kegiatan judi, mereka satu meja, sama-swama memegang kartu, mengeluarkan uang, tapi di dalamnya potensi konflik sangat besar sekali karena masing-masing ingin menang dan mengalahkan lawan.

Gambaran ‘kebersamaan’ yang layak kita teladani adalah kebersamaan akar, batang, daun, bunga, buah, bahkan pada tingkatan jaringan dalam melakukan tugas saling menunjang pertumbuhan tanaman. Organ-organ dan jaringan itu berbeda, memiliki ciri dan arah pertumbuhan yang relative berbeda pula, tetapi semua berada dalam ‘frame’ yang sama untuk menunjang keutuhan siklus hidup tanaman.

Kebersamaan teman-teman s3 UA 2008 harapannya bisa dihindarkan dari kebersamaan semu, kersamaan penjudi. Kebersamaan yang diharapkan muncul adalah kebersamaan tumbuh organ –organ tanaman . Saling tunjang, saling isi, saling bantu dan saling melengkapi. Karena kita sama-sama satu tujuan yang menyelesaikan studi dengan sebaik-baiknya.

Senin, 01 Februari 2010

REUNI PRODUKTIF

Tahun 2010 ini, baru jalan satu bulan, anehnya aku merasa situasi sudah agak berbeda. Tiba-tiba sederet teman-teman lamaku, satu per satu terjalin lewat benda kecil yang namanya hape maupun laptop, sebut saja sobat lamaku Rubianto yang sekarang di Amerika, Wardoyo temen smp dan tetangga kampung sekarang di Jambi, Dono dan Topo sikembar dari Ajibarang, Mas Ardi Praptopo senior di Fabio malah sama-sama di Jawa Timur, Tomi si pramuka, Tulus yang jitu, Himawan sang pelaut, Ana Ani di Papua dan masih banyak lagi. Jadilah kilas sejarah dan cerita lama menjadi bahan cerita yang menyenangkan dan menumbuhkan kerinduan.

Padahal kalau dipikir, kenapa itu tidak terjadi tahun lalu-lalu ? Jalinan pertemanan lama dari dan lewat dua benda kecil kenapa tiba-tiba memberondong sekarang. Selidik punya selidik itu imbas dari beberapa teman yang bergerilya di dunia maya yang menularkan keinginan kumpul atau ‘reuni’ mulai dari teman sesame SMP, SMA maupun Kuliah. Jadi fenomenanya seperti penyebaran virus, info itu berepidemi menyebar menjalinkan satu teman ke teman lainnya.

Di mesin pencari informasi milik mbah Geogle hari ini (1 Februari 2010, jam 11.00) tertulis catatan tentang reuni sudah berjumlah 2.340.000 buah. Mengalahkan informasi tentang Indonesia Idol yang baru berjumlah 588.000 buah. Edan tenan. Reuni berasal dari kata re dan uni. Re mengandung arti kembali, sedangkan uni berarti satu kesatuan. Sehingga re-uni bermakna sebagai sebuah kegiatan yang menyatukan kembali segenap komponen yang terpisah baik oleh waktu maupun tempat. Barangkali memang sudah jadi kodrat bahwa fenomena 'menyatu' merupakan hal yang disukai manusia.

Oleh karena reuni sebagai proses penyatuan maka ia harus bermakna sebagai sarana positif lahirnya jalinan silahturahmi, sekaligus menyadarkan kita adanya 'sosok' yang menyebabkan kita perlu dan harus bersatu. Memang, bersatu bukan harus 'menyatu', seragam, apalagi sama. Bersatu akan lebih punya makna karena keberbedaan yang sudah ada dan harus ada. Beda tingkat sosial ekonomi, beda pendidikan, beda suku dan rasa serta perbedaan lainnya yang ada pada kita. Keberbedaan yang berbeda tidak boleh menjadi alasan untuk tidak bersatu. Tidak ada yang lebih kuat jika kita mampu bersatu. Jangan mau runtuh karena bercerai, tapi tetaplah teguh karena kita selalu bersatu.

Reuni harus bisa menjadi darah segar yang menggairahkan siapapun yang mengikutinya tanpa pandang bulu status. Jangan jadikan arena yang menjengkelkan, tidak menyenangkan, semua yang hadir harus siap menghadapi kewajaran bertanya dari teman lama dan memang mereka butuh informasi kita atau sekedar basa-basi mungkin, seperti : apa kabar, sekarang tinggal di mana, kerja apa, anak berapa, yang sulung sekolah atau kuliah di mana, asal istri atau suami kamu mana ? Bisa saja pertanyaan akan berkembang jauh, tapi bisa saja akan berhenti pada satu pertanyaan saja, tergantung situasi yang terbangun di antara mereka. Jangan heran atau mangkel karena memang pada poin-poin seperti itu penilaian pada orang dewasa biasanya dimulai dan menjadi hal yang lumrah termasuk di luar reuni sekalipun.

Makin hari tentu pengelola kegiatan reuni harus makin cerdas, agar kegiatan ‘indah sesaat’ menjadi indah yang berkelanjutan. Kegiatan reuni mungkin akan lebih menarik manakala oreintasinya bisa digeser dari ranah yang cenderung sosial konsumtif menjadi kegiatan beranah sosial produktif. Panitia harus mampu membuat kegiatan yang bisa menghasilkan dana bersumber dari ‘potensi jual’ alumni. Misalnya panitia mendesain suatu kegiatan tambahan berupa pelatihan, seminar, diskusi, konsultasi, pameran tertentu, bagi masyarakat umum, dan nara sumber, pelatih, atau instrukturnya dari alumni yang pakar namun disepakati haram dibayar kepakarannya, sama saja dengan kepakaran panitia, sehingga dana kontribusi atau investasi peserta, sponsor dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan sosial alumni.

Saya yakin kalau tiap reuni alumni selalu dipungut sumbangan, apalagi dengan nilai yang ‘berbau’ gengsi-gengsian, bahkan todongan, semua akan membuat jalinan alumni itu akan rentan dan cepat bubar. Seorang tua bijaksana berujar, lakukan reuni dengan semangat berbagi. Jangan selalu berpaku pada berapa rupiah perkepala, karena ada juga di antara kita yang berkekurangan tapi juga ingin reuni, jangan juga ‘almamater’ cuma pasif karena alumni dan almamater itu ibarat anak dan ibu yang keduannya sama-sama saling butuh. Keduanya harus bersinergis. Bagi mereka yang mau ber-reuni, upayakan dengan cerdas bagaimana menggali ide-ide untuk mengisi reuni agar produktif, yakinlah dengan demikian akan memberi gairah pada semua yang mengikutinya termasuk masyarakat umum di luar komunitas yang bereuni.

Kamis, 28 Januari 2010

INEKUALITAS


Ada sebuah ‘analogi’ yang menarik ketika kita membaca buku ‘The Black Swan’ karya Nassim Nicholas Taleb pada bab 14 yaitu tentang ‘Lingua Franca’. Nasim sendiri di buku itu tidak membahas arti dari ‘Lingua Franca’. Ketika aku cari di kamus dan ensiklopedi ternyata kata itu bermakna ‘bahasa pengantar’ atau ‘bahasa pergaulan’. Lingua Franca adalah bahasa yang telah berkembang dan menjadi alat komunikasi antar komunitas. Lalu apa hubungan analogi ‘lingua franca’ yang disampaikan Nasim dengan inekualitas ?


Analogi ‘lingua franca’ yang disampaikan Nasim disitir dari pakar ilmu bahasa Harvard yang bernama George Zipf. Nasib kita, baik keberuntungan atau kegagalan dapat dapat difahami melalui analogi yang pada intinya menggambarkan proses inekualitas, proses yang berbuntut pada ketidaksamaan keberuntungan (misal: perolehan uang, karir, popularitas) yang terjadi pada kehidupan kita.


Sebuah bahasa yang terpilih atau berada di atas angin dipakai sebagai bahasa pengantar atau bahasa pergaulan, secara otomatis akan menarik perhatian banyak orang beramai-ramai memakainya, pemakaiannya akan menyebar seperti sebuah epidemi, dan hal itu akan mengakibatkan penggunaan bahasa-bahasa lain menurun. Dalam kontek 'lingua franca' berarti bahasa tersebut diuntungkan (baca: inekualitas) dibanding dengan bahasa lainnya.


Gengsi, prestise, modernitas, status, peluang kerja, dan lain-lain adalah hal-hal yang akan makin mendorong kuatnya inekualitas dalam kehidupan kita. Banyak aktifitas manusia yang makin mendorong fenomena inekualitas, sadar tidak sadar pendidikan juga telah menyuburkan inekualitas, karena melalui pendidikan kita jadi makin berbeda, pekerjaan dan penghasilan berbeda, kepuasan juga berbeda. Hal ini yang menyebabkan percepatan dikotomis nasib, sering membuat orang yang kaya makin kaya, yang tenar makin tenar, yang sedih makin sedih.


Tapi ingat, bahwa proses inekualitas tidak berarti akan terus berjalan dikotomis lurus, mulus, selalu berada pada factor keberuntungan atau kesialan, bisa saja seorang yang biasa menang dikenal sebagai sang juara legendaries tiba-tiba dikalahkan oleh seseorang yang tidak diketahui asal usulnya serta kehebatannya sebelumnya. Umumnya kekalahan seorang juara karena kelalaian sederhana yang menganggap dirinya tak terkalahkan, dirinya memiliki power yang dasyat tiada duanya. Sementara lawan dianggap calon pecundang yang tidak mempunyai arti dan lemah. Padahal banyak hal tak terduga bisa terjadi dalam sebuah pertarungan.


Kesadaran memang harus dibangun bahwa seorang juara tidak akan selamanya jadi juara, demikian pula buat orang yang gagal tidak selamanya akan gagal. Orang yang kaya raya dalam waktu sekejap bisa saja bangkrut, orang yang susah bisa saja tiba-tiba mendapat keberuntungan yang tidak masuk akal. Jadi dalam fenomena hidup yang sangat kompetitif ini tidak ada seorangpun yang aman menempati posisi yang dibanggakannya.


Harus menjadi pemahaman kita bahwa kita memang berbeda, walau sama-sama manusia, namun dari aspek bangsa, suku, generasi, lingkungan, keluarga, umur, budaya, pendidikan, status, problem, serta cara berpikir tidak ada yang bisa sama. Salah satu aspek saja berbeda akan menyebabkan potensi dalam fenomena kompetitif berbeda. Jadi jelas, kalau kemudian nasib dan keberuntungan kita berbeda, harus disadari salah satu penyebabnya adalah karena kita memang berbeda. Itulah inekualitas. Kita harus mampu belajar menerima apa saja yang menyertai hidup kita, upayakan nikmati perbedaan jangan protes terlebih menyesali, karena hidup memang harus diwarnai tidak harus dibiarkan hitam dan putih. Lalu ingat, kemampuan mewarnai , melukis dan selera kita tidaklah sama.


(Catatan : Buat Istriku, dan Sahabatku Yang Sama-Sama Berulang Tahun)

Rabu, 20 Januari 2010

SEANDAINYA.........


Seorang teman berbicara kepadaku ….seandainya aku bisa …, ia mengungkap sebuah keinginan yang bisa saja dia lakukan tapi ia tidak mau lakukan. Teman yang lain juga bicara seandainya.........., anakku juga pernah bilang seandainya aku jadi............, rasanya aku juga yakin pernah mengungkapkan kata itu. Ucapan seandainya …… yaaaaaa seandainya …….begini begitu, sebuah uangkapan yang begitu akrab dan sering terdengar di telinga kita. Kalimat yang berkait dengan ungkapan sebuah harapan yang belum atau tidak bisa terlaksana atau terwujudkan. Ungkapan dengan kata ‘seaindainya’ terasa begitu melarutkan pikiran kita, menggoda, mengajak kita terbuai dalam fenomena berandai-andai.


Fenomena ‘berandai-andai’ akan sangat mungkin membawa kita pada alam imajinasi yang luas tak terbatas. Mulai beimajinasi seandainya ‘aku punya uang’ sampai berandai ‘jadi presiden negeri seribu pulau ini’. Berandai juga bisa memasuki ranah rasional dan irasional, tidak mengenal dimensi waktu, tidak tersentuh keharusan kriteria dan metodologis, Pernahkah anda membaca buku ‘Andai Tuhan Komersial’ ? Itu adalah suatu penggambaran kontradiktif ‘tentang Tuhan’ sebagai upaya penyadaran pada manusia yang cenderung sangat ‘materialistik’, bayangkan andai Tuhan mengharuskan kita membayar yang Ia sediakan di alam. Wow !!


Kita juga sering menggunakan kata itu untuk menutupi kekecewaan akan sesuatu hal, atau sebagai upaya berkelit atau ‘merasionalisasi’ dari hal yang sudah terjadi, tetapi tidak dikehendaki, sebagai protes kecil atau penghibur diri dari sesuatu yang tidak mungkin kita rubah. Misalnya orang tercinta kita karena kecelakaan dan meninggal, sering muncul ungkapan ….seandainya ia tidak pergi….. seandainya ia nurut nasehat …… seandainya tidak demikian ….seandainya…..seandainya…. seandainya lagi. Kalau kita tidak mampu memupus andai-andai itu maka itu bisa menjadi preseden menurunnya keimanan kita pada Yang Maha Mengatur, kita berarti tidak bisa menerima kenyataan atau mungkin takdir.


Tapi juga kata ini sering digunakan sebagai tabir pelindung diri atau sebagai gaya komunikasi atau basa-basi untuk menghindari sesuatu yang sebetulnya malah bisa saja dilakukan, tapi karena ego ia tidak mau melakukan. Misalnya seseorang yang sedang dililit hutang lintah darat dan datang pada seorang saudagar yang berkelebihan untuk meminta bantuan pinjaman, saudagar kaya tidak ingin membantu tapi ia perlu sopan dan basa-basi, maka ia akan katakana maaf seandainya saya bisa membantu …….pasti saya bantu.… seandainya kemarin datangnya saya bisa bantu…. Seandainya menjadi modal komunikasi semu.


Seorang temanku yang suka kontemplasi berpendapat bahwa ketika kita sering masuk dalam fenomena “seandainya”, maka sesungguhnya kita telah terjerebab dalam lingkungan semu tanpa batas yang tidak produktif. Lingkungan yg selalu menciptakan bayangan dan khayalan-khayalan yang merasuki pikiran, rasa, bahkan perilaku manusia membimbing menjauh dari realita. Ketika kita berada pada kondisi kesemuan yang demikian maka kita harus secepatnya sadar, lalu berbenahlah dengan menerima kenyataan yang ada, hadapi persoalan hidup dengan ketegaran walau sepahit apapun. Jangan pula bersembunyi dari realita yang seharusnya bisa menstimulasi energi positif, semangat berbagi dan ‘rasa syukur’.


Setiap kita mengungkapkan kata ‘seandainya’ coba resapi, sadari. Sesungguhnya di balik itu ada rasa pengingkaran terhadap realita, berbuntut penyesalan, sebuah rasa tidak bisa menerima kenyataan hidup karena keinginan tidak terlaksana atau tertunda. Sekecil apapun yang dirasa. Lalu basa-basi dengan kata ‘seandainya’ kadang bisa menjesatkan, kadang bisa melahirkan interpretasi keliru, kadang malah memancing respon kita melahirkan fantasi yang belum tentu kita sanggup melayaninya.

Minggu, 10 Januari 2010

RASA TAKUT

Seorang teman menulis sms kepadaku, yang intinya menantang aku untuk melakukan hal yang selama ini tidak berani aku lakukan. Temanku memahami betul diriku, karena dialah sahabatku tempat di mana aku biasa berbagi cerita, atau dia bercerita padaku, kami telah sepakat untuk saling percaya dan menjaga rahasia. Katanya ' harapan harus diperjuangkan, keinginan harus diaktualisasikan, pergulatan adalah hal biasa dalam hidup, kau harus berani menang tapi juga harus bisa menerima kalah'.
Permasalahannya aku tidak merasa punya energi berpetualangan yang memacu andrenalin, aku orang yang biasa-biasa saja. Kebiasaan berpikir positif, selalu melahirkan kontradisi pilihan agar jangan memilih aktifitas yang beresiko, sementara di sisi yang lain aku sering ingin merasakannya. Petualang besar mengatakan bahwa hidup itu selalu memberi kesempatan untuk diisi dengan berbagai pengalaman, kanvas kehidupan terbuka oleh goresan berbagai warna yang kita inginkan. Siapkah kau untuk berbeda atau berubah dengan cara melawan ketakutanmu ?

Berbeda tentu saja, karena ego dan keberanian akan merasa dimenangkan, diberi angin padahal biasanya terbelenggu atau dibelenggu. Beranikah kau menghadapi kenyataan akan adanya perubahan pada dirimu ? Berubah menjadi berani kadang bisa melahirkan 'keakuan yang berlebihan', lalu 'ketidakpedulian' yang semua cenderung mengesampingkan rasionalitas, menafikan rambu-rambu kewajaran. Kita sering dengar bahwa bagi seorang petualang pemberani hutan adalah jalan raya, tebing curam adalah tangga biasa, bermain di laut seperti di lapangan sepakbola saja, sepertinya tidak ada rasa takut di dada mereka.

Pada saat aku masih remaja, mungkin aku pernah dibilang pemberani sebab di antara teman temanku akulah yang sering berani menerima tantangan. Pernah suatu saat terjebak di puncak gunung dengan hutan yang terbakar, aku nengambil resiko membantu teman-teman yang terjebak di kobaran api dan kepulan asap sementara teman yang lain cenderung menyelamatkan diri sendiri, naik turun puncak dengan cara seenaknya, berani menuruni kawah yang penuh asap belerang untuk mengambil bantuan makanan yang dijatuhkan dari pesawat . Sekarang keberanian itu tidak pernah lagi ada, sekali-kali ada terutama hadir ketika dalam keadaan terpaksa atau terdesak.

Seseorang dikatakan berani ketika ia mampu menguasai rasa takutnya. Bagaimana caranya menguasai rasa takut ? Yaitu dengan cara mengenal ketakutan itu, dan upayakan rasa itu untuk tidak bertahan lama dalam diri kita, pikirkan hal lain sejenak, lalu kuasailah, yakini bahwa rasa takut itu merupakan awal dari masa depan yang lebih cerah, jadikan ia sebagai energi motivator untuk memenuhi keinginan hidup kita.

Berdasar hukum alam kita tahu bahwa semua makhluk yang diciptakan di alam raya ini pastilah ada gunanya. Demikian pula berlaku pada rasa takut. Tidak seluruh rasa takut yang kita miliki berfungsi menggagalkan rencana sukses kita sebab pada dasarnya rasa takut adalah kekuatan (power) potensial yang kalau diaktualkan dapat mendukung rencana kesuksesan kita. Aktualisasi rasa takut menuntut persyaratan mutlak kita sebagai pemilik perasaan, untuk mengerti rasa takut itu. Kita perlu mengasah kecerdasan emosi yang salah satu pilarnya adalah menguasai ego atas muatan pikiran dan perasaan ketika sedang merasakan sesuatu. Begitu ego yang menguasai kita rebut maka kita bisa mengubah atau memberdayakan rasa takut yang oleh pendapat para pakar memiliki daya dorong tinggi. Ahli psikologi mengatakan : "Ada dua motivator dalam diri kita yaitu: motivator menginginkan sesuatu dan menghindari sesuatu. Motivator kedua lebih perkasa mendorong seseorang ketimbang motivator pertama.
Jadi untuk sahabat-sahabatku, kita harus manfaatkan rasa takut itu, dan jangan membiarkan diri kita dimanfaatkan olehnya! Jadikan rasa takut itu sebagai banteng kita, jangan malah melumpuhkan diri kita! Maka apa yang kita butuhkan adalah menguasai rasa takut agar dapat digunakan sesuai kepentingan kita untuk menginginkan atau menghindar secara positif. Untuk itu baiknya kita memiliki keberanian berinisiatif, punya pendirian yang kuat, berintegritas, terus meningkatkan kemampuan dan keahlian, memiliki daya dukung lingkungan yang kuat. Nah, kapan aku dan kau menjadi berani ?

Minggu, 03 Januari 2010

SPIRIT PANTANG MENYERAH


Tiba di Bogor aku beruntung disambut udara cerah, jalanan tidak begitu macet, dan langsung bisa jumpa dengan kakak kandungku dan keponakan. Padahal biasanya selalu ketemu hujan, kemacetan angkot hijau di mana-mana, trus tidak bisa ketemu langsung kakak yang kesibukannya padat. Sebagai kota dengan tingkat curah hujan tertinggi di Indonesia, kota Bogor selalu menarik untuk dirindukan. Rupanya kota ini terus menggeliat berkembang ke berbagai arah mata angin, ke barat daerah Yasmim makin cantik, ke utara daerah Warung Jambu makin berkembang daerah perumahan, ke timur daerah Tugu Kujang supermarket dan outlet makin menjamur, ke selatan daerah makin eklusif dengan hadirnya Bogor Niwana Resort.

Keponakanku dah pada tumbuh besar dan dewasa, seperti lama nggak jumpa saja, padahal paling setahun nggak ketemu. Aku senang dan bersyukur, seperti halnya orang tua mereka yang melihat anak-anak tumbuh dengan wajar bahkan menurutku pikiran mereka makin berkembang positif. Semua memiliki prestasi masing-masing yang cukup membanggakan. Kesadaran kita tetap pada hal terpenting dalam pengembangan anak yaitu bagaimana menumbuhkan sikap jujur, kemampuan bakat khusus dan bagaimana bisa kerjasama.

Ketika aku memasuki kamar keponakanku yang sulung, aku tersentak lantaran kamar itu dicorat-coret dengan berbagai tulisan, dipilox warna hitam besar-besar. Aku spontan bilang: “ wo….. seperti ‘the Bronk aja !” pada Reza yang punya hobby musik dan bola. Dia Cuma tersenyum. Ketersentakanku berubah menjadi rasa retarik ketika menyimak tulisan-tulisan yang ada, tidak aku temukan coretan bernada negatif, semua positif, ada makna solidaritas pertemanan, ada kesejarahan masa lalu, ada harapan dan cita-cita, dan yang terpenting ada ‘spirit’. Di dinding itu tidak sedikit kalimat ‘not for lose’, ‘noting for lose’ dituliskan dengan tegas. Baju bekas seragam sekolah yang penuh corat-coret penanda syukur pasca pengumuman ujian, ada piala-piala dan tropy.



Malamnya aku diajak keponakanku yang cantik yang suka ngomel ketika ada yang salah dengan kita untuk nonton film 'Sang Pemimpi' di Botani Squar IPB Baranangsiang bersama kedua orangtuanya dan satu sepupunya yang kukuh bercita-cita sebagai polisi. Sepulang habis nonton film aku merenung, rasanya mengerucut sudah hikmah perjalananku ke Jakarta - Bogor, memang orang harus memiliki spirit pantang menyerah. Spirit ini penting untuk menjaga agar kita tetap berjalan di jalur harapan, cita-cita atau mimpi yang kita patok.



Jadi ketika ada teman-teman S3 pada sms atau telpon mengeluh konsep proposalnya terus-menerus dibokar dan disalahkan para profesornya, aku cuma bilang dengan jawaban klasik, 'sabar, itu semua proses yang harus kita jalani, studi s3 harus disadari bukan cuma sekedar belajar tentang 'sain dan teknologi' tapi juga belajar kesabaran, ketekunan, kejernihan berpikir, komunikasi, tenggang rasa dan sofies atau kebijaksanaan'. Ya, itu kenyataan. Banyak mereka yang telah menjalaninya studi S3 mengatakan demikian. Masing-masing orang memiliki ragam, porsi dan kadar masalah sebagai sumber pembelajaran yang berbeda-beda. Bahkan dilihat sumbernya masalah sebagai sumber pembelajaran tidak selalu datang dari para profesor yang berperan dalam pembelajaran kita, tapi bisa jadi dari diri kita, sahabat kita, dari keluarga kita, atau orang tercinta kita.


Seorang teman merasa hal yang menjadi masalah adalah aspek ekonomi, bagaimana ia mengatur uang miliknya untuk keperluan hidup rumah tangganya, studi anak-anaknya dan studi dirinya sendiri. Sampai kadang muncul keluhan, " sebenarnya yang lebih urgen ia yang harus sekolah atau anak-anaknya ?". Teman yang lain bercerita ia punya problem rumah tangga yang 'sangat rumit', yang lain punya hambatan komunikasi dengan dosennya yang susah terperbaiki, banyak yang punya problematika disertasi yang ngambang, dan lain-lain. Semua problematika dipengaruhi oleh cara hidup, cara belajar, cara kerja, pola komunikasi, konsistensi, fasilitas, kesempatan, dan lain-lain yang tiap orang tentu berbeda.


Perbedaan itu harus kita sadari sebagai fitrah yang diberikan Sang Pencipta, harus dihikmahi dan bisa menjadi pembelajaran yang baik bagi kita. Kita tidak perlu iri ketika seseorang teman bergerak di depan kita, kita tidak perlu membanding-bandingkan perolehan kita dengan orang atau teman yang lain. Karena memang problematika kita berbeda-beda. Yang perlu di bangun adalah bagaimana kita sama-sama memiliki 'Spirit Pantang Menyerah' , semangat ini harus dilahirkan dan ditumbuhkan bersama mimpi-mimpi kita. Ingat bahwa 'pada setiap kesulitas pasti ada jalan keluar'. Kalau kita berusaha pasti kita bisa.