Kamis, 28 April 2011

SARAPAN GADGET




Benar atau salah, bila aku berkeyakinan bahwa pada saat ini hal awal yang dipikirkan atau dilakukan oleh kebanyakan manusia setelah mereka bangun pagi adalah mengkonsumsi ‘gadget’ atau ‘sarapan pagi gadget’, bukan lagi sarapan dan minum naget atau apapun, misalnya: nasi goreng, minum teh manis, atau menghirup kopi. Aku sendiri jujur melihat di keluargaku hal yang demikian telah terjadi, sekarang aku, anak istriku begitu bangun menjelang subuh yang pertama aku cari adalah ‘handpone’ untuk melihat jejak komunikasi yang terbaru, pun demikian ketika bangun di siang hari manakala sedang sedang dalam perjalanan atau sedang dalam peristirahatan tetap saja tangannya menggapai-gapai hal yang sama, tidurpun alat komunikasi selalu ada di sampingnya.


Perubahan telah banyak terjadi dalam tatanan hidup kita, keterbukaan informasi membuka pikiran semua manusia, lalu mendorong terjadinya perubahan demi perubahan yang lebih cepat dan mewarnai banyak aspek kehidupan. Semua itu sangat dipengaruhi oleh perubahan radikal tata cara komunikasi manusia yang sebelumnya hanya menggunakan teknologi biasa dan kini menggunakan teknologi nano, teknologi satelit, teknologi computer. Kini informasi diunduh dan didistribusikan melalui informasi digital berbasis internet yang makin mudah, cepat, murah, mampu meretas batas wilayah, bangsa, kebudayaan, tradisi, sehingga perubahan disuatu belahan bumi dengan sangat mudah bisa menjadi virus yang memicu perubahan di belahan bumi yang lain. Informasi intelizen yang sangat rahasia bisa diunduh dengan semangat keterbukaan untuk membuka aib dan kebobrokan penguasa, perang politik, dengan cara merilis di dunia maya untuk komsumsi masyarakat dunia.


Berbagai Informasi sekarang begitu mudah disampaikan, mudah juga untuk didapat, bisa diunduh, diolah, dan atau langsung didistribusikan melalui internet yang begitu terbuka tidak memandang siapa dan kapasitasnya apa. Siapapun bisa berekspresi, sejelek apapun karya, gaya, suara atau apapun, sesederhana atau sekomplek apapun yang disampaikan yang namanya ‘jagad dunia maya’ dengan setia menerima. Lewat situs tertentu orang yang sebelumnya biasa-biasa saja tiba-tiba bisa menjadi popular, bisa menjadi selebritis dadakan seperti Justin Beiber, di Indonesia kita kenal ‘sang polisi Gorontalo’ atau ‘sang pelantun Keong Racun’.


Gadget adalah sebuah istilah yang sangat popular bagi ‘pegaul’ internet, blog, web yang sepertinya memiliki arti fitur, piranti atau instrument yang memiliki tujuan dan fungsi specifik praktis yang umumnya diberikan pada sesuatu yang dianggap berbeda dengan yang ada sebelumnya. Di blog kita bisa unduh gadget untuk melengkapi perfoma dan tampilan blog. Gadget bisa berupa piranti untuk untuk menempatkan foto-foto, kata-kata, benner, slide, posting komentar, logo, link, statistic pengunjung, album, dan lain-lain. Orang bercengkrama di facebook , twitter, sesungguhnya mereka tengah bermain ‘gadget’, ketika pagi hari bangun kemudian mereka menggapai hp lalu melihat ‘sms’ atau ‘jejak’ informasi yang masuk, meresponnya, menutup vitur, sesungguhnya mereka juga lagi bergadget, lagi sarapan gudget.


Kehadiran gadget kata guru spiritual saya, benar-benar sangat mempengaruhi kehidupan manusia, pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif sama kuat. Pengaruh positif misalnya bisa melahirkan kemudahan-kemudahan, informasi yang terbuka dan kaya, terpicunya kreativitas dan inovasi, membangun semangat toleransi dan semangat berbagi. Gadget juga memberi pengaruh negatif berupa lahirnya generasi konsumtif, generasi yang suka serba instans, cenderung narsis, dan suka buang-buang waktu untuk hal yang sesungguhnya tidak penting. Rentang waktu ke depan ‘gadget-gadget’ baru pasti akan terus bermunculan, jendela-jendela dunia maya itu akan terus berevolusi mengajak manusia menjauhi realita hidup yang makin susah dan keras. Kita dininabobokan, dibius makin menjauh dari kesadaran yang sebenarnya mesti dilahirkan, yaitu hidup itu singkat dan sangat berharga. Tetapi itupun, sesungguhnya tinggal bagaimana kita menyikapinya, jadi apapun kembali tergantung ‘penyikapan kita’. Karena penyikapan kita yang akan mengendalikan pilihan-pilihan kita terhadap godaan-godaan ‘gadget’ mana yang tidak perlu diakrabi karena tanpa sadar mendorong kita berada pada situasi ‘buang waktu dan tidak produktif’, cenderung merugikan kehidupan. Maka sikap kita harus dikiblatkan pada ‘gadget’ positif, dan itupun disesuaikan dengan kebutuhan dan tidak berlebihan tetapi ditata bagaimana bisa lebih mencerdaskan dan menyadarkan akan kemanusiaan kita, mendewasakan kita untuk menghargai waktu.

Senin, 11 April 2011

BLOKO SUTO



Kang Begjo sadar sedar-sadarnya sebagai orang Jawa tepatnya orang Banyumas, berupaya sekuat apapun untuk mengendalikan diri, dorongan menjadi ‘bloko suto’ sering kuat sekali. Konon menurut orang tua, itulah bawaan orang Banyumas yang sulit dipungkiri, sulit dibuang, suka blak-blakan, terus terang, dan tidak toleransi untuk basa-basi atau berpura-pura kepada siapapun, tetapi semua dilakukan tanpa tendensi menjelekan ataupun menyakiti orang. Meskipun ia telah merantau jauh dari bumi Serayu itu dan telah memetamorfosis dirinya mengadopsi berbagai ilmu laku, belajar toleransi, basa-basi, berpura-pura untuk pergaulan dan menyenangkan orang lain. Kadang-kadang perilaku turunan itu muncul begitu saja pada kondisi tertentu, terutama suasana yang menggelisahkan. Seperti siang ini, pada acara pertemuan di tempat ia kuliah, pada saat teman-temannya tidak berani tunjuk hidung kesalahan pengelola, kang Begjo dengan terus terang membeberkannya.

Sikap kang Begjo yang berani mengungkap akar masalah yang menjadi kendala besar proses penyelesaian kuliah ia dan teman-temannya, seperti menjadi stimulator keberanian teman-temannya. Seperti alunan simponi suara teman-temannya kemudian menimpali dan mengiyakan beberapa kebijakan pengelola yang tidak pas menurut mereka. Tapi juga tidak sedikit teman-temannya yang lebih memilih posisi aman dengan cara diam dan cuma diam, walau setiap perubahan kebijakan belakangan mereka juga ikut merasakan dan menikmatinya. Padahal bila kang Begjo mau, seirama dengan pikiran yang telah bermetamorfosis, dia mestinya tidak perlu ambil resiko, toh bagi dia apa yang menjadi problem teman-temannya telah ia lalui relatif tanpa masalah, komunikasi dia dengan pengelola juga relatif sangat baik. Bakat genetiknyalah yang menyeruak tanpa kompromi lalu berterus terang menyangkut yang ia dengar, rasakan, lihat, terima tanpa rasa takut dan sungkan. Itulah yang namanya ‘bloko suto’.

Banyak orang Banyumas menceritakan bahwa sikap ‘bloko suto’ sering muncul begitu saja tanpa disadari, jadi mereka berterus terang tanpa beban, tidak ada yang namanya tenggang rasa, kasihan atau takut, yang pasti sikap tersebut muncul tanpa disadari, menyeruak begitu saja lugas memaparkan sesuatu hal yang seringkali orang lain tidak mampu mengungkapkannya lantaran sungkan, tidak berani, tidak enak, atau toleransi. Misalnya saja berani membuka kesalahan ‘seseorang’, kebohongan seseorang atau kejelekan orang atau bicara apapun yang intinya bicara apa adanya. Jadi pada sikap ‘bloko suto’ tidak ada istilah ‘berbohong untuk kebaikan’, toleransi untuk menyenangkan orang, diam untuk menyelamatkan muka teman dan lain-lain. Tetapi sikap ‘bloko suto’ juga bukan berarti menunjukkan orangnya yang ‘tegaan’, kejam, itu sikap yang bersahaja saja, tiada memiliki maksud menjatuhkan orang, mendiskreditkan orang, seperti sikap anak kecil bicara apa adanya dan seenaknya. Yang bersangkutan baru sadar ketika semuanya selesai tersampaikan atau diberi tahu orang bagaimana ia ‘berani’ bicara. Sampai di situ, baru pikirannya bisa menimbang, kadang lahir penyesalan telah bloko suto. Beruntung kalau kemudian mereka yang disadarkan kesalahannya justru kemudian berterima kasih, tapi bisa juga akan muncul sebaliknya.

Kang Begjo juga bertutur bahwa kemarin setelah ia ‘berbloko suto’ sejenak kemudian ia merasa sadar, seperti kemudian muncul rasa bersalah, rasa menyesal kok beraninya ngomong terus terang sedemikian rupa, padahal yang dihadapi adalah orang tua dan gurunya yang harus dihormati pastinya, syukur kemudian ada secercah solusi. Tapi ia juga sadar bahwa potensi genetik orang Banyumas mengalir ditubuhnya dominan, tidak bisa dipungkiri, tidak bisa disembunyikan, sewaktu-waktu bisa saja lahir ‘ekspresi gen’ itu dan menguasai kesadaran, rasionalitas, dan laku dirinya. Pada kontek kang Begjo, kita bisa lihat bahwa perasaan salah, menyesal , tidak enak yang justru lahir belakangan tersebut makin mempertegas bahwa ‘bloko suto’ adalah ekspresi tak terkendali, ekspresi ‘hidden dominan’ yang meledak hanya pada saat kesadaran, rasionalitas, dan laku orang Banyumas yang ‘bersahaja’ terposisikan dalam situasi yang perlu upaya menyelamatkan ketidak berdayaan. Orang Banyumas yang mampu memetamorfosis kesadaran, pikiran dan tingkah lakunya dengan ‘kearifan’ lain di luar budaya daerahnya akan mampu mereduksi sikap ‘bloko suto’.

Kata Guru Spiritualku bahwa ‘bloko suto’ adalah sikap yang baik karena disitu mengandung kekuatan kejujuran yang sangat tinggi hanya bertemperamen lugas dan lugu. Saking lugas dan lugunya sehingga mengabaikan ‘perasaan’, mengabaikan unggah-ungguh, mengabaikan ‘tata cara’ yang dalam masyarakat kita tidak bisa dikesampingkan dan sangat diperlukan. Maklum saja Banyumas adalah orang Jawa paling pinggir Barat jauh dari akar budayanya Jawa (Solo) juga jauh dari akar budaya Sunda yaitu Bandung, bahasanyapun ‘ngapak-ngapak’ terkesan kasar berbeda dengan orang Jawa di Jogja maupun Solo. Logatnya dengan mudah bisa menjadi bahan tertawaan orang. Berkait berterus terang, kita selayaknya tetap menghargai orang yang bersalah, karena kesalahan mereka itu justru penting menjadi pelajaran buat kita agar kita bisa memperoleh perbaikan. Kelola ‘potensi bloko suto’ dengan baik dan beri cita rasa agar bisa menjadi pola komunikasi yang santun dan bermartabat, penuh perasaan, dan berunggah-ungguh. Sehingga akan terbangun rasa saling menghargai, yang salah harus belajar seleh, yang bener jangan menjadi keblinger, semua harus tepo sliro mencari rahmat dan kebahagiaan bersama. Semua orang harus mau belajar dan berusaha ikut mendorong tercapainya ketenangan, kenyamanan dan menciptakan rasa pemenuhan yang adil dan bijaksana untuk meraih kebahagiaan dan kedamaian.

Selasa, 29 Maret 2011

NGONO yo NGONO tapi OJO NGONO



Sungguh demi Allah aku lagi bebal ide, dicekoki gelitikan yang mestinya bisa melahirkan banyak tulisan malah buntet, nggak ‘mbrujul-mbrujul’ juga itu gagasan. Terpaksa aku nglurug ke guru spiritualku kulakan tulisan untuk teman-temanku yang lagi berpolemik tentang ungkapan ‘falsafah’ Jawa, yang digulirkan oleh salah satu di antara mereka. Guru spiritualku juga geleng-geleng kepala lantaran ia merasa bukan Jawa sepenuhnya, beliau orang Osing yang konon menurut kakek neneknya ia merupakan generasi tri hybrid, ditubuhnya mengalir darah Jawa, Madura dan Bali. Jadi kalau diminta ngomong tenmtang falsafah Jawa, beliaunya mesasa tidak jangkep alias kurang PD. Tapi karena sungkan sama muridnya yang mbaleng seperti aku ini akhirnya nyoba urun rembug juga, “tapi yo ojo dianggep bener nek ora bener lho yo”, katanya.


“ Ungkapan Ojo Kagetan, Ojo Gumunan dan Ojo Dumeh sesungguhnya hanya sebagian kecil ungkapan Jawa, masih segudang ungkapan bijak yang melingkupi kehidupan orang Jawa. Tetapi memang diakui tiga ungkapan di atas adalah merupakan ungkapan Jawa yang paling banyak diketahui masyarakat umum. Orang bilang tiga ungkapan ini memang sangat relevan mewakili kondisi masyarakat kita yang rindu pada ketenangan, rindu akan kemakmuran dan rindu akan kebijaksanaan. Masyarakat kita sedang dilanda sikap yang terkesan dengan mudahnya digiring pemikiran dan perhatiannya, dipingpong dari isu satu ke isu lainnya, juga dengan mudah melupakan permasalahan satu ketika dihadirkan permasalahan lain yang baru. Kita adem ayem melupakan permasalahan KPK dan Polisi, ketika muncul Kasus Century, Century yang heboh terlupakan atas penampilan Gayus, demikian seterusnya sekarang lakonnya ‘acaman bom’.


Ojo dumeh, sangat tepat untuk mengungkapkan sinyal lampu kuning pada perilaku penguasa saat ini, karena terminologi ‘ojo dumeh’ sesungguhnya lebih bermakna ‘peringatan’ bukan larangan (kata ojo = jangan, dumeh = mentang-mentang), dan dapat diungkapkan pada berbagai permasalahan. Misalnya, jangan mentang-mentang sedang jadi penguasa seenaknya menistakan pada yang dikuasai, jangan mentang-mentang kaya lalu menghina dan menambah kesengsaraan orang miskin, jangan mentang-mentang pandai lalui mengelabui orang yang bodoh, jangan mentang-mentang cantik lalu menghina orang yang buruk muka, jangan mentang-mentang kuat lalu menginjak-injak orang yang lemah. Makna ungkapan ‘ojo dumeh’ harus disadari sebagai peringatan agar kita sadar bahwa ‘ketakterdugaan’ bisa saja terjadi pada siapapun. Hidup seperti roda berputar, dalam sekejap bisa saja yang berkuasa jadi nista, yang kaya jadi melarat, yang cantik jadi buruk muka. Peringatan ‘ojo dumeh’ sebetulnya untuk membimbing kita ‘berkesadaran’ memperbaiki kehidupan bersama yang lebih baik.” Sang Guru berhenti sejenak sambil menghirup kopi hangatnya.


“Ojo kagetan, juga bukan ungkapan larangan tapi juga sebuah peringatan atau ada yang memaknai sebagai ‘ajakan’. Akhiran ‘an’ pada kata ‘kaget’ memberikan arti kaget sebagai ‘kebiasaan’, sehingga kagetan itu bermakna ‘sering kaget’. Orang yang sering kaget dalam kontek Jawa menunjukkan orang yang ‘ora eling lan waspodo’ atau orang yang tidak sadar, tidak ngerti dan tidak waspada. Jadi ungkapan ojo kagetan sesungguhnya memiliki makna ajakan atau mengingatkan agar orang harus memiliki kesadaran, pengertian dan kewaspadaan. Semua itu kalau ditelusuri kuncinya adalah bagaimana seharusnya kita memiliki semangat belajar, dengan belajar orang bisa menguasai keadaan, menguasai medan, tahu kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehingga tidak perlu terkaget-kaget. Menurut orang yang meyakini puncak perolehan ajakan ini bisa mengantar orang menjadi ‘sidik paningal’ yaitu orang yang memiliki ketajaman indra dan bijaksana.


Ojo gumunan, sama dengan ungkapan sebelumnya merupakan sebuah ungkapan ‘peringatan’. Akhiran ‘an’ pada kata ‘gumun’ memberikan arti gumun sebagai ‘kebiasaan’, sehingga gumunan itu bermakna ‘sering kagum’. Orang yang demikian itu menggambarkan orang yang pengalamannya kurang, tidak pernah mengikuti perkembangan jaman, perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk perkembangan budaya manusia di seluruh belahan dunia. Ojo gumunan, maksudnya merupakan ungkapan ajakan agar orang mau menambah pengalaman, mengikuti perkembangan jaman, iptek, budaya dengan berbagai cara dan pendekatan. Lebih jauh merupakan ajakan agar diri kita memiliki pikiran yang ‘kaya inovasi’ terhadap apa saja yang ada di sekitar kita. Jangan jadi orang yang terus menerus tertinggal, orang yang selalu terbengong-bengong pada capaian dan prestasi orang lain. Puncak perolehan ajakan ini bisa mengantar orang menjadi ‘maestro’ yaitu orang yang memiliki kinerja dan prestasi besar yang diakui orang banyak.


Penting kita fahami bahwa orang boleh kaget asal jangan kagetan, boleh gumun asal jangan gumunan, tetapi kalau dumeh jelas tidak mengenal kata boleh, karena maknanya jelas beda dengan yang dua sebelumnya. Kata kaget dan kagum jelas tidak bisa disebandingkan dengan kata ‘mentang-mentang’ yang sudah memiliki muatan negatif, sedangkan yang lain baru negatif kalau dilakukan secara berlebihan atau menjadi kebiasaan. Ada ungkapan Jawa yang lebih umum yang berbunyi ‘ngono ya ngono tapi ojo ngono’, ungkapan ini bisa mewakili ungkapan jawa yang mengajak orang tahu diri dan jangan bertindak semaunya sendiri, menegasakan bagaimana sikap orang Jawa yang selalu toleransi pada apapun sikap dan kejadian yang dialaminya, tapi toleransi itu harus dimengerti ada batasnya. Maka kesewenangan penguasa, korupsi dan kolusi yang merajalela, hukum yang memihak, kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah, bencana yang terus melanda, tentu ada batas masyarakat mampu menahannya. Tunggu tanggal mainnya,” demikian kata penutup Guru Spiritualku.


Hmm…rasa maluku sedikit terobati, untung saja aku punya Guru Spiritual yang selalu menyejukan kegundahanku. Ya… mudah-mudahan juga bisa sebagai penghibur atau termorex diskusi teman-teman. Bagiku dalam mendewasakan hidup kita bisa belajar hal bijak dari manapun, dari siapapun, di manapun, tidak pandang suku, tidak pandang status, yang penting tangkap makna agungnya. Walau kita orang Jawa, kitapun tidak boleh dumeh sebagai orang Jawa, dan terlalu fanatis terhadap ‘kejawaan’ kita. Agar kita tidak gumunan kita juga harus mampu memahami dan menyerap sari pati ajaran dari mana saja, misalnya: ajaran Confecius dari daratan China, Gandhi dari India, Fritjof Capra yang mempopolerkan kesalehan budaya Timur, falsafah Sunda, falsafah Bali dan falsafah lainnya. Aku sendiri suka filosofi airnya orang Bugis, yang mendorong orang Bugis bisa beradaptasi di manapun mereka berada, bisa berbaur dengan suku dan bangsa apa saja. Di Banyuwangi aku lihat orang Bugis bisa hidup bersama orang Madura dan Osing, di Balikpapan aku saksikan orang Bugis damai hidup dengan orang Jawa dan Bali, di Singapura aku lihat ada kampong Bugis yang damai hidup dengan orang Melayu, India, Arab dan China. Mari kita intropeksi, perbaiki diri, lalu bangun terus toleransi, saling mengingatkan, sambil terus bersyukur kita diberi kesadaran, sambil terus berdoa agar diberi kejernihan berpikir……ngono ya ngono tapi ojo ngono. (dipublis juga di : http://www.alumni-unsoed-jatim.blogspot.com/)

Jumat, 25 Maret 2011

IDEALISME VS BRUTALISME


Saya paling suka mendengarkan radio SS setiap kali menjalani rutinitas berkendara dari Malang ke Surabaya. Banyak hal bisa saya petik nilai positifnya, mulai dari info terkini kondisi jalan yang akan saya lalui sampai dengan mendengarkan diskusi aktual tentang sesuatu yang sedang dibicarakan banyak orang baik masalah nasional maupun daerah. Saya sering tertolong dan terhindar dari kemacetan jalan di Porong atau di jalanan Surabaya karena semangat berbagi informasi situasi jalan dari banyak orang ke radio ini. Kadang juga mendapat kata-kata bijak, atau informasi pengalaman dari orang tentang penipuan, tentang kiat sukses dan lain-lain.

Dari mendengarkan radio SS sering juga kita tahu kejadian kecelakaan di mana, apa dengan apa korbannya ada tau tidak dan lain-lain, yang bisa bikin trenyuh karena korbannya mengenaskan misalkan. Atau bisa bikin mangkel karena kecelakaan yang terjadi akhirnya membuat kemacetan dan memaksa setiap pengguna jalan lainnya melaju lambat atau bahkan bisa terhenti berjam-jam. Lebih parah pernah terjadi jalanan macet seharian penuh lantaran ada truk trailer yang membawa muatan besi cor tiba-tiba remnya gancet dan membuatnya mogok di tengah jalan tol, evakuasi sangat sulit karena tidak memungkinkan penyelesaian dengan system dongkrak karena beratnya beban. Dan hari ini aku dengar hal yang menyedihkan sekaligus memprihatinkan, dilaporkan seorang lelaki 59 tahun mengendarai sepeda pancal diserudug truk yang melaju di bahu kiri jalan dengan kecepatan tinggi hingga melindas bagian dada ke atas lelaki itu dan nyawanya tidak tertolong.

Sejenak ketika saya masih menelan rasa kesedihan, di radio SS terdengar telepon bordering, dan seorang lelaki menyampaikan rasa berterima kasih mendapatkan informasi tentang kecelakaan tersebut, karena informasi yang disampaikan radio SS menyangkut lelaki yang celaka itu, mengarah pada seperti ciri teman kantornya. Walau masih ragu, ketika disampaikan ke teman-temannya, mendorong juga rasa ingin tahu dan ikut mengecek ke rumah sakit tempat sang lelaki diotopsi, dan akhirnya diketahui bahwa dugaannya adalah benar. Dari penuturan sang penelepon bahwa lelaki yang mengalami celaka adalah seorang lelaki yang idealis, orang ingin menjaga kesehatannya dengan menyikapi selalu naik sepada pancal ke kantornya. Setiap hari kerja ia memilih mengayuh sepedea dari Gedangan hingga Perak tempatnya ia kerja. Fasilitas mobil dinas yang diberikan oleh kantornya tidak pernah mau dimanfaatkannya karena semangat ingin sehat.

Idealisme yang positif ternyata tidak selalu membawa hasil positif, kalau kita melihat kejadian di atas justru idealism membawa kekonyolan. Mungkin orang akan bicara bahwa semua itu sudah takdir sebagai nasib orang itu. Tetapi menurut saya bahwa lelaki itu adalah telah jadi korban ‘kebrutalan’ orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab, tidak memiliki kesadaran bahwa jalan adalah fasilitas umum, tidak memiliki toleransi, mestinya orang ini sadar bahwa di jalan nasib orang lain ditentukan oleh sikap dan tindakan dirinya demikian sebaliknya. Sesungguhnya peraturan lalu lintas di jalan sengaja dibuat agar semua pengguna jalan bisa saling memahami hak dan kewajibannya di jalan. Petunjuk, peringatan, larangan harus dimengerti dan dipatuhi sehingga kecelakaan bisa dihindari.

Tetapi itulah yang namanya ‘brutalisme’, sebuah sikap yang cenderung seenaknya sendiri, maunya menang sendiri, tidak memiliki empati, suka melanggar aturan, seenaknya merusak tatanan, tidak miris menghilangkan nyawa orang yang justru mematuhi aturan, Kenapa sekarang banyak orang brutal di mana-mana, sedang sakitkah masyarakat kita ? Sepertinya memang masyarakat kita sedang sakit, yang namanya toleransi sudah tercabik dari tatanan masyarakat kita. Toleransi dibungkam oleh gerusan masalah ekonomi, politik dan persatuan.

Guru spiritual saya mengomentari bahwa memang sekarang sudah saatnya sikap toleransi diajarkan dan dikembangkan kembali pada masyarakat kita, agar ketenangan dan kebahagiaan hidup bisa lebih dijamin pencapaiannya. Sebab kalau dibiarkan dan terus terjadi di berbagai tatanan masyarakat, hal tersebut bisa menjadi perusak moralitas bangsa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang santun , jangan biarkan orang-orang yang ada di sekitar kita selalu diliputi rasa takut, dan merasa terancam di rumahnya sendiri atau di negaranya sendiri. Tunjukan perilaku kita yang santun, buatlah siapapun bisa merasa berada di Indonesia dengan nyaman, merasa lebih baik dan lebih berkesan. Sehingga kalau itu orang asing, mereka akan rindu dan kembali datang dengan suka ria. Ingat bahwa untuk merubah kebrutalan tidak mungkin dilakukan oleh satu orang, siapapun anda bisa ikut merubah hal itu. Sampailkan dan yakinkan pada setiap orang bahwa hidup itu berharga, kalau hal itu terus ditumbuhkan yakinlah bahwa keyakinan itu akan mampu menumbuhkan sikap perhargaan hidup itu sendiri .

Senin, 07 Maret 2011

KEGAGALAN


Seorang teman SMS kepadaku di tengah malam mengungkapkan kegundahan, kejengkelan, frustasi , putus asa atas nasib yang menimpa dirinya. Dia sudah maju ujian 5 kali dan mengalami kegagalan juga sebanyak 5 kali. Nasehat teman-temannya yang sudah lulus sudah ia ikuti, misalnya saja disarankan untuk focus, serius belajar, latihan terus menerus, berdoa, rilex pada saat ujian, convident atau percaya diri. Tapi semua sia-sia, tetap tidak merubah keadaan nilai yang bisa dicapai agar bisa dikatakan ‘lulus’. Sang teman tidak lalu menyalahkan dirinya sendiri apalagi melabel dirinya ‘pecundang’, mengapa demikian ? Sebab teman-teman yang senasib dengan dirinya masih banyak, bahkan ada pula yang sudah 10 kali ujian belum juga ‘klarrr’.

Kalau sekian banyak orang berulang mengalami kegagalan pada ujian yang sama, hal seperti ini semestinya sudah bisa melahirkan penelaahan ulang ‘urgensi’ ujian itu. Mengapa sedemikian sulit, mengapa dibiarkan saja menjadi batu sandungan ‘aktivitas’ lainnya yang lebih ‘urgen’ ? Saya faham semua teman-teman sesungguhnya bukan menolak tahapan atau ujian yang harus ditempuh tersebut. Mereka hanya berharap ‘kewajiban’ itu mestinya bisa lebih dibijaki, artinya ketika ujian itu telah nyata-nyata mengganggu hal yang lebih substantif dalam proses ‘belajar’, maka bisa dibuat lebih lunak untuk tidak menjadikan ‘ujian itu’ sebagai prasarat kegiatan krusial. Kami faham bahwa penguasaan bahasa asing itu penting, tetapi kalau itu ‘dijadikan syarat’ dan malah menjadi penghambat teman-teman untuk bisa melakukan penelitian yang lebih substantive dalam proses belajar. Maka itu adalah keblinger, kata temanku.

Teman yang optimis selalu bilang, bahwa kegagalan adalah buah. Tuhan tidak pernah membiarkannya tumbuh di cabang yang terlalu lemah untuk menanggungnya. Kita semua telah terpilih, yang telah lolos di saringan satu dan dua. Jadi jangan menyerah, jangan mengiba-iba untuk mendapatkan surat dispensasi atau ‘surat keterangan miskin’ yang menandakan kita sudah menyerah karena sudah sekian kali gagal di ujian. Yakinlah, bahwa kita akan menjadi semakin kuat dengan penyadaran bahwa uluran tangan yang kita perlukan terletak di tangan kita sendiri. Jangan mengeluh saja, karena mengeluh bukan langkah maju. Kegagalan adalah peluang untuk memulai lagi, memulai dengan lebih bijaksana, penuh perhitungan dan kesadaran.

Memang menurut pengalamanku hambatan itu harus kita perhatikan dan kita hadapi secara khusus, tidak bisa sekedarnya dan tidak bisa sekedar coba-coba. Menyangkut ujian yang sama aku sendiri juga berkali merasakan kegagalan, tapi berulang pula koreksi diri, terus berupaya fokus, membangun strategi belajar, latihan dan latihan. Kenyataannya setelah berproses selama satu bulan mengakrabi problem itu, toh akhirnya bisa lolos dari masalah tersebut dan lulus melebihi target. Setelah lolos bagaimana ? Ingat, ternyata setelah lolos ujian itu bukan berarti masalah kita sudah selesai, karena masalah lain sudah ada yang menunggu, ya..... memang begitulah kenyataannya. Sadar tidak sadar kita sekarang memang berada dalam kontrak 'masalah'.
Orang bijak ketika mendengar kata ‘kegagalan’ selalu akan bilang tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Artinya kalau mau bijaksana terhadap ‘kegagalan’ yang kita alami, tindakan pertama kita adalah melakukan evaluasi dan intropeksi. Sudah seberapa keras usaha kita untuk mengatasi problem itu ? Rubahlah diri !! Jangan berkecil hati ! Seringkali anak kunci yang bisa membuka gembok adalah anak kunci terakhir yang ada di tangan kita juga.

Terakhir Guru Spiritualku menasehati, sekarang yang terpenting yakinkanlah dirimu dan mantapkan hatimu bahwa kamu memang sudah berada pada proses yang benar untuk sebuah pencapaian exelence with morality. Berharaplah terus dan ikutlah aktif berproses agar semboyan agung itu tidak hanya lahir sebagai ‘pepesan kosong’, mulailah membangun ‘keterampilan cemerlang’ dan ‘watak mulia’ dengan tindakan dan contoh sederhana-sederhana tetapi agung. Ingatlah, bahwa watak mulia dan keterampilan rendah tak akan membuat kita sukses, tetapi tetap membuat kita menjadi orang yang dihargai. Watak rendah dan keterampilan cemerlang menjadikan orang jadi penipu. Sedangkan watak mulia dan keterampilan cemerlang akan mengantarkan kita menjadi orang yang sukses dan juga mampu menebar kesejahteraan, kebahagian, ketentraman dan kedamaian bagi orang-orang di sekitar kita.
Nah, siapapun yang berproses dalam gerbong bersemboyan exelence with morality mesti harus sadar bahwa menggapai hal itu bukan hal yang gampang. Ketika masih ada kebuntuan komunikasi, ketika masih banyak yang resah, ketika masih banyak yang munafik, ketika masih banyak yang merasa teraniaya, maka hal itu merupakan pertanda kita semua masih jauh dari harapan. Oleh karena itu perlu ada aksi nyata dari kita untuk berubah menuju ke sana.

Senin, 28 Februari 2011

HARI BAIK


Seorang teman merespon puisi kegundahanku dengan menyatakan solidaritas bahwa banyak teman-teman yang merasakan hal yang sama dengan diriku. Puisi yang ada di sisi kanan ‘blog’ ini yang berjudul ‘Beri Aku BayangMu’, puisi itu entah benar entah tidak kata dan naratif sesungguhnya ingin mengungkapkan kegundahanku menjalani kuliah yang sedang berada pada titik yang menjenuhkan. Betapa tidak, persoalan demi persoalan seolah bergantian datang, langkah satu terlampau, di depan menghadang kembali portal yang membuat jalanku terhenti. Hari-hari di Surabaya atau di Malang aku dipaksa untuk selalu membaca dan membaca, belajar dan belajar, diskusi dan diskusi. Tapi memang aku tidak sendiri, dalam bidangku ada 26 orang yang mungkin senasib. Pada kondisi seperti itu selain terus usaha keras, aku butuh barokah dan sentuhan kesejukan Yang Maha agar terbuka pikiran tuk mengurai kejenuhan itu agar tidak berlarut-larut.

Pada situasi sulit macam begini, kalau kita duduk di perpustakaan sudah pasti setiap saat akan kita dengar gerundelan teman-teman yang mengeluh, ngomel, mengumpat bahkan aku pernah mendengar keluar ‘sumpah serapah’. Topik yang paling afdol adalah slendronya ‘motto' institusi yang jauh dari prakteknya, trus ketentuan-ketentuan yang tidak rasional yang tidak sejalan dengan harapan kelulusan, satu sisi mahasiswa diminta lulus tepat waktu tapi banyak kebijakan yang menjadi portal penghambat harapan itu. Awalnya itu juga membuatku ikut gerah, ikut ngomel, ikut menanyakan, tetapi belakangan setelah aku renungkan, memandang diri sebagai ‘mahasiswa’ aku pikir aku tidak boleh larut dalam permasalahan mereka. Karena waktu ternyata terus bergulir dan keadaan tidaklah berubah. Maka akulah yang harus berubah, aku tidak boleh menyerah, aku harus terus berupaya rasional tuk melangkah, meraih satu capaian demi capaian semampuku, prinsipnya hanya mencoba membangun keyakinan ‘kalau orang lain bisa kenapa aku tidak bisa’.

Langkah harus terukur, karena memang yang kita hadapi hal-hal yang capaiannya bisa kita ukur bisa kita evaluasi sendiri sebelumnya. Misalnya kalau kita sudah menyelesaikan tugas kuliah dan akan melakukan penelitian, maka yang harus kita persiapkan adalah ‘proposal penelitian dan ujian proposal’. Tetapi kita tahu bahwa untuk bisa ujian proposal syarat yang harus dipenuhi adalah ‘lulus ujian toefl 500’ dan lulus kursus salah satu bahasa asing lainnya, karena universitas tempat aku belajar bercita-cita menjadi world class university . Untuk itu siapapun harus sadar bahwa capaian toefl 500 dan penguasaan satu bahasa asing lainnya adalah sesuatu yang harus kita tuntaskan terlebih dahulu. Karena kalau tidak dituntaskan, hal itu bisa jadi cantolan yang membuat kita tidak maju-maju. Pentingnya mengeja kata-kata, kalimat, berdiskusi yang saya omongkan sebagai hal yang menjenuhkan sesungguhnya merupakan sesuatu yang perlu kita perjuangkan dengan sabar. Saya tidak setuju pada teman-teman yang menyerah, selalu menyalahkan orang lain, paswrah pada keadaan atau menggantungkan pada faktor keberuntungan untuk sesuatu hal yang harus semestinya kita perjuangkan.

Aku juga tidak setuju pada pemikiran salah satu teman yang konon ‘percaya’ bahwa ujian pada hari tertentu adalah ‘keberuntungan’ atau ‘hari baik’ baginya. Masa iya demikian ? Mungkin itu hanya guyon saja, sama untuk menghilangkan kejenuhan. Menurutku ujian itu ukurannya sudah jelas, karena ada materi yang akan diujikan, kita mesti sadar sejauh mana kita siap pada apa yang akan diujikan, menguasai atau tidak permasalahan yang akan diujikan. Kesadaran itu penting untuk memastikan apa yang kita lakukan tidak sia-sia, jangan melakukan spekulasi berani ujian manakala kita sesungguhnya tidak siap, siapapun bisa menilai kesiapan dengan melakukan evaluasi melalui latihan-latihan sebelumnya. Aku justru menduga, sang teman yang sesungguhnya kemampuannya di atas rata-rata teman lainnya, capaian sebelumnya juga bagus hanya sedikit dibawah standar kelulusan. Jangan-jangan karena keyakinannya 'hari baiknya adalah misal hari Kamis', sementara waktu ujian yang diploting penyelenggara adalah Jum'at, oleh karena sebab itu mungkin menjadi tidak 'self confidence' dan akhirnya membuat skornya malah menurun.

Guru spireiualku berkata bahwa semua hari adalah baik, justru kalau kita sudah punya anggapan tentang adanya hari baik, maka secara tidak langsung pada sisi yang lain berarti kita sudah menganggap ada hari yang jelek atau kurang baik. Ketika kita meyakini itu maka yang terjadi adalah dalam diri kita akan muncul dikotomi pemahaman pada hari-hari yang kita jalani . Ada pasang surut harapan, semangat juang, pada hari baik kita bersemangat dan pada hari biasa atau buruk kita menjadi kurang percaya diri bahkan sampai takut. Itu bisa menyebabkan produktivitas hidup kita jadi seperti gelombang, naik-turun, padahal semestinya tidak demikian. Kita mestinya harus berprinsip 'memaksimalkan perolehan hidup hari ini', karena cuma hari ini yangt jadi kesempatan dan milik kita, kemarin adalah masa lalu, esok belum tentu milik kita. Jangan buang hari ini dengan pengharapan atau menguatirkannya sebagai hari tidak baik apalagi karena menyesali yang lalu, apapun namanya hari ini semua hari adalah baik. Orang bijak secara turun temurun berpesan bahwa ada dua cara mengatasi kesulitan, yaitu kita mengubah kesulitan-kesulitan itu atau kita mengubah diri sendiri untuk mengatasi kesulitan itu. dan itu harus dilakukan sekarang. Kita butuh semangat, kita perlu belajar dari pendaki gunung, katanya gunung yang terlihat terjal akan terasa datar ketika kita sampai di puncaknya.

Selasa, 22 Februari 2011

ANGGREK DAN PARADIGMA HOLISTIK


“Semestinya, alam kosmos adalah jaringan proses transformasi energy dan merupakan sistem hidup” demikian kata profesorku, “dan jadi bukan objek atau materi belaka”. Guru spiritualku mengatakan bahwa hidup manusia di alam semesta adalah bagaikan jaring sistem yang teratur dan holistik. Hidup manusia tidak akan berlangsung Ianggeng jika tidak menyadari bahwa hidupnya adalah bagian dari alam semesta dan sebaliknya. Dalam kosmologi baru kesadaran adanya interkoneksitas jejaring kehidupan antara manusia dengan alam dan dengan hal-hal transendental sangat perlu dibangun. Alam harus dipahami untuk mencari jejak kreatif dan makna kehidupan, bukan untuk dikuasai sedemikian rupa.

Aku baca buku kuno, tercatat bahwa eksplorasi tanaman anggrek di habitat alaminya cederung berlebihan. Eropa pada abad 17 dalam catatan sejarah pernah dianggap sebagai ‘makamnya bunga anggrek’, lantaran ketamakan dan kepicikan orang Eropa waktu itu. Mereka mencerabut berkapal-kapal aneka anggrek daerah tropis termasuk Indonesia dan diboyong terutama ke Inggris. Ironisnya, sangat sedikit yang hidup karena mereka belum mengenal cara budidayanya. Mereka tamak, hanya mementingkan kesenangan bagi mereka sendiri, mungkin juga karena napsu ekonomi, karena pada saat itu di Eropa harga anggrek hidup berbunga melebihi harga emas.

Agar keberpihakan pada kemaslahatan manusia dan terhindarnya kerusakan ekologi dan lingkungan dapat dicapai, maka monopoli pengembangan anggrek harus direduksi dengan memerankan masyarakat secara luas dalam hal pengelolaan sumberdaya anggrek Mereka harus didorong untuk bisa melakukan hal itu secara bertahap termasuk menjadikan tanaman anggrek bernilai bagi kesejahteraannya. Salah satu kuncinya adalah teknologi madya, seperti penggunaan media diperkaya secara ex vitro. Permasalahannya apakah media ex vitro bisa diformulasikan ? Faktor media diperkaya apa saya yang dapat direkayasa ? Bagaimana rekayasanya ? Apakah menekan gangguan kontaminasi tidak mengganggu pertumbuhan bibit anggrek ? Dan masih banyak pertanyaan mendasar yang akan lahir dari permasalahan ini. Mungkinkah pendekatan holistik dilakukan pada problem ini ?

Pendekatan holistik adalah pendekatan menyeluruh, di negeri China ajaran holostik ada pada ajaran konfusianisme Daxue, yang kalau kita ambil garis emas pada persoalan anggrek yang hendak aku pecahkan, maka intinya jangan tempatkan persoalan melulu demi memenuhi kebutuhan manusia (antroposentris) tetapi haruslah menyeluruh . Awalnya persoalan harus diketahui, difahami, dan dimengerti terlebih dahulu (prinsip xewue), kemudian dari memahami persoalan kita cari dan kuasai pengetahuan yang melandasinya dan simpul lemah yang menyertainya (prinsip zhizhi), kita ambil sari pati kebaikannya nyata bisa menata (prinsip xiushen), lalu kita pelihara dan kembangkan kebajikan tersebut (prinsip qijia), lalu produk harmoninya kita jaga dan kita kelola dengan prosedur yang yang baik (prinsip zhiguo) agar ‘keseimbangan menyeluruh’ dapat kita jaga (prinsip pingtianxia).

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dilakukan aku perlu serentetan experimental ‘kaji tindak’ dengan ‘sedikit’ berpijak pada landasan sains yang sadar pada kosmologi alam yang dinamis dan lekat dengan siklus semeseta yang fana’ (kelahiran, kehidupan, dan kematian) dan memberi makna ‘rahmatan lil ‘Alamin’ atau rahmat bagi seluruh alam. Bahwa semesta ini bukanlah kumpulan benda objek yang terpisah, melainkan berupa jaringan yang terbentuk dari hubungan antara bagian-bagian atau entitas penyusun dari sesuatu yang tunggal.

Saran Guru Spiritualku aku harus tinggalkan paradigma Cartesian-Newtonian, paradigm yang melahirkan dunia modern yang menganggap bahwa secara ontologis terdapat pemisahan antara kesadaran dengan materi, dalam kontek ini alam dianggap sebagai tak berkesadaran dan tanmakna. Dengan demikian, kosmologi modern ialah kosmologi yang kering. Ia juga menafikan jejak kreatif Tuhan (vestigia dei, ayat-ayat Allah, signs of God) pada alam semesta. Padahal jejak Tuhan pada alam semesta merupakan prinsip dasar pengetahuan tradisional secara umum, dan prinsip religiusitas, secara khusus (Riansyah, 2002). cara pandang yg menyeluruh dlm persepsi realitas alam kosmos adalah jaringan proses transformasi energi dan merupakan sistem hidup.