Minggu, 25 Maret 2012

MULTI TALENTA



Saya punya seorang teman kuliah yang sangat istimewa, ndak tahu apa yang membuatnya demikian, karunia Allah barangkali, tapi sungguh saya bisa katakan bahwa dia ‘teman serba bisa’. Di kelas IP-nya selalu di atas 3, tak heran beberapa dosen memilihnya menjadi asisten di laboratoriumnya. Dia juga aktivis mahasiswa, dalam periode kuliahnya ia pernah jadi dedengkot Senat Mahasiswa atau Badan Perwakilan Mahasiswa. Dia juga penggerak perkesenian di kampunya, ngurusi teater, karawitan, seni lukis. Dia adalah aktor teater tangguh, pemain watak, kalau berpantomin membuat teman-temannya kagum atau tertawa karena lucu. Dia juga sutradara yang pintar membuat pentas diminati penonton dan sponsor menyumbang. Di luar kampus aku juga tahu dia jadi penggerak pelukis di kotanya, lukisannya juga tidak memalukan. Dia juga pemain inti softball di kampus, sering kalau tanpa kehadirannya timnya jadi pincang karena dia berposisi di picher, sang pelempar bola, tidak semua bisa.
Keistimewaan sang teman ini tidak berhenti di situ, suaranya ketika harus menyanyi juga bermain musik bisa diterima anggota group lainnya. Aku masih ingat bagaimana kami memenangkan kompetisi ‘tari se Indonesia’ , tampil dengan “rampak banyumasan’ dan dialah yang jagi vokal dengan celotehan jenakanya. Ia bisa menjadi pelawak, tapi juga bisa menjadi sosok yang serius berdebat dan diskusi bidang ilmunya.  Termasuk juga bisa menjadi anak muda yang romantis, tidak seperti aku  yang jomblo hingga tua di kampus, sementara dia punya kekasih yang cantik jelita.
Guru spiritualku bilang bahwa orang seperti teman yang satu ini adalah orang yang dikaruniani ‘ bakat –bakat bawaan’ , ia banyak mempunyai keistimewaan , seolah menjadi orang serba bisa. Akupun meyakini karunia seperti itu, tidak banyak orang bisa memiliki keistemewaan seperti itu. Kemampuan memang bisa diasah, bisa dibentuk, tapi kalau tidak memiliki bakat bawaan akan sulit mematangkannya apa lagi untuk eksis menjadi bekal hidup di masyarakat. Bukti lain keistimewaan sang teman yang adalah pada bidang kepemimpinan, belakangan aku dapat kabar bahwa ‘dia’ sekarang sukses menjadi ‘seorang bupati’ di daerah asalnya dan dicintai rakyatnya.
Guru spiritualku yang lain mengatakan bahwa orang seperti teman yang menjadi cerita pada tulisan ini adalah ‘seorang dengan multi talenta’ , yaitu orang yang lahir dengan kemampuan –kemampuan  istimewa yang banyak. Allah membekali otak, indra dan badan yang sama kuatnya, sehingga antara kerja pikiran, olah indra dan tubuhnya bisa berjalan seirama, harmonis, sehingga menghasilkan olah pikir dan tubuhnya seringkali sesuai dengan harapannya.  Menurutku, sang teman yang yang memiliki multi talenta itu barangkali kuncinya karena dia juga percaya memiliki kepercayaan diri yang besar, kepercayaan diri itu yang membuatnya melakukan banyak hal tanpa bebean, keyakinan itu pula yang membuat ia bisa meraih apa yang diinginkannya.
Keyakinan adalah modal penting untuk kita berbuat dan meraih kesuksesan. Karena keraguan diri , rasa takut, emosi, kegelisahan pikiran akan melahirkan disoreintasi dan disingkronisasi antara pikiran dan tubuh. Niat hati ingin bersuara merdu tapi yang keluar sumbatan di tenggorokan sehingga keluarlah suaranya yang parau dan sumbang, niat hati dan pikiran untuk mengajak gelak tawa tawa orang tapi yang muncul tata kalimat yang justru menyinggung orang lain dan laku yang tidak semestinya, niat hati dan pikiran untuk tampil sabar dan tenang tapi ternyata tubuh tidak kompromi sehingga muncul tangan yang gemetar dan wajah yang memerah, Memang disharmoni pikiran, tubuh dan indra kita harus dinetralisir dengan kepercayaan diri yang tangguh, tapi itu tidah mudah, tidak gampang apalagi tanpa talenta dari sononya.  

Rabu, 29 Februari 2012

SALAH KAPRAH

Mengikuti diskusi di masmedia, topik hangat yang lagi naik daun dikupas adalah mengenai banyak pihak yang menganggap banyak politisi kita yang  suka berbohong. Salah satu yang dicurigai bohong adalah keterangan Anggie ketika menjadi saksi kasus M Nazaruddin. Sepertinya keadaan tersebut makin membenarkan klaim para pemuka agama beberapa waktu yang lalu bahwa punggawa 'pemerintah' negeri ini telah banyak melakukan kebohongan.Makin hari makin terkuak, makin terang benderang kebusukan-kebusukan para punggawa negeri yang telah kita percayai memimpin bangsa dan negeri ini. Korupsi makin-menjadi-jadi, kemiskinan bukan berkurang malah makin bertambah, pembangunan terseok-seok, bencana, kekerasan menjadi hal biasa yang menyedihkan.

Seorang guru mengatakan keadaan negeri ini sudah salah kaprah. Pembenahannya sangat sulit, banyak hal kondisinya berada pada tataran yang tidak semestinya. Misalnya, kita bicara Anggota Dewan yang terhormat, kenyataannya kita semua tahu banyak berisi orang-orang yang gila hormat dan tidak layak dihormati. Lagi misalnya Hakim yang mulia, bagaimana bisa mulia kalau dalam menangani persidangan keseimbangan dia tidak menyadari bahwa ia lagi sebagai 'Tangan Tuhan " sehingga putusannya semestinya tidak terpengaruh oleh lembaran dolar, emas batangan, kekuasaan atau ancaman.Misal lagi 'polisi' sebagai aparat penegak hukum banyak kita tahu banyak yang bermain manipulatif dan kolutif, yang punya uang dibelani dan yang miskin dan tak berdaya dipenjarakan.

Pendidikan, kebenaran, moralitas bukan hal menarik lagi karena semua tidak memiliki arti di masyarakat, semua bisa dibeli dengan uang, kolusi dan nepotisme. Buat apa susah-susah belajar, orang yang tidak tamat sekoilah atau kuliah bukan rahasia lagi mereka bisa dengan uang ia dapat ijasah dan gelar doktor sekalipun. Kerja, jabatan, karir, kedudukan, pendapatan tidak banyak similar dengan jenjang kecakapan, kepandaian dan pendidikan. Seorang profesor yang untuk mendapatkannya sedemikian sulit, gajinya masih kalah dengan   seorang sarjana yang kerja di perpajakan. Kebenaran bukan hal yang membanggakan karena bisa dipelintir sedemikian rupa dengan uang dan kebohongan jamaah. Moralitas juga bukan hal yang 'adi luhung' dan menarik untuk diperjuangkan, karena sekarang banyak menjadi kedok para pemimpin, politis, 'ulama' untuk mencapai kehendaknya sehingga susah dicerna positifnya.

Saya setuju dengan seorang Suhu dari China, yang menyarankan rakyat Indonesia meniru bangsa China mengatasi problem keterpurukannya dahulu, yaitu dengan melakukan 'revolusi berdarah'. Semua koruptor dan orang yang salah besar pada kebobrokan negara dihukummati dan hartanya disita untuk negara. Cuma saya pikir juga akan sulit pelaksanaannya, mungkin karena lantaran banyaknya orang yang harus dihukum mati. Usul menarik dari teman di Banyuwangi, yaitu dia berpendapat bagaimana bisa tidak dukun-dukun santet bersatu, menyepakati sebuah santet nasional berkait korupsi, siapa yang benar-benar korupsi akan menderita penyakit aneh dan mematikan. Mungkin dengan cara demikian kesalah kaprahan bisa diperbaiki, bisa menjadi momok dan hal menakutkan orang yang akan melakukan. Ah....Ngoyoworo...   
 

NGLURUG TANPO BOLO MENANG TANPO NGASORAKE



                Seorang teman bincang-bincang dengan teman lainnya tentang kehebatan bangsa ‘Jepang’. Mulai dari semangat samurai, hakakiri, Yakuza, Fuji Film, Honda, Gunung Fujiyama, hingga bunga sakura. Siapa tidak mengenal negeri matahari terbit ?  Demikian kata salah seorang yang ada di komunitas bincang-bincang tersebut. Sekarangpun anak-anak kita barangkali Nampak lebih akrab dengan produk negeri ini disbanding dengan mengenal produk negeri sendiri. Filom anak misalnya anak-anak lebih familier dengan ‘Doraewmon’ di banding ‘Si Unyil’ bahkan film yang lainnya misalnya: sepakbola Jepang, Komik Jepang, Maruto dan lain-lain.
                “Produk Jepang sedemikian rupa bisa merajai di berbagai belahan dunia, pernahkah kita mencoba memikirkan mengapa bisa demikian ?” Tanya seseorang lainnya.
                “ Itu karena ethos mereka, pernah lihat film samurai ? Wooo ….. sangat mengesankan, kita bisa melihat bagaimana ‘kegigihan’, ‘kegagahan’ , ‘rasa hormat’, ‘ketaatan’ …….” Kata yang lainnya.
                   Berceritera tentang Jepang, aku ingat seorang Guru pernah membuat sebuah pembelajaran yang menarik dengan contoh ‘produk Jepang’. Sang Guru menjelaskan bahwa ‘bangsa Jepang’ yang berkenalan dengan budaya Jawa hanya seumur jagung, justru telah mampu menerapkan falsafah jawa penting yaitu: nglurug tanpo bolo menang tanpo ngasorake. Melalui produk-produk industrinya  Jepang ada di mana-mana, menembus lintas batas Negara bangsa. Melalui produk-produk unggulan mereka mampu diterima dengan suka cita, produk mereka  mempengaruhi kehidupan masayarakat Negara lain tanpa membawa ‘bala tentara’ untuk mempengaruhinya. Sebuah inperialisme gaya baru, barang-barang mereka menjajah kita dan menjadi penghidupan mereka tanpa harus perang dan mengalahkan.
                Perang masa kini adalah perang ekonomi, perang produk, perang dengan senjata sudah bukan jamannya lagi, selain seluruh bangsa-bangsa mengecam tindakan perang senjata juga perang jelas-jelas mengsengsarakan rakyat bangsa yang berperang. Di mana ada perang yang memakmurkan dan mententramkan masyarakat ? Bangsa yang cerdas mengalihkan ‘heroitasnya’ pada perang yang lebih bermartabat tidak banyak ditentang yaitu ‘perang produk yang berkecanggihan teknologi’, mulai dari produk pangan, sandang, papan, kendaraan, alat komunikasi hingga produk-produk kesehatan. Jadi terjadilah kompetisi ‘ekonomi’, perang ekonomi, sebuah keasyikan baru manusia dalam globalisasi dunia. Melalui keunggulan produk, suatu bangsa atau bahkan hanya suatu ‘perusahaan’ bisa memiliki unit usahanya di berbagai belahan dunia dengan karyawan seolah sebagai warga yang harus patuh pada tata aturan yang dimilikinya. Mereka tidak perlu membawa masyarakat bangsa negaranya untuk menjalankan ‘perusahaan’ di belahan bumi lainnya, dengan suka cita mereka akan mengabdi kerja, juga masyarakat yang ‘seolah terjajah’ oleh adanya perusahaan tersebut tidak akan merasa kalah tetapi sering merasa diuntungkan.
                Seorang Guru bijak berkata bahwa nglakoni ‘nglurug tanpo bolo lan menang tapi ora ngasorake’ bukan hal yang mudah. Karena untuk bisa ‘nglurug tanpo bolu’ orang harus berani, berani bukan asal berani, tapi berani dengan perhitungan yang cerrmat.  Orang yang berani nglurug berarti di dalam dirinya bersemayam mental juara, bukan mental ‘kroyokan’.  Juga falsafah Jawa itu, mengajarkan kepada kita bahwa kemenangan yang terhormat adalah kemanangan yang tidak merendahkan orang atau pihak lain yang menjadi lawannya. Di situ mengandung makna bagaimana seharusnya kita sebagai manusia bisa tetap menjunjung  harkat martabatnya sendiri dan sesamanya, menjaga kehidupan dan sadar akan kewajaran perbedaan.

Selasa, 07 Februari 2012

HARMONI DARI TANA TOA




                Dalam kegiatan Forum Layanan Iptek Bagi Masyarakat  di Sulawesi Selatan salah satu kegiatan yang menarik adalah perjalanan ke kecamatan Kajang tepatnya untuk melihat lebih dekat masyarakat tradisi ‘taha toa’. Memasuki kawasan Tana Toa seluruh rombongan disarankan menggunakan baju gelap kalau hitam lebih baik, warna menyolok tidak diperkenankan. Kenapa ? Jangan Tanya karena hal itu sudah berlaku turun temurun. Mungkin itu ada kaitannya dengan kesejarahan ‘masyarakat tana toa’, konon masyarakat ini adalah masyarakat yang sengaja mengisolasi dari ketidakberaturan hidup masyarakat pada waktu itu. Kondisi yang liar mendorong mereka membentuk masyarakat yang beraturan hingga kini. Mungkin warna menyala / norak termasuk warna yang berkonotasi panas, beringas yang mereka hindari, atau bisa jadi pilihan warna hitam untuk memudahkan bersembunyi dan warna cerah mudah terlihat.
                Sementara teman-teman ke rumah Ammatoa, saya berkenalan dengan anak muda Tana Toa yang kemudian antusias menemani aku keliling kampung. Alhasil aku dapat tontonan beragam anggrek di hutan-hutan Tana Toa; wow….ada Grammatophyllum scriptum, Cymbidium finlaysonianum, Vanda dearii,  Bulbophyllum vaginatum, Dipodium fictum, Eria densa, Liparis latifolia, serta anggrek-anggrek yang lain yang menggerombol di pohon-pohon besar. Keberuntungan juga ketika jalan-jalan di antara rumah masyarakat dalam suku kajang ini penulis berkenalan dengan  Camat Kajang dan dikenalkan dengan beberapa ‘Juru’ yang membantu Ammatoa, salah satunya adalah Galla Puto yaitu Sekretaris dan  Juru Bicara Tana Toa. Dari sang juru bicara inilah aku mengetahui beberapa hal tentang Tana Toa, beliau besama Bapak Camat dan sepertinya ajudannya dengan tekun menjelaskan berbagai hal tentang Tana Toa termasuk menuliskan lafal bahasa yang aku tidak mudeng. Dalam komunikasi harian masyarakat Suku Kajang  menggunakan bahasa Konjo. Bahasa konjo merupakan salah satu rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat.
                Menurut Galla Puto umumnya masyarakat adat Tana toa hidup dari bertani dan memelihara hewan ternak. Kehidupan mereka sangat sederhana, tercermin dari misalnya rumah mereka yang sangat sederhana, tiap rumah hanya memiliki satu tangga berikut pintu masuk dibagian depan. Pada bagian dalam tidak ada kamar, yang ada hanyalah dapur yang terdapat pada bagian depan rumah tepat di sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung filosofis bahwa Orang Kajang sangat mamuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Tidak adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa orang Kajang ingin menunjukkan sikap keterbukaannya kepada para tamu yang datang.
                Masyarakat kawasan adat Tana Toa dipimpin oleh Ammatoa yang sangat dipatuhi. Ammatoa berarti bapak atau pemimpin yang dituakan. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Ammatoa bukanlah pemimpin yang dipilih oleh rakyat melainkan seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Yang Kuasa.  Apabila seorang Ammatoa meninggal dunia, maka Ammatoa berikutnya akan ada lagi tiga tahun kemudian. Dalam masa tiga tahun, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang biasanya terdapat pada seorang calon Ammatoa. Setelah masa tiga tahun, para calon Ammatoa yang telah terpilih dikumpulkan, lalu seekor ayam yang telah dilepas pada penobatan terdahulu didatangkan lagi, lalu ayam tersebut dilepas kembali, ketika ayam tersebut lepas dan hinggap pada seorang calon Ammatoa, maka dialah yang menjadi Ammatoa.
                Sebagai tetua adat Ammatoa tidak sendirian, tetapi didampingi oleh dua orang Anronta, yaitu Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi serta 26 orang pemangku adat. Ke-26 orang pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas sebagai wakil atau sekretaris sekaligus juru bicara dan Galla Lombo yang bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Yang jelas di Tana Toa sudah ada tatanan, dan tatanan tersebut benar-benar dijunjung dengan teguh, ditaati bersama, bagi yang melanggar juga ada sangsi sesuai hokum adat. Ada beberapa hukum adat, mulai dari hukuman paling ringan sampai paling berat. Hukuman paling ringan atau disebut juga cappa babala adalah keharusan menbayar denda sebesar 12 real ditambah satu ekor kerbau. Satu tingkat di atasnya adalah tangga babala dengan denda 33 real ditambah satu ekor kerbau, denda paling tinggi adalah poko babala yang diharuskan membayar 44 real ditambah dengan seekor kerbau. real yang digunakan dalam hal ini adalah nilainya saja, karena uang yang digunakan adalah uang benggol yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan.
                Juga ada dua bentuk hukuman lain di selain hukuman denda yaitu: tunu panroli dan tunu Passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari palakunya. Caranya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang membara setelah dibakar. Jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan adat Tana Toa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu Passau. Caranya Ammatoa akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan ke pelaku agar jatuh sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.
                Kata Guru spiritual di Kajang  bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Tana Toa memegang teguh pasanga ri Kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Isi pasanga ri Kajang yaitu:
  1. Tangurangi mange ri turiea arana, yang berarti senangtiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak.
  2. Alemo sibatang, abulo sipappa, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
  3. Lambusu kigattang sabara ki pesona, yang artinya bertindak tegas tetapi juga sabar dan tawakkal.
  4. Sallu riajoka, ammulu riadahang ammaca ere anreppe batu, alla buirurung, allabatu cideng, yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung
  5. Nan digaukang sikontu passuroangto mabuttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.

                Bagiku mengenal dan berada di masyarakat Tana Toa merupakan hal yang menarik sekali, masyarakat suku Kajang yang dianggap ‘kuno’  dan menutup diri dari gempuran modernisasi zaman ternyata  memiliki ‘hal adi luhung’ yang sekarang makin banyak ditinggalkan masyarakat modern. Lima poin pasanga ri Kajang rasanya perlu menjadi pembelajaran buat kita ‘kumpulan siapapun, partai apapun, generasi manapun ’ yang menganggap lebih moderat, lebih rasional ketibang masyarakat tradisional tentu harus mampu  mengaktualisasi diri meninggalkan ‘kegaduhan, tidak beraturan, amoralitas’  yang jauh dari akar rumput masyarakat ketimuran yang semestinya santun, bisakah kita menelurkan ‘pasanga ri  kita’ yang bisa menggawangi bingkai kebangsaan kita yang beragam untuk tetap bersatu menjaga harmoni negeri . Masa kita tidak malu dengan Suku Kajang yang sederhana. Heeee !!!!!

Minggu, 08 Januari 2012

SIMPONI HARMONI



Kalau anda seorang manager, komponen yang anda ‘manage’ makin banyak maka kesulitan mengelola makin bertambah pula. Tubuh organisasi ketika bertambah umur makin gemuk, maka mulai perlu perhatian dan energi tambahan. Anggota yang banyak, akan menghadirkan suara dan bunyian yang beragam. Ibarat sebuah kumpulan ‘orkesta’ anda punya beragam alat musik, penyanyi dengan beragam tingkatan suara, semangat bermusik dan tenggangrasa bersimponi. Artinya mengelolanya tidak semudah ketika permasalahan hanya muncul menyangkut satu dua alat musik saja, ketika permasalahan hanya muncul dari harapan, gagasan, ide satu atau dua orang saja, tetapi pada organisasi yang komplek akan banyak problematika, tidak mudah seorang ‘dirigen’ (baca: manager) bisa menghadirkan ‘simponi yang harmoni’, merdu mendayu,dan  enak didengar oleh siapapun. 

Kegemukan organisasi, atau kompleksitas anggota organisasi, memaksa organisasi itu melahirkan kesepakatan-kesepakatan, aturan-aturan, ketentuan-ketentuan, berikut sangsi-sangsi agar keinginan organisasi bisa tercapai secara maksimal. Paling tidak minimal dimulai dari yang paling sederhana yaitu ‘kepatuhan pada komitmen yang disepakati’,  dan ketegasan sikap bagi yang melanggar komitmen. Konsistensi sikap adalah ukuran sebuah kesepakatan, manakala ada poin kesepakatan yang dilanggar dengan dalih pengecualian maka itu akan mempermudah pengingkaran pada komitmen itu untuk selanjutnya, dan akan berpotensi terjadinya disharmoni organisasi. Misal kalau ada yang malkomitmen atau yang melanggar tetapi karena dalih pelanggar adalah ‘pemrakarsa’ atau ‘big bos’ lalu kemudian lahir kebijakan ‘mentorerir’, tutup kasus dan tidak ada ketegasan menghukum, maka ini adalah awal malapetaka organisasi.

Guru spiritualku mengumpamakan gambaran sebuah simpony yang paling harmony yang bisa menjadi pembelajaran bagi kita adalah tubuh kita sendiri. Dari segi biologi di dalam tubuh manusia terdapat dari 75 -100 trilyun sel, yang meliputi sel tubuh (yang kemudian membentuk jaringan, organ, sistem organ), sel darah, sel mikroorganisme dalam tubuh. Bayangkan, betapa banyaknya yang bermain ‘orkestra’ di dalam tubuh kita, untuk itu manusia dianggap organisme terkomplek di muka bumi ini. Bagaimana jasad yang super komplek ini mampu melahirkan ‘harmony’ sebagai mahluk yang ‘individus’ atau tak tak terbelah, tiap elemen tubuh bersatu-padu membentuk sistem yang saling topang dan saling melengkapi satu sama lain. Ketika ada kerusakan pada satu bagian maka komponen yang lain akan berkonsentrasi memulihkan. Fleksibilitas terbagun satu sama lain, tidak ada dominasi peran, tidak ada monopoli peran, semua berperan menjaga keseimbangan hidup.  

Hal menarik lain yang bisa menjadi pembelajaran kita dari tubuh manusia  adalah ‘darah’, sel darah sebagai komponen terbesar tubuh manusia bukannya menjadi ‘arogan’ karena mayoritas menyusun tubuh, tapi ia justru tampil sebagai pelayan dan pelindung tubuh yang melayani dengan setia. Ia bekerja tak kenal waktu mengedarkan energi dan oksigen untuk keperluan metabolism hidup tiap sel-sel tubuh, juga ia memiliki pasukan ‘leucocyt’ yang siap melawan  sesakit di  bagian tubuh manapun tanpa perkecualian. Semua itu bisa terjadi karena tubuh manusia mempunyai satu mekanisme pengendalian menyeluruh dalam menjalankan organisasi terhadap tiap komponennya. Kalau ada proses yang disharmoni dalam salah satu komponen tubuh dan  tidak teratasi, hal itu potensial menjadi penyebab disharmoni menyeluruh sistem tubuh karena sistem terjalin satu sama lain. Orang yang di dalam darahnya terlalu banyak gula, dan tidak cepat teratasi akan berakibat, jantungnya bekerja lebih berat dan cepat rusak, ganguan seksual, ganjal rusak dan gagal berfungsi, dan ujungnya menghadirkan komplikasi penyakit yang mematikan.

Karena itu untuk membangun ‘simponi yang harmoni’, organisasi atau orchestra apapun membutuhkan tatanan sistem yang bisa melayani, menghidupi dan menjaga tiap komponen penunjangnya seperti tubuh itu. Kesadaran tentang adanya ketergantungan peran harus dibangun, rasa kebersamaan harus ditanamkan, komitmen untuk konsisten dan amanah menjalan tugas dan peran masing-masing harus menjadi ethos semua yang terlibat. Kata guru spiritualku manusia memang harus berusaha, proses mencapai harapan merupakan puncak karya kita, karena ‘kesempurnaan dan ‘hasil’ kerja sudah bukan urusan kita saja tetapi tergantung padaNYA.   

Sabtu, 31 Desember 2011

PEMBELAJARAN AKHIR TAHUN



                Untuk sebuah penghormatan pada teman yang tinggal menjalani fase akhir menyelesaikan program doktor, dari kantor mengirim satu rombongan ke Bogor menggunakan bus. Beberapa teman protes dan mengumpat-ngumpat ketika mereka merasa didorong untuk mau bersusah-susah tetapi saat berangkat baru tahu beberapa teman mereka justru mengambil jalan yang mudah dan tidak susah serta tidak melelahkan, naik pesawat.  Mana rasa toleransi dan kebersamaannya ? Memangnya kita gak bisa beli tiket pesawat apa ? Demikian teriak yang lain, sementara yang lainnya ada juga yang merasa dikibuli karena telah dijanjikan tersedianya sarana transportasi yang lengkap dan nyaman, tetapi kenyataan jauh dari yang diharapkan. Perjalanan dari Malang ke Bogor ditempuh selama 27 Jam, pulangnya lebih hebat lagi karena harus ditempuh dengan waktu 30 jam plus bonus makin debar-debar hati dan harus melalui proses ‘ngeban’ terlebih dahulu. Bagaimana tidak berdebar-debar setelah mengetahui bahwa sang sopir ternyata yang sering nampak kelelahan dan ngantuk telah  kerja lembur empat hari sebelumnya tanpa off pulang ke rumah atau istirahat yang cukup.

                Seperti halnya kebiasaanku, walau juga gelisah, aku mencoba mengajak teman-teman yang gundah untuk tetap berupaya mencoba menikmati perjalanan yang telah kita pilih. Berupaya meminimalisir hal buruk yang bisa saja terjadi.  Aku salut atas kesabaran teman-teman. Ada teman yang sangat perhatian pada sang sopir, kalau kelihatan capai atau ngantuk berat maka kepada sang sopir diminta untuk menepi entah untuk alasan ke toilet, istirahat, sholat atau makan, sementara kebutuhan untuk sopir dan kenet selalu disediakan. Yang lain mencoba menghibur dengan bernyanyi, bersendau gurau, goda menggoda, aku sendiri ikut bernyanyi atau menggoda anak teman yang lucu menggemaskan. Kami diselamatkan oleh suasana tol jagorawi yang relative tidak ramai seperti hari biasanya, juga jalanan yang tidak macet di jalan protokol kota Bogor, trus dapat panduan dari kakakku yang mengarahkan lewat jalan baru lingkar Bogor Utara sehingga yang prediksinya kami terlambat menjadi tepat waktu mengikuti ujian terbuka sang teman.

                Menurut Guru Spiritualku, kesabaran adalah puncak dari perolehan. Jadi teman-teman yang sudah mampu bersabar  ditempa perjalanan panjang melelahkan  berarti telah lolos ujian dan berada pada puncak perolehan, mereka mau susah dan senang bersama, makan nasi indramayu seharga dua ribu perporsi pun dilahapnya dengan suka cita. Pernah suatu waktu kepada para calon pemimpin Sang Guru bertutur, bahwa ada lima (5) hal penting agar seseorang bisa dihormati omongan dan tindakannya. Satu, bisa mengerti , sadar dan mampu mengaktualisasikan apa yang hak dan bathil; dua, mampu memberi dan menerima nasehat yang baik; tiga, mengurangi perbedaan dan pertentangan dengan argumentasi yang baik, yang benar sehingga akan dapat bersifat menyadarkan; empat, tetap memperlakukan dengan baik orang-orang yang berseberangan paham dan gerakan, lawan-lawan, atau  kompetitornya; lima, menjadi  teladan, seorang terpercaya tidak cuma hanya ngomong saja tapi  menjadikan dirinya sebagai panutan yang dalam tindakan.

                Bagiku, perjalan yang kami lalukan di penghujung tahun 2011 adalah sebuah ‘hikmah’, sebuah perjalanan yang sarat dengan pembelajaran hidup. Satu, pembelajaran dari sang teman yang akhirnya meraih gelar doctor, terbetik pembelajaran bahwa hijrah dengan niat dan upaya yang kuat akan mampu merubah hidup. Kebetulan sang teman adalah seorang sarjana peternakan, lalu S3 nya dia hijrah ke perikanan, walau cukup alot perjuangannya aku melihat kehijrahannya telah  merubah banyak kehidupannya, ada lompatan yang tidak mungkin terjadi tanpa tindakan hijrah. Dua, perjalanan itu juga memberi pembelajaran padaku bahwa  beberapa ‘teman-teman’ telah beranjak menengah dan berada pada tingkat kematangan hidup yang cukup tinggi, toleransi yang tinggi, kesabaran yang tinggi, tetapi sensitif pada sikap diskriminatif dan disharmoni. Sebagian besar telah menempatkan ‘kualitas hidup’ menjadi hal yang mesti diutamakan, termasuk pementingan pada kesehatan tubuh.

                Perjalanan tersebut kata Guruku yang lain mestinya harus menjadi pembelajaran bagi siapapun yang akan menjadi pemimpin, pemimpin apapun dan tingkat apapun,  contohlah Rasulullah, walau beliau adalah seorang pilihan Allah tetapi dalam memimpin beliau selalu: bersikap lemah lembut, selalu memaafkan kesalahan orang lain betapapun besar kesalahannya terhadap beliau, selalu memintakan ampun dosa dan kesalahan orang lain bukan memanfaatkan kesalahan orang lain untuk penonjolan dirinya, selalu mengajak bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu hal dan kosekuen dengan hasil musyawarah itu, selalu bertawakal kepada Allah SWT dengan perencanaan dan sistem kerja yang diupayakan matang.  Aku berdoa mudah-mudahan perjalanan di akhir tahun kemarin bisa menjadi perjalanan ‘spiritual’ teman-teman, mampu mencerahkan hati dan hidup kita.  Amin.

Sabtu, 24 Desember 2011

WANITA PERKASA



Beberapa hari yang lalu, diluar kebiasaan, aku ke Surabaya tidak membawa kendaraan sendiri tapi menggunakan bus umum. Pingin aja, udah lama tidak naik bus umum, pingin sedikit keluar dari kebiasaan, padahal sesungguhnya malah tidak bisa fleksibel. Dalam situasi apapun, jangan pikir misal ketika jalanan macet bisa main terobos memilih jalan alternatif, sekarang harus sabar ngikuti apa keinginan sang sopir.  Berangkatnya relatif lancar, cuma di  Porong yang agak tersendat lantaran pertigaan Polsek Porong di buka sehingga arus kendaraan harus selalu bergantian. Singkat kata,  ternyata ada hikmahnya memiilih pulang pergi ke Surabaya menggunakan bus, aku seperti diingatkan pada sosok almarhum Ibuku, sosok yang sangat aku cintai, wanita perkasa, ibu dan sekaligus bapakku. Memang, aku sejak kecil cuma hidup dengan  ibuku bersama saudar-saudaraku, tepatnya aku tiga bersaudara, semenjak ayah tiada hanya ibu yang menjadi tumpuan hidup kami.

 Saat pulang, di terminal Bungurasih aku bersikap tidak memaksakan diri kalau harus masuk bus dengan cara berebut, memang penumpang cukup banyak, sehingga aku harus maklum ketika baru bisa naik pada keberangkatan bus yang ke tiga. Itupun dengan cepat bus terisi penuh, aku lihat dari arah depan seorang ibu muda sambil menjinjing tas merah bata   beringsut cepat lalu memilih duduk di sampingku. Kami saling tersenyum, berkenalan, dan sepanjang jalan mengalir berbagi cerita, sampai-sampai aku pribadi diuntungkan tidak merasa jenuh dan kecapaian hingga sampai di terminal Arjosari Malang.  Terus terang, mendengar ceritanya itulah aku jadi ingat ibuku. Menurutku ia termasuk wanita perkasa. Walau nasibnya tidak seperti Ibuku, karena wanita itu masih punya suami yang produktif, tetapi ethosnya sebagai wanita yang ikut bekerja menopang kehidupan rumah tangganya. Layak aku jadikan catatan di hari Ibu ini, hari di mana semua anak bangsa ini selalu diingatkan betapa mulianya sosok seorang ibu.

Sebut saja wanitia ini berinitial ‘S’, tinggal di pinggiran timur kota Malang, prediksiku umurnya masih 30-an tahun, bekerja sebagai ‘ujung tombak’ tenaga pemasaran di perusahaan konveksi di kota Malang, mendengar merk produk konveksi yang dijualnya, ranah pemasaran, target bulanan, pola komunikasi, cara berpikir, jelas ia bekerja di perusahaan yang sudah ‘mapan’ dan ia sendiri tentu orang pilihan.  Ia bercerita bahwa hari ini sepertinya ia tidak akan bisa pulang ke rumah, karena jalanan yang macet dan kelamaan di terminal Bungurasih sepertinya bus akan masuk malang lepas maghrib. Padahal siang esoknya ia harus ketemu ‘calon custemer’ di Bali, berarti setiba di Malang ia terpaksa harus sambung ke Bali.  Ia telp suaminya, juga anak buahnya untuk mengabarkan kerangkatannya agar semua kebutuhannya untuk ‘jualan’ di Bali bisa ia bawa sesampainya di terminal bus Arjosari Malang, tidak mungkin ia mampir ke rumah atau kantor. Ketika aku bertanya apa sekiranya tidak capai ? Dia bilang, menikmati pekerjaannya, mengambil insisiatif istirahat manakala bisa dan menganggap pekerjaan sebagai ibadah, sehingga tidak ada beban dan kita bisa enjoi. Woow…

Ketika aku tanyakan bagaimana tanggapan suami dan anak-anak terhadap pekerjaannya yang menurut pengakuannya jelas sering keluar kota dan sering harus bermalam di luar rumah.  Ia mengaku suaminya mengerti dan memahami, sementara anak-anaknya kan masih kecil dan selalu dalam pengawasan neneknya. 

“Tapi saya selalu membayar kekurangan akibat kerja itu dengan bersama mereka secara penuh ketika ‘off’  kerja, dan setiap minggu kami menyempatkan rekreatif misalnya yang paling sederhana bersepeda pagi bersama”. Ucapnya sambil terus memainkan beberapa hape di tasnya secara bergantian.

“ Kami punya kesepakatan, terutama dengan suami untuk menekankan hubungan yang berkualitas.” sambungnya.

“ Buat apa kalau kuantitas besar tapi berisi kekakuan, disharmoni, dan ketidakpuasan satu sama lainnya yang tidak pernah terselesaikan ?” Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Aku mengerti, aku katakana pada dia bahwa saya pernah menjalani itu, tapi belakangan aku ngerti bahwa anak-anak memiliki pemahaman yang berbeda dengan orang dewasa. Aku punya teman yang juga merupakan wanita karir, sampai-sampai anak sulungnya mogok belajar, dan mempertanyakan apakah ia harus membayar untuk mendapatkan waktu mamanya.

“ Yang penting niat kita dan bagaimana konsekuensi menjalaninya, juga besarnya keyakinan kita bahwa Allah akan menolong umatnya yang tulus pasrah, “ kata dia. Aku tertegun, di situ aku jadi ingat Ibuku. Akmarhumah Ibuku dulu, sebagai orang tua tunggal tentu juga tidak mungkin beliau bisa memberi perhatian penuh pada anak-anaknya. Beliau harus memastikan ada nafkah untuk kami. Aku masih ingat, ibu sering harus berangkat pagi karena ke kantor jalan kaki, aku kebagian masak, kakak cuci baju, adik bersih-bersih rumah. Sehingga aktifitas kami relatif tidak terkontrol, aku bisa mandi di sungai besar yang berbahaya, pergi jauh dari rumah, banyak hal yang bisa dilakukan kalau mau. Cuma aku selalu ingat, Ibu selalu mengatakan percaya pada kami, Ibu tidak pernah absen puasa, tirakat mendoakan kami. Keyakinan Ibu yang kukuh itulah yang menurutku menjaga kami semua dari hal-hal buruk walau beliau tidak seharian waktu bersama kami.

Guru spiritualku pernah berkata, bahwa kerja keras, ketulusan, dan keyakinan dalam berdoa adalah tiga sikap sekawan yang akan menolong kita merengkuh apa yang kita inginkan dan apa yang kita dambakan.  Kerja keras adalah implementasi fisik dari keinginan yang kuat, sedangkan ketulusan adalah implementasi rasa yang paling tanpa beban 'tulus dan pasrah', trus dilengkapi dan dikuatkan dengan keyakinan kepada kebesaran Yang Maha  yang memungkinkan segala kemungkinan termasuk yang tidak mungkin bisa terjadi menurut manusia. Perempuan yang ditemani oleh tiga sikap sekawan dalam menjalani hidupnya akan mampu menyelamatkan keluarganya dari hal-hal buruk walau secara fisik keberadaannya tidak bisa selalu ada di rumahnya. Realita yang banyak, orang seringkali  sudah merasa bekerja keras, tulus iklas dan selalu khusuk berdoa, tetapi sesungguhnya itu hanya sebatas merasa, realitanya sesungguhnya masih jauh. Tetapi jujur kalau kita mau mengakui memang menjalani ‘laku’ yang demikian tidaklan mudah, hanya mereka-mereka yang perkasa yang bisa melakukan.