Sabtu, 29 Oktober 2011

30-10




Thirty Ten, bagiku bukan angka biasa, angka itu seperti sebuah angka purba yang telah tinggal begitu lama di lubuk memoriku. Dari dulu setiap mengingat angka itu darahku seperti mengalir lebih deras, kegairahan seperti dinyalakan, sejarah seperti dipertontonkan kembali, ada wajah yang dulu begitu aku miliki, ada aroma yang aku tak bisa melupakan, ada lagu yang sering aku dengar, ada keterpisahan  dan kerinduan yang terpaksa terjadi. Tetapi angka itu tidak pernah terhapus dan tidak akan terhapuskan rasanya. Angka itu yang pasti dari dulu telah menjadi momentum tersendiri, pemberi makna, pemberi cita rasa hidup.  Memang sih sekian waktu pernah ada jeda akibat tak tahu ke mana aku bisa ikut berbagi memaknainya.  Tetapi aku telah mencoba menghidupinya dengan selalu merenunginya ketika stimulasinya dassyat.

Wajarkah itu ? Aku kira itu sangat wajar dan manusiawi. Angka telah banyak mempengaruhi hidup manusia, memang sebagian besar sekedar menjadi penanda saja, menjadi symbol, menjadi nilai, tetapi jangan salah ada juga yang mampu menjadi harapan, menjadi cinta, kebencian, ketakutan dan sejenisnya. Karena menurut ilmu tentang angka (numerology) setiap angka memiliki arti dan makna. Seorang teman pernah iseng membantu nelusuri ternyata bahwa angka 3010 secara prinsip hanya terdiri dua unsur angka yaitu 1 dan 3, karena 0 dimaknai sebagai 1 (mistik).  Angka 1 maknanya membawa sifat matahari, ego, bijaksana, memimpin, pionir, penuh ide, sedangkan angka 3 maknanya membawa sifat venus, cinta, artistic, romantic dan pengertian. Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa orang Cina sangat menyenangi angka 8 ? Ternyata menurut numerology angka ini memiliki sifat Saturnus dan bermakna bisa hemat dan pandai berstrategi. Bagi yang percaya memiliki angka 8 akan membawa mereka ke jalan kesuksesan dan kejayaan.  

Malam ini kembali tiba-tiba angka itu melintas di benak pikiranku, suasana sekelilingku begitu tenang cuma ada suara gemericik air kolam di belakang rumahku, di langit bulan tak kelihatan hanya sesekali terlihat kelelawar berterbangan mengajak pikiranku tuk merangkai kata-kata.  Ada bayang-bayang di ujung angka itu yang kemudian tak mau pergi, seperti ditemali oleh kesadaran masa lalu. Momen khusus mesti menjadi terminal perenungan, guliran waktu pertambahan umur harus bermakna makin mendewasakan kita, bukan sebaliknya makin tua makin kekanakkan. Bersyukur adalah hal yang layak mesti kita lakukan atas semua pengalaman, kenikmatan, anugerah kesehatan dan kebugaran yang selama ini kita rasakan. Tanpa masa lalu kita bukan apa-apa. Juga mesti kita optimis, melihat ke masa depan kehidupan kita, kita layak untuk selalu berdoa agar Tuhan tetap menganugerahi kesehatan, rejeki, dan kebahagiaan untuk  orang-orang tercinta kita. Masa depan adalah harapan yang mesti kita perjuangkan.

Pada saat terkesima baying-bayang , juga sekaligus melayani hasrat merangkai kata-kata, seorang teman bijak kebetulan bertutur lewat sms padaku, ia sampaikan bahwa karena dalam hidup tidaklah semua yang kita inginkan bisa terpenuhi maka kita harus banyak belajar menikmati dan mensyukuri yang kita miliki sekarang. Memang sih, menurutku dalam menjalani hidup 'proses' sepertinya lebih bernilai dari pada hasilnya. Karena proses lebih 'personal' mengekspresikan peran dan perjuangan kita sendiri, sedangkan hasil itu sudah ada campur tangan Yang Kuasa. Jadi ketika kita tidak bisa memiliki apa yang ingin kita miliki , tidak perlu ada sesal dan kecewa, nikmati 'usaha' yang telah kita lakukan, syukuri bahwa kita telah diberi kesempatan, pengalaman adalah guru yang baik Perenungan ini untukku sendiri ...., tapi sebagai mangayubagyo maka ….. lewat angin malam aku tulis sejumput keikutsertaan kebahagiaan …….
………………………
aku bersyukur kembali menemukanmu
seperti tetes embuh menyejukan kegelisahan purba
seperti kutemukan kembali anggrekku yang lama hilang
seperti aku temukan kembali jalan bermimpi
meraih keindahan sisa waktu

aku pesan pada cakrabala
tuk hadirkan hangat mentari
aku titip bisikan pada angin pagi
tuk nyanyikan tembang kebahgiaan
rangkaikan pelangi yang paling indah
semoga……..
esok anggrekku mekar mempesona
makin bermakna

Tidak itu saja….
Semoga
Masih ada hari tuk menyelesaikan harapan …..
Masih ada waktu tuk lebih baik
HB2U ! wish u the best.........

Kamis, 13 Oktober 2011

TOPENG-TOPENG



Aku pernah menulis puisi yang judulnya ‘hidup adalah topeng-topeng’, intinya dulu aku pernah berpikir bahwa adalah sebuah kewajaran kalau manusia hidup sering menggunakan topeng. Ketika ia merasa takut tapi malu untuk dikatakan takut maka ia berpura-pura menjadi sosok yang berani, ketika ia merasa sedih tapi tidak ingin kelihatan sedih maka ia menjelma menjadi sosok yang tegar dan gembira, ketika ia merasa malu termasuk miskin maka ia menutupinya dengan bergaya sebagai orang kaya, ketika ia merasa kurang tinggi maka ia memanipulasi dirinya agar tampak tinggi. Semua bukan sekedar kepura-puraan, tapi lebih mengarah pada kebutuhan untuk hidup, hal tersebut terbukti telah menenangkan dan ada pula yang menyenangkan serta bisa diterima, perilaku kamuflase tersebut terjadi di mana-mana, kapan saja, dilakukan oleh siapa saja, contoh kongkrit adalah hal yang dilakukan perempuan yang kita cintai, bibir mereka sesungguhnya tidak merah, lalu dipoles merah menantang, pundak mereka tidak datar mereka sumpal dengan spon di bajunya.  Tapi semua kamuflase itu kita terima dan bahkan menjadi menyukainya.

Anggapan wajar terhadap kebiasaan hidup manusia untuk menyembunyikan realita yang dialami dan dirasakan dalam hidupnya atau menggunakan kamuflase (baca: bertopeng) untuk menutupi kelemahan dirinya justru sekarang menjadi sebaliknya. Menurutku bangsa ini justru makin terpuruk karena makin maraknya mentalitas dan sikap tidak punya rasa malu, munafik dan tidak takut berbohong dan bersumpah palsu. Topeng manis tetap terpancar walau sudah terang benderang keburukan terungkap menyangkut dirinya, misalnya saja kasus pada beberapa petinggi negeri ini walau jejak korupsi telah terkuak, bukti-bukti terpaparkan, saksi-saksi bernyanyi tidak cuma satu orang, mereka masih bisa menampiknya dan berkelit menyatakan tidak atau ‘beraksi menyatakan ‘lupa’’ terhadap hal-hal yang disangkakan padanya. Dan sepertinya sudah menjadi ‘orkestra’ yang baku akan menyuarakan kekompakan nada dan irama baik polisi, jaksa, pengacara, dan hakim ikut mengalunkan tetabuhan yang jauh dari harapan masyarakat untuk memerangi penyelewengan.

Kehidupan berbangsa dan bernegara  menjadi seperti penuh dengan sandiwara, penuh kepalsuan, penuh topeng-topeng yang menutup wajah yang sebenarnya. Hukum dan perundang-undangan bisa dipelintir-pelintir, bisa diatur sesuai negosiasi dan kesepakatan yang dicapai atas prinsip ‘saling berbagi’.  Tidak heran ‘mereka yang punya uang’, walau sumbernya tidak berasal dari gaji halalnya, tetap saja uang itu yang bicara dan menentukan. Bisa juga karena keburukan sudah meranah ke mana-mana mereka yang tersangkut bisa saling takut menakuti, saling ancam mengancam untuk membuka semuanya. Sehingga semestinya mereka yang harus menegakan hukum dan aturan di negeri ini, justru sebagian besar berperan sebaliknya yaitu mengerogotinya dan merusaknya. Alhasil kondisi carut marut ini sepertinya akan sulit berubah, korupsi akan terus berjalan mungkin cuma bermetamorfosis menyesuaikan keadaan, benar kata kata banyak demonstran bahwa membersihkan kotoran tidak bisa menggunakan sapu yang kotor, harus menggunakan sapu yang bersih.

Mencari sapu yang bersih, atau mencari orang-orang yang bersih sesungguhnya tidak susah. Saya termasuk orang yang yakin masih banyak orang yang bisa memerangi ‘korupsi’. Tetapi kalau dalam proses pecariannya selalu saja melibatkan orang-orang yang tidak bersih maka proses ‘kontaminasi’ akan selalu terjadi. Masuknya ‘orang bertopeng’ akan menyuburkan proses tawar-menawar, proses pengotoran dan intimidasi. Setidaknya yang paling halus dengan memasukan lebih banyak orang-orang mereka yang ‘bertopeng’ kesantunan tetapi sesungguhnya bermental serigala, sehingga  ketika terjadi identifikasi, konfirmasi, musyawarah mencari bukti-bukti merekalah yang dominan. Sepuluh orang baik dengan 7 orang berkebaikan semu atau cuma bertopeng moralis dan anti korupsi, bisa menegaskan kenyataan ‘merah’ untuk disepakati menjadi berwarna ‘hijau’, mana kala tiga orang yang benar-benar baik tetap pada pendirian berwarna ‘merah’ sesuai realita maka pada akhir penyimpulan akan kalah karena skornya 7 lawan 3. 

Guru spiritualku pernah bertutur, bangsa ini harus mampu melahirkan generasi yang memiliki kekuatan cinta, ketekunan, kesabaran dan penguasaan diri agar bisa terhindar dari malapetaka kehancuran sebagai bangsa. Bangsa ini adalah bangsa yang tidak mencintai negerinya yang elok, luas, kaya raya, subur makmur, rukun sentosa. Hutan dibabati, tambang dieksplorasi gila-gilaan, pencemaran lingkungan di mana-mana semua untuk keinginan instan dan kemakmuran segelintir orang. Kita telah lama terbiasa tidak tekun dan sabar menjaga dan mengelola alam, negara tidak bertanggung jawab menjalankan amanat undang-undang dasar memerintahkan pengelolaan sumberdaya alam untuk sepenuhnya demi kemakmuran rakyat. Jujur harus diakui eksekusinya adalah dikelola untuk segelintir atau sekelompok orang, bahkan justru dampak negatifnya yang untuk masyarakat seperti: banjir, tanah longsor, pencemaran, pemiskinan, dan lain-lain.

Kita merindukan lahirnya generasi yang   memiliki kecintaan pada negeri dan sanggup memberikan cinta untuk kejayaan pertiwi, generasi yang ditandai kemampuan mengalahkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri; mereka adalah generasi yang berketekunan yang akan memberi kekuatan memecahkan kesulitan dan pantang putus asa; merupakan juga generasi berkesabaran yang akan memberi kekuatan untuk menanggung segala sesuatu dan tidak pernah merasa disakiti karena apapun keadaannya tetap ada usaha dan ikhtiar; semua juga merupakan generasi yang mampu menguasai diri dengan tanda-tanda mampu menguasai napsu keduniawian sehingga mereka selalu mau berbagi untuk sesame dan selalu bersyukur kepada Yang Kuasa. Generasi tanpa ‘topeng’ ini suatu saat pasti akan lahir, karena hidup dalam kepalsuan, kebohongan, kepura-puraan, omong kosong bukan tawaran hidup yang menggembirakan dan menentramkan. Kegelisahan pasti akan melahirkan peruba

Kamis, 29 September 2011

MAU MENDENGARKAN

Aku ingat pernah diajar seorang professor yang sangat unik, keunikannya menurut beberapa teman karena tidak tergambar kuatnya kearifannya dan kematangan yang umum melekat pada seorang guru besar yang tidak mudah mencapainya. Profesor ini suka dan banyak bicara, kalau sudah bicara sangat susah untuk disela. Pada setiap pembicaraan dia akan terlihat mendominasi, sangat nampak bahwa sang professor ini merasa dialah yang paling tahu dan orang lain seakan-akan dianggap di bawah kapasitasnya. Ketika sedang mengajar di kelas, semua mahasiswa harus mendengarkan dan perhatian tidak boleh ada aktivitas lain kalau tidak mau kena marahnya, termasuk menyela bicaranya dengan pertanyaan walau dengan sopan. Sehingga mahasiswa menjadi jarang bertanya walau kadang sesekali diberi kesempatan. Sehingga praktis selama proses kuliah yang terjadi cenderung komunikasi satu arah. Padahal mahasiswa S3 kebanyakan sudah berumur dan bahkan ada yang cuma selisih beberapa tahun disbanding umur sang professor, seolah-olah semua disamakan dengan mahasiswa s satu.


Keunikan sang professor itu oleh teman-teman dianggap sebagai bawaan genetis sehingga susah berubah, sangat dominan, walau sesungguhnya ‘sikap’ itu sudah tidak jamanni di era demokrasi seperti sekarang ini. Kritik dan saran telah banyak dilontarkan termasuk koreksi dari teman se senat universitasnya, tetapi tetap0 saja keunikan itu tetap terus menyertainya. Padahal professor ini sering ‘kecelik’ dengan keunikannya sendiri, sebagai contoh yang sering terjadi ketika ia member kesempatan bertanya mahasiswanya, ketika mahasiswa bertanya sering sang professor memotong pertanyaan mahasiswa dengan ungkapan: ‘ ya….ya…, saya sudah tahu maksud pertanyaan saudara,’. Tetapi tidak sedikit setelah beliau menjawab panjang lebar, beberapa mahasiswa yang berani dan jujur akan mengatakan bahwa maksud yang dipertanyakan tidaklah demikian. Kejadian tersebut konon sering berulang tetapi tidak pernah jadi pembelajaran. Memang gelar keprofesoran kadang bisa menjadi boomerang bagi yang menyandangnya, bukan menjadi seperti ilmu padi tapi malah menumbuhkan ego dan kesombongan yang tinggi.

Padahal kata guru spiritualku, sesungguhnya seorang guru apalagi maha guru atau siapapun mereka yang bekerja dengan banyak bicara, pengendali dan pemimpin maka sesungguhnya dituntut pula memiliki kemampuan untuk tekun dan mau mendengarkan. Kalau tidak mampu mendengarkan maka pasti ia akan miskin informasi dan buta situasi, pada kondisi ini mana mungkin bisa bicara tentang hal kekinian, hal yang banyak dibutuhkan orang, bagaimana mungkin bicaranya layak untuk didengarkan, bisa bicara tepat sasaran, omongannya memberi manfaat pada orang lain, up to date, dan terkoreksi oleh masyarakat sekitarnya. Mendengarkan adalah hal penting yang harus dimiliki semua orang dalam membangun komunikasi sosial, agar ia juga layak didengarkan ketika sedang bicara.

Ketika seseorang mau dan tekun mendengarkan sesungguhnya ia tengah belajar banyak hal, belajar sabar, toleransi, partisipasi, saling harga menghargai, dan berbagi peran. Tidak itu saja mendengarkan orang berbicara, sesungguhnya kita juga sedang belajar memahami cara perpikir orang, belajar pengalaman orang lain, juga belajar apa yang diketahui orang tersebut. Tentu apa yang dibicarakan orang lain tersebut ada yang enak dan mudah diterima tetapi ada pula yang sulit dimengerti dan bisa pula salah besar menurut kita. Selama kita mendengarkan dalam diri kita terjadi picuan berpikir, ada perdebatan internal, ada kesepahaman dan ketidaksepahaman, ada desakan emosi dan perasaan, ada kompromi persepsi dan jalan keluar.

Jangan salah, mendengarkan adalah sebuah aktivitas besar, walau terlihat diam tetapi sesungguhnya di dalamnya terjadi rentetan proses yang tidak sederhana. Kata guru lakuku, bahwa ketika kita mau belajar mendengarkan, sesungguhnya kita tengah belajar melakukan hal besar dalam hidup. Ketika kita sedang konsentrasi mendengar, tidak saja telinga yang bekerja tetapi indra lain kita juga bekerja, otak dan pikiran kita juga bekerja bahkan hati kita juga tergerakkan. Melalui laku mendengarkan akan terjadi proses-proses: pengarahan perhatian dan konsentrasi , penyerapan informasi dan situasi, menghidupkan logika dan persepsi, menstimulasi analisis dan perancangan, mengendalikan emosi, perasaan dan naluri, melahirkan sikap kritis dan kreatif, memupuk kecerdasan dan kemampuan berpikir, menjadikan kita pandai dan arif.

Hal terpenting ketika kita terbiasa mau mendengarkan, secara bertahap pikiran kita dan perasaan kita memiliki tambahan perbendaharaan, ‘peta’ yang lebih baik tentang hal yang baru didengarkan. Setidaknya selama mendengarkan pikiran kita telah ‘menjelajahi masalah yang dibicarakan’ dan sekaligus mengeksplorasi dan komparasi dengan apa yang ada dalam memori kita sebelumnya. Yang bagus ketika kemudian muncul pandangan-pandangan alternative, langkah alternative, pendekatan alternative, nilai-nilai alternative, dan seterusnya. Dalam hidup, terutama dalam bisnis seingkali ‘hal alternatif’ yang muncul dari kita yang setia mendengarkan omongan orang lain menjadi sesuatu yang lebih bernilai, bisa menjadi lebih besar, lebih prospektif dari yang diomongkan orang tersebut dan memberi keuntungan yang lebih besar buat kita. Pada sisi lain mau mendengarkan juga bisa menjadi dewa penolong musibah yang semestinya bisa menimpa kita. Nah, mari kita belajar sabar untuk mau mendengarkan, untuk kebersamaan dan hidup lebih baik.

Selasa, 13 September 2011

PROSES & PERSEPSI



Kang Begjo berguman lirih ketika menemui seorang sahabatnya yang berkunjung ke rumahnya, saking lirihnya gumaman itu tentu hanya dirinya saja yang mendengarnya. “ Enak ya kalau jadi ‘pengusaha sukses’ kaya kamu “. Sang teman memang terlihat beda dari segi dandanan, penampilan, kendaraan yang ditumpanginya, alat komunikasi yang dibawa, termasuk penampilan dan gaya istri yang menggelayut di lengannya layak dibanggakan, cantik, anggun dan percaya diri. “Kebahagian yang lengkap…….,” gumam Kang Begjo lagi, tapi tidak ada yang dengan karena saking lirihnya.

Tapi apakah gumaman Kang Begjo yang sempat terdengar lirih itu benar, bahwa temannya lebih bahagia dari dirinya ? Nanti dulu, karena kebahagiaan iturelatif sifatnya. Orang Jawa bilang ‘ urip iku sawang sinawang’ . Banyak pengusaha yang malah berpikiran bahwa pegawai negeri seperti Kang Begjo adalah justru orang yang paling enak, kehidupan terjamin karena gaji bulanan tetap serta jaminan hari tua berupa dana pensiun.


Guru lakuku pernah bertutur bahwa biasa seorang buruh tani akan berandai rasanya ia akan lebih bahagia bila bisa menjadi tuan tanah, sementara tuan tanah juga berandai mungkin ia akan merasa lebih bahagia bila bisa menjadi pedagang, lalu pedagang juga berandai barangkali ia akan lebih bahagia kalau jadi banker. Andai berandai tersebut akan terus berlanjut tidak akan berhenti. Bahagia itu relatif dan sangat bersifat kondisional, tidak pasti dan dari waktu ke waktu terus berubah. Oleh karena itu orang yang mengejar bahagia sama saja dengan mengejar capaian yang relatif, cenderung ketercapaiannya selalu menjadi starting baru untuk ukuran bahagia yang berbeda. Orang yang semula berpikiran akan bahagia jika sudah punya rumah, kenyataannya ketika kemudian dia sudah punya rumah, ternyata muncul juga gagasan baru bahwa mereka akan lebih bahagia jika sudah punya mobil, rumah peristirahatan dan lain-lain. Praktis dengan demikian orang jadi terjebak pada ‘dambaan hasil’ yang tidak berujung, dan sesungguhnya berarti tidak bisa menikmati kebahagian sejati.

Guru spiritualku pernah menasehatiku, janganlah menjalani hidup terfokus mengejar hasil, karena hasil bukan otoritas kita tetapi otoritas Yang Maha. Nikmati saja kebahagiaan ‘berprosesnya’ atau mulai belajar menikmati bagaimana cara menjalani dan memperoleh harapan itu. Karena hakekatnya di situlah letak kemerdekaan, kenikmatan dan kebahagian hakiki kita. Persepsi kebahagiaan harus kita rubah , kebahagiaan sejati itu ada dalam proses atau pada cara kita menjalani langkah menggapai tiap keinginan dan harapan kita tentukan. Jadi kalau kita bisa menikmati dan menyukuri tiap tindakan kita yang terjaga dari kesalahan dan keburukan, maka sesungguhnya kita sudah mendapat satu perolehan hal baik.

Kalau kita bisa demikian, maka kita tidak akan perlu merasa iri pada orang lain, tidak perlu merasa ingin seperti orang lain. Pilihan bisa berproses yang selalu disyukuri akan membimbing setiap orang untuk seterusnya berproses yang benar, terukur dan terevaluasi. Ada kesadaran bahwa jalinan proses merealisasikan harapan sudah merupakan hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Orang bijak berkata bahwa nilai tertinggi dari hidup terletak pada mutu bagaimana kita menjalaninya bukan pada apa yang kita peroleh, terlebih bila ukurannya adalah ‘materi’.

Mudah-mudahan Kang Begjo tidak terbius oleh performa ‘material’ temannya tanpa melihat proses yang dijalaninya. Sebab kita tidak tahu prosesnya benar atau salah, legal atau tidak legal, haram atau halal dan lain sebagainya. Harus disadari bahwa kita merupakan orang luar yang bisahanya menyawang dan disawang.

Jumat, 09 September 2011

LEBARAN YANG BEDA



Biasanya tradisi lebaranku adalah pulang kampung, menikmati suasana bersilahturahmi dengan sanak keluarga di kampung kelahiranku Banyumas atau di tempat kelahiran istriku di Banyuwangi. Tapi tidak kali ini, kami bersepakat untuk memanfaatkan situasi lebaran untuk ngelencer, rekreasi ke luar pulau, dan pilihan kami adalah pulau Lombok, pulangnya transit di pulau Bali. Pilihan tersebut hasil telusuran anak sulung aku yang kemudian digunakan untuk mempengaruhi adik-adiknya, aku sendiri sudah beberapa kali ke pulau itu, jadi mesti netral dan ngikut aja kesepakatan mereka. Pilihan tersebut juga diyakini berseberangan dengan arus mudik, sehingga harapannya lancar. Tetapi kewajiban bersalam-salaman dengan lingkungan tempat tinggal dan orang tua sebelumnya dipenuhi terlebih dahulu.


Benar juga, sepanjang perjalanan dari Malang hingga Banyuwangi lancer tanpa hambatan. Pilihan kami jalur selatan, mulai dari Malang melaju ke Turen terus ke Dampit, Lumajang, Kencong, Jember, Mrawan, dan berakhir di Banyuwangi. Hari berikutnya kami berangkat ke Lombok via Singaraja, sebentar menikmati pantai Lovina terus menyusuri keindahan pantai utara Bali. Jalanan sepi karena memang kebanyakan pengunjung pulau Dewata ini via jalur selatan, walau ada sebagian jalan bergelombang tidak ada kendala kendaraan kami bisa melalui. Dari Singaraja kami menuju punggung pulau ini yang dikenal dengan nama Kubutambahan, terus menyusuri tepian pantai melewati Tejakula, Tianyar, Amlapura, Karangasem hingga pelabuhan Padangbai. Waktu tempuh Banyuwangi – Padangbai berkiras 6 jam. Dari pelabuhan ini kami pilih langsung menyeberang karena pertimbangan waktu penyeberangan yang lama memakan waktu kurang lebih 5 jam, harapan kami agar sampai di Lombok tidak terlalu malam.
Lima jam perjalanan jelas waktu yang lama, untuk itu kami putuskan untuk menyewa kamar awak kapal yang persewakan, lumayan untuk meluruskan kaki dan melepas kengantukan. Tapi itupun baru aku pakai ketika hari sudah gelap, karena aku mesti menjaga ke 4 anak-anakku yang asyik melihat cakrawala dan laut lepas, belum lagi karena penasaran cerita ibunya yang kadang di samping kapal muncul rombongan lumba-lumba. Mereka merasa tidak beruntung, karena hingga matahari mulai tenggelam di cakrawala ikan-ikan itu tidak juga muncul. Panorama siluet saat matahari tenggelam di peraduan berulang diabadikan oleh anakku. Cantik sekali, matahari cahayanya mulai redup, sisa cahayanya berwarna jingga dan berbias di air laut yang seolah terbelah. Aku merasa ada energi purba yang merasuk dalam tubuhku ketika matahari itu menjingga, gairah menjadi bertambah. Aku tidak bosan Bali dan Lombok karena banyak tempat yang menawarkan kegairahan ini. Tetapi tidak juga, sebenarnya di negeri kita ini banyak tempat eksotik yang masih terpendam, beberapa aku sudah menikmatinya, dan aku tetap ingin menikmati sebisa dan semaksimal waktu yang aku punya, sebagai bentuk menyembahMU secara beda.

Seperti di Lombok kali ini, alhammdulillah aku bisa mengajak anak-anakku bersyukur ketika berada di tengah lautan yang tidak terlihat daratan mereka bisa merasakan betapa maha luasnya alam ini. Aku merasa anak-anakku ceria menikmati, sepanjang jalan penuh canda dan tawa, mereka menikmati percikan air sepanjang perjalanan ke Gili Trawangan, sebuah pulau yang sangat tersohor keindahannya. Banyak turis dari berbagai negara tumpah ruah di pulau ini, kalau dicermati sepertinya jumlahnya lebih banyak dari pada turis domestiknya. Layanan memanjakan ada di sepanjang tepian pantai pulau ini, mulai dari sewa dan layanan alat transportasi (cidomo, sepeda, kapal, perahu) tidak ada kendaraan bermotor, sewa alat renang, selancar, selam, aneka makanan minuman, pijat, tato, kasur jemur, kursi pantai, kamar hotel aneka model dan bentuk, pemandu, biro trevel, bank, restoran klas dunia, pln lokal, jaminan keamanan dan lain-lain. Berada di Gili Trawangan, termasuk juga di Gili Air, Gili Meno serasa berada di luar Indonesia, karena kita hanya pelengkap saja, semua seolah diperuntukan mereka. Bahkan sebagian pulau ini konon sudah menjadi milik orang asing, mereka menggunakan nama orang Indonesia yang ‘sangat’ kooperatif dalam menunjang kepemilikannya.

Sebagai implementasi semangat berbagi blog ‘cakrawala bening’ aku ingin berbagi kepada teman-teman yang hendak ke Lombok, ke mana kita bisa mengunjungi obyek wisatanya. Pertama, kita perlu menyempatkan ke tiga Gili yaitu Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno, pulau yang sering dianggap pulau ‘kayangan’ karena dikelilingi taman laut yang indah; kemudian ke Batu Bolong, tempat menikmati sunset yang cantik, Pantai Kuta dan Senggigi, dua pantai yang selalu disebut-sebut kalau orang ke Lombok, Narmada yaitu kebun rayanya Lombok, Sukarame tempat kerajinan tenun, Rambitan desa dengan rumah tradisi Lombok, Suranadi, tempat rekreasi lengkap dengan hotel dan kolam renang, Lingsar suatu pura yang memiliki ikan keramat, dan air terjun di Senaru. Malam hari anda bisa menikmati sayur plecing dan ayam taliwang di pusat keramaian kota Mataram bisa di rumah makan atau di warung-warung tenda.

Berlebaran melenceng dari tradisi ada plus minusnya, yang jelas bagi aku minusnya masih terasa seperti ada sesuatu yang hilang, tapi juga ada sesuatu yang tambah. Awalnya terasa ada yang mengganjal ketika meninggalkan kebiasaan ‘njung unjung’, ‘bertandang’ atau ‘anjangsana’ ke seluruh keluarga, ada yang kurang karena tahun ini hanya tetangga sekitar dan keluarga dekat yang dikunjung pasca sholat id, selebihnya setelah mudik dan rekreasi. Plusnya aku merasakan hal yang beda, minimal tidak terlibat kegaduhan proses mudik tidak merasakan kemacetan, lebih enjoi karena banyak menikmati perjalanan, menikmati tempat-tempat yang elok. Terus yang lebih penting lagi, menjadi terbuka pikiran kita bahwa wajah Indonesia tidak sesempit yang terberitakan, yang dominan memenuhi berita layar kaca, penuh dengan carut-marut problem yang 'memalukan'. Wajah Indonesia tidak sesempit ibu kota dan kota besar lainnya yang sakit, potensinya membentang luas, beragam, masih kaya dengan kesantunan masyarakatnya, masih digandrungi masyarakat luar, sayang dikotori oleh segelintir elit yang memurukkan derajat bangsa. Sangat disayangkan sekali !!!

Mudik lebaran dengan imbuhan wisata, aku kira bisa dilakukan siapapun. Bagi yang berkendaraan roda dua juga memungkinkan untuk mudik lebih santai, lebih bisa dinikmati, bisa melahirkan 'cita rasa' yang beda. Untukku, minimal sekarang terbersit inspirasi untuk mudik-mudik selanjutnya mesti didesain dengan silahturahmi plus wisata, supaya tidak melahirkan sikap memaksakan diri, rasa jenuh dan lelah, ketergesaan, yang paling banyak menjadi penyebab kecelakaan fatal. Kita sebagai bangsa juga perlu merasakan Indonesia yang lain, yang tidak sedikit diangkat di media-media informasi karena kalah komersial dengan berita politik dan kriminal. Nah, mulai sekarang mesti harus diplanning sekaligus mulai menyisihkan budget dana untuk itu.

Minggu, 28 Agustus 2011

UCAPAN MAAF DI HARI RAYA



Hari Raya Idul Fitri masih kurang dua hari lagi, namun di hpku sms ucapan berhalal bi halal sudah mulai bermunculan. Sebelumnya sms itu bagiku merupakan hal biasa, rutin tahunan, yang harus juga dibalas dengan penyesuaian kata-kata ucapannya dan status orangnya, karena tentu beda antara membalas ucapan kepada saudara, teman, guru, sahabat, anak-anak, murid, kolega dan lain-lainnya. Tidak tahu sekarang, semalam ketika ada keinginan menulis dan tidak ad aide, dan ketika ada sms aku menjadi terinspirasi, sms yang masuk aku cermati dan aku pelajari. Bahkan aku coba brossing sms di internet, wo…. banyak dan beragam sekali. Buat orang yang sulit berkata-kata, kemudahan untuk menggunakan kata-kata yang telah dibuat orang lain kini makin membantu. Kemajuan teknologi telah dengan mudah memperluas kesempatan berbagi dan mendorong kreativitas manusia.

Teknologi hp dengan fitur ‘forward’ dan ‘edit’nya memungkinkan seseorang memanfaatkan ucapan yang telah diterimanya untuk disampaikan kepada orang lain dengan imbuhan lain atau langsung kirim. Tentu pilihan itu sudah diukur kecocokannya, kepantasannya, keindahannya tergantung ukuran dan kesenangan masing-masing orang perorang. Ada yang suka berpantun, ada yang suka serius, lucu, unik dan ada pula yang konservatir dan lugas seperti yang biasa tertulis di kartu-kartu lebaran tempo dulu. Aku sendiri pernah kepincut untuk ‘menggunakan’ ucapan dari saudara yang aku merasa cocok dan mengadaptasikan sebagai ucapan untuk keluarga kami. Aku juga tahu beberapa temanku mengutip dari internet, beberapa yang lain aku tahu juga buat sendiri.


Ada teman yang berterus terang sekalipun tidak pernah membuat, males dan tidak bisa, ia hanya menunggu ucapan orang lain lalu menggunakannya untuk orang lain. Saya tahunya ketika mencoba memuji ucapan yang dikirimnya, ia menjadi merasa malu dan ia mengatakan ‘kui aku kulakan friend’. Tapi ia jujur, memang selama ini sang teman ini tidak pernah berpantun, tidak pernah mengekspresikan bakat seni puitisnya, tiba-tiba di hari fitri ia menjadi melankolis, padahal aku suka dan memuji ucapannya dengan senang. Buatku, sang teman ini sesungguhnya sudah mempunyai ‘ketertarikan’ pada hal yang indah, yang menghaluskan rasa, cuma tidak terkondisi lantaran diliputi aktivitas yang menuntutnya serba mekanis dan cepat. Atau bisa juga lingkungannya tidak mendukung untuk memungkinkan seminya pengetahuan ‘rasa’.


Alhammdulillah, dari dulu aku sendiri disuburkan pada lingkungan yang mendorong untuk segala sesuatu kalau perlu buat sendiri, bahkan kalau bisa untuk dibagi. Sejak SMP aku beruntung punya guru lukis dan guru bahasa Indonesia yang memungkinkan aku berkreativitas membuat kartu lebaran sendiri, bahkan membuatkan keperluan teman. Hal itu terus terus terkondisi hingga kuliah, karena aku punya komunitas seni ‘Lentera’, ‘Kenthong banyumasan’ dan ‘Teater Bio’. Sampai sekarang hal itu masih terpelihara ala kadarnya, konon kata Guru Spiritualku itu baik untuk menjaga sekaligus mensyukuri nikmat anugerah Allah SWT menyangkut penggunaan totalitas otak kita. Katanya orang akan mudah mengalami struk, stress kalau sisi otak yang mengelola pengetahuan ‘transendental’ dan ‘subyektif/seni/olah rasa’ jarang digunakan. Untuk itu sampai kapanpun aku berharap masih diberi energi untuk membaca, menulis, dan melukis.


Kata Guru Lakuku, bahwa ucapan untuk Hari Raya Idul Fitri itu sebenarnya sederhana saja intinya, yaitu ‘mengucapkan kemenangan puasa’ yang diekspresikan dengan ucapan ‘Selamat idul Fitri’ bermakna selamat kembali bersih, serta ‘ucapan permohonan maaf’ atas dosa dan kesalahan sesama manusia yang diekspresikan melalui ucapan ‘mohon maaf lahir batin’. Tetapi karena kodratnya bahwa manusia suka akan keindahan, sopan santun dan halus bahasa maka ucapan itu menjadi ‘perlu’ dirangkai sedemikian rupa agar lebih menyenangkan hati. Tetapi juga jangan disalahkan ketika tatanan ucapan Hari Raya kemudian bergeser dari intinya, misalnya bunyinya cuma begini: ‘…..setelah kita sebulan berpuasa, hari ini kita kosong-kosong ya….’. Itu ucapan yang ‘ngegaul’ sesuai dengan umur dan komunitas anak-anak sekolahan, jangan dinilai dengan ukuran ucapan orang tua.


Untuk menambah gambaran tentang ragam ucapan yang mewarnai hadirnya Hari Raya Idul Fitri yang merupakan hari kemenangan bagi umat Islam sedunia ini, di bawah ini saya kutip sms yang pernah masuk hpku dan beberapa dari internet.





“Hati bergetar kala mendengar kumandang takbir Akbar . Mengingatkan datangnya Hari Kemenangan. Minal Aidin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin”



“Fitrah sejati adalah mengakbarkan Allah… dan Syariat-Nya di alam jiwa...di dunia nyata, dalam segala gerak di sepanjang nafas dan langkah semoga seperti itulah diri kita di hari kemenagan ini... Selamat Idul Fitri , Mohon Maaf lahir dan Batin ".



“Sebait Kata Maaf Tuk Menghapus Salah & Khilaf ... Agar Hari Kita Bersih Seperti Terlahir Kembali… Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1432 H Mina Aidin Walfaidzin ‘ Mohon Maaf Lahir & Batin “

“Mangan sate sak gulene, sego megono bumbu kemiri kapan wae lebarane, sugeng riyoyo idul fitri tumbar merico kecap asing nyuwun ngapuro lahir lan batin ".



“Eid… a time for joy, a time for togetherness, a time to remember my blessings...May Allah bless you.."



“Pertemuan hanya sarana, yang utama. Nyuwun pangapunten sedaya kalepatan.. kagayuh krenteging ati, karena zaman tak dapat dilawan, Kepercayaan harus diperjuangkan”



“Takbir, tahmid, dan tahlil berkumandang menghantarkan gema hati tuk memohon ampunan kepadaNya kepada sesama umatNya tulus ikhlas dari lubuk sanubari yang terdalam Selamat Idul Fitri Minal Aidin Wal Faidzin. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan ."



“Sepuluh jari tersusun rapi… Bunga melati pengharum hati.... SMS dikirim pengganti diri .... Memohon maaf setulus hati.... Mohon maaf lahir dan batin, met idul fitri...."



“Teriring gema takbir memuji kebesaran Allah SWT. Kami mengucapkan Selamat hari Raya Idul Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin ".



" Satukan tangan satukan hati. Itulah indahnya silahturahmi di hari kemenangan. Kita padukan keikhlasan untuk saling memaafkan. Selamat hari raya Idul Fitri, Mohon maaf Lahir Batin ".



“Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi. Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa. Hidup ini terasa indah jika ada maaf. Taqabalallahu Minna Waminkum… “

"anak kodok makan ketupat, makan ketupat sambil melompat, kita ketemu tak sempat lewat,
Mohon maaf lahir bathin ye… "

"Mata bisa salah lihat. Kuping bisa salah dengar. Mulut bisa salah bicara. Hati bisa salah sangka. Di hari yang fitri ini. Mohon maaf lahir dan batin. Selamat Hari Raya Idul Fitri."

Nah, untuk lebaran tahun ini, kemarin malam telah aku coba rangkai ucapan yang aku rangkai khusus untuk pembaca blog ini, sekaligus mulai aku kirim ke kerabat, guru-guruku, teman-teman dan kolega aku yang aku sayangi. Tentu ungkapan melalui tulisan atau sms harus disadari belumlah cukup, mengokohkan silahturahmi akan makin indah dan lebih nyata ketika kita bisa berjabat tangan, berinteraksi, berbagi rejeki, berbuat kebaikan bersama, saling mengingatkan, saling bantu membantu dan lain sebagainya yang positif. Untuk itu mari kita selalu berdoa diberi barokah umur dan kesehatan hingga kita bisa bertemu dan bertatap muka. Amin.

……dengan kerendahan hati…..
sebelum bedug bertalu, sebelum takbir menggema
ijinkan kami ulurkan tangan beruntai keiklasan
dengan beribu ketulusan
berharap bersih dan satukan hati
perkokoh silahturahmi
menghidupkan hidup
Selamat Idul Fitri 1432
mohon maaf lahir batin
(Untung & Kel)

Jumat, 26 Agustus 2011

JALAN KELUAR



Minggu pagi ketika aku sedang asyik menata anggrek di rumah, sahabatku datang dengan anak dan istrinya. Aku tinggal kerja rutinku dan selanjutnya menyalaminya dan bercengkerama di pinggir kolam karena sambil mengawasi anak temenku yang lagi kegirangan melihat sisa ikan koi-koiku yang berebut makanan. Hal pertama yang muncul dari bibirnya adalah kata sanjungan, tentang apa lagi kalau tidak tentang tanaman yang memenuhi tiap sudut rumahku. Dia bilang: “……Beginilah semestinya dosen pertanian, ‘no talk only but full action’ , kebanyakan cuma omong doang haaa…..haa “. Aku tidak menanggapi, tapi belakangan aku jelaskan mengapa juga aku memilih banyak aksi nyata dari tidak sekedar banyak bicara. Intinya itu semua juga berawal dari ‘rasa malu’ akibat cuma banyak omong di forum, aku dianggap ngajar sepeda tapi tidak bisa naik sepeda. Ngajari berbagai seluk beluk budidaya tanaman tapi tidak pernah menanam. Bagaimana bisa benar ?


Sang teman yang satu ini, adalah satu generasi menjadi PNS yang diperbantukan di swasta. Satu juga nasib di tempatkan di tempat kerja yang berbeda dari basik asalnya. Kalau aku dari disiplin ilmu biologi dan harus mengajar di Fakultas Pertanian, sementara dia asalnya dari lingkungan ormas keagamaan A kemudian harus kerja di lembaga milik ormas keagamaan B. Sebetulnya hal tersebut kami sepakati bukan dan tidak akan menjadi problem pada situasi jaman yang menuntut kuatnya ‘pluralisme dan demokrasi’. Kenyataan memang demikian minimal hingga 20 tahunan kami kerja, terbukti dia sampai bisa meraih gelar professor, sedang aku karena males ngurus pangkat belum bisa seperti dia. Tetapi belakangan aku baru tahu bahwa sang teman ini ada kendala besar untuk berkarir menjadi pimpinan di lembaga tempat ia kerja, alasannya menyangkut aturan kelembagaan yang mengaruskan pimpinan mengakar pada ke B tersebut. Padahal dari segi kapasitas, sang teman ini jelas di atas rata-rata, dia telah tumbuh tidak saja member kontribusi ke dalam tapi juga bisa diterima dan mewarnai bidang keahliannya.


Ukuran kapasitas menjadi orang yang bisa diterima dan bisa memberi nilai menurutku telah ia buktikan, tidak mudah menjadi orang ‘yang beda’ diterima dan tumbuh di lingkungan tidak semestinya. Kalau seseorang kulit hitam tumbuh dan berprestasi di lingkungan masyarakat kulit hitam adalah hal biasa. Tetapi kalau seseorang kulit hitam tinggal dan tumbuh di masyarakat kulit putih, lalu ia mampu berkontribusi, berbaur, mengembangkan diri bahkan ia juga bisa diterima habitat kulit asalnya serta di luar masyarakat tempat ia tinggal maka itu adalah sebuah keunggulan atau orang yang berkapasitas. Karena keadaan sang temanpun bisa menerima, ia sabar, tetap berkarya, itu semua dianggap sebagai kesalahan awal yang tidak perlu disesali. Walau sesungguhnya hati kecilnya meronta, siapa sih yang tidak ingin berkarir dan menjadi orang yang mampu berbagi lebih banyak ?


Dalam sikap penerimaan yang iklas, tak diduga ia dilamar kepresidenan untuk menjadi salah satu purangga staf ahli presiden SBY. Dia berbisik padaku, jangan woro-woro, belum pasti, tapi Alhamdulillah ijin dari pimpinan tempat ia kerja sudah sudah oke. Awalnya ia kawatir ijin tidak akan keluar, karena memang selama ini tradisi pengabdian ke lembaga tempat ia kerja sangat dinomer satukan. Mendengar kabar itu aku katakana pada dia mungkin dan mudah-mudahan ‘ini jalan keluar’ kebuntuan berkarir yang selama ini dirasakan. Dari hpnya sebentar-sebentar datang ucapan selamat, bukan dari orang sembarangan, tetapi dari tokoh-tokoh masyarakat mulai dari bupati, wali kota, pimpinan Koran, partai, anggota dewan, sesama profesi, organisasi tempat ia beraktivitas dan masih banyak lagi. Ia dengan santun berterima kasih, lalu menyampaikan bahwa hal itu baru diproses, belum, tunggu kalau sudah pasti teman-teman akan dikabarinya.


Guru spiritualku berbisik padaku, itulah kebesaran dan maha bijaksananya Allah. Rizki dikejar ke mana dan dengan cara apapun kalau memang bukan rizki kamu, maka rizki itu akan lari menjauh dan sulit untuk didapatkan. Tetapi kalau sudah rizki kamu, ke mana dan sedang di mana kamu, dalam sesulit kondisi apapun, gangguan apapun, rizki itu tidak peduli pasti dan pasti akan menghampirimu. Karena Allah tidak pernah tidur, selalu melihat apa yang kita lakukan, tindakan yang baik, iklas dan sabar disertai doa yang khusuk akan diijabeni bahkan akan diberi dengan limpahan yang lebih besar. Sementara orang-orang yang hidupnya cenderung suka mempersulit orang lain, sesungguhnya kalau mau merenungkan, harusnya sadar karena dengan cara begitu berarti ia sudah memilih jalan yang sulit untuk dirinya sendiri. Hukum kebiasaan mempermudah akan lebih dimudahkan, kebiasaan memberi akan lebih diberi, kebiasaan mengasihi maka akan lebih dikasihi, ….tapi semua tetap kuncinya di iklas dan sabar.


Kepercayaan dalam menghadapi kesulitan hidup harus kita bangun, kita harus percaya bahwa Allah SWT telah menegaskan bahwa pada setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Sebuntu apapun jalan menurut kita, itupun sesungguhnya masih terbuka jalan ke luar kalau kita percaya pada Allah SWT. Alhamdulillah, banyak teman dan banyak guru yang hadir dalam hidupku justru memberi ‘benggala’ atau pencerminan hidup yang mudah-mudahan makin menjernihkan pikiran dan nuraniku. Semua jelas memperkaya hidupku, menyadarkan bahwa hidup harus dihidupi agar hidup makin hidup.