Senin, 01 Februari 2010

REUNI PRODUKTIF

Tahun 2010 ini, baru jalan satu bulan, anehnya aku merasa situasi sudah agak berbeda. Tiba-tiba sederet teman-teman lamaku, satu per satu terjalin lewat benda kecil yang namanya hape maupun laptop, sebut saja sobat lamaku Rubianto yang sekarang di Amerika, Wardoyo temen smp dan tetangga kampung sekarang di Jambi, Dono dan Topo sikembar dari Ajibarang, Mas Ardi Praptopo senior di Fabio malah sama-sama di Jawa Timur, Tomi si pramuka, Tulus yang jitu, Himawan sang pelaut, Ana Ani di Papua dan masih banyak lagi. Jadilah kilas sejarah dan cerita lama menjadi bahan cerita yang menyenangkan dan menumbuhkan kerinduan.

Padahal kalau dipikir, kenapa itu tidak terjadi tahun lalu-lalu ? Jalinan pertemanan lama dari dan lewat dua benda kecil kenapa tiba-tiba memberondong sekarang. Selidik punya selidik itu imbas dari beberapa teman yang bergerilya di dunia maya yang menularkan keinginan kumpul atau ‘reuni’ mulai dari teman sesame SMP, SMA maupun Kuliah. Jadi fenomenanya seperti penyebaran virus, info itu berepidemi menyebar menjalinkan satu teman ke teman lainnya.

Di mesin pencari informasi milik mbah Geogle hari ini (1 Februari 2010, jam 11.00) tertulis catatan tentang reuni sudah berjumlah 2.340.000 buah. Mengalahkan informasi tentang Indonesia Idol yang baru berjumlah 588.000 buah. Edan tenan. Reuni berasal dari kata re dan uni. Re mengandung arti kembali, sedangkan uni berarti satu kesatuan. Sehingga re-uni bermakna sebagai sebuah kegiatan yang menyatukan kembali segenap komponen yang terpisah baik oleh waktu maupun tempat. Barangkali memang sudah jadi kodrat bahwa fenomena 'menyatu' merupakan hal yang disukai manusia.

Oleh karena reuni sebagai proses penyatuan maka ia harus bermakna sebagai sarana positif lahirnya jalinan silahturahmi, sekaligus menyadarkan kita adanya 'sosok' yang menyebabkan kita perlu dan harus bersatu. Memang, bersatu bukan harus 'menyatu', seragam, apalagi sama. Bersatu akan lebih punya makna karena keberbedaan yang sudah ada dan harus ada. Beda tingkat sosial ekonomi, beda pendidikan, beda suku dan rasa serta perbedaan lainnya yang ada pada kita. Keberbedaan yang berbeda tidak boleh menjadi alasan untuk tidak bersatu. Tidak ada yang lebih kuat jika kita mampu bersatu. Jangan mau runtuh karena bercerai, tapi tetaplah teguh karena kita selalu bersatu.

Reuni harus bisa menjadi darah segar yang menggairahkan siapapun yang mengikutinya tanpa pandang bulu status. Jangan jadikan arena yang menjengkelkan, tidak menyenangkan, semua yang hadir harus siap menghadapi kewajaran bertanya dari teman lama dan memang mereka butuh informasi kita atau sekedar basa-basi mungkin, seperti : apa kabar, sekarang tinggal di mana, kerja apa, anak berapa, yang sulung sekolah atau kuliah di mana, asal istri atau suami kamu mana ? Bisa saja pertanyaan akan berkembang jauh, tapi bisa saja akan berhenti pada satu pertanyaan saja, tergantung situasi yang terbangun di antara mereka. Jangan heran atau mangkel karena memang pada poin-poin seperti itu penilaian pada orang dewasa biasanya dimulai dan menjadi hal yang lumrah termasuk di luar reuni sekalipun.

Makin hari tentu pengelola kegiatan reuni harus makin cerdas, agar kegiatan ‘indah sesaat’ menjadi indah yang berkelanjutan. Kegiatan reuni mungkin akan lebih menarik manakala oreintasinya bisa digeser dari ranah yang cenderung sosial konsumtif menjadi kegiatan beranah sosial produktif. Panitia harus mampu membuat kegiatan yang bisa menghasilkan dana bersumber dari ‘potensi jual’ alumni. Misalnya panitia mendesain suatu kegiatan tambahan berupa pelatihan, seminar, diskusi, konsultasi, pameran tertentu, bagi masyarakat umum, dan nara sumber, pelatih, atau instrukturnya dari alumni yang pakar namun disepakati haram dibayar kepakarannya, sama saja dengan kepakaran panitia, sehingga dana kontribusi atau investasi peserta, sponsor dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan sosial alumni.

Saya yakin kalau tiap reuni alumni selalu dipungut sumbangan, apalagi dengan nilai yang ‘berbau’ gengsi-gengsian, bahkan todongan, semua akan membuat jalinan alumni itu akan rentan dan cepat bubar. Seorang tua bijaksana berujar, lakukan reuni dengan semangat berbagi. Jangan selalu berpaku pada berapa rupiah perkepala, karena ada juga di antara kita yang berkekurangan tapi juga ingin reuni, jangan juga ‘almamater’ cuma pasif karena alumni dan almamater itu ibarat anak dan ibu yang keduannya sama-sama saling butuh. Keduanya harus bersinergis. Bagi mereka yang mau ber-reuni, upayakan dengan cerdas bagaimana menggali ide-ide untuk mengisi reuni agar produktif, yakinlah dengan demikian akan memberi gairah pada semua yang mengikutinya termasuk masyarakat umum di luar komunitas yang bereuni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar