Senin, 11 April 2011

BLOKO SUTO



Kang Begjo sadar sedar-sadarnya sebagai orang Jawa tepatnya orang Banyumas, berupaya sekuat apapun untuk mengendalikan diri, dorongan menjadi ‘bloko suto’ sering kuat sekali. Konon menurut orang tua, itulah bawaan orang Banyumas yang sulit dipungkiri, sulit dibuang, suka blak-blakan, terus terang, dan tidak toleransi untuk basa-basi atau berpura-pura kepada siapapun, tetapi semua dilakukan tanpa tendensi menjelekan ataupun menyakiti orang. Meskipun ia telah merantau jauh dari bumi Serayu itu dan telah memetamorfosis dirinya mengadopsi berbagai ilmu laku, belajar toleransi, basa-basi, berpura-pura untuk pergaulan dan menyenangkan orang lain. Kadang-kadang perilaku turunan itu muncul begitu saja pada kondisi tertentu, terutama suasana yang menggelisahkan. Seperti siang ini, pada acara pertemuan di tempat ia kuliah, pada saat teman-temannya tidak berani tunjuk hidung kesalahan pengelola, kang Begjo dengan terus terang membeberkannya.

Sikap kang Begjo yang berani mengungkap akar masalah yang menjadi kendala besar proses penyelesaian kuliah ia dan teman-temannya, seperti menjadi stimulator keberanian teman-temannya. Seperti alunan simponi suara teman-temannya kemudian menimpali dan mengiyakan beberapa kebijakan pengelola yang tidak pas menurut mereka. Tapi juga tidak sedikit teman-temannya yang lebih memilih posisi aman dengan cara diam dan cuma diam, walau setiap perubahan kebijakan belakangan mereka juga ikut merasakan dan menikmatinya. Padahal bila kang Begjo mau, seirama dengan pikiran yang telah bermetamorfosis, dia mestinya tidak perlu ambil resiko, toh bagi dia apa yang menjadi problem teman-temannya telah ia lalui relatif tanpa masalah, komunikasi dia dengan pengelola juga relatif sangat baik. Bakat genetiknyalah yang menyeruak tanpa kompromi lalu berterus terang menyangkut yang ia dengar, rasakan, lihat, terima tanpa rasa takut dan sungkan. Itulah yang namanya ‘bloko suto’.

Banyak orang Banyumas menceritakan bahwa sikap ‘bloko suto’ sering muncul begitu saja tanpa disadari, jadi mereka berterus terang tanpa beban, tidak ada yang namanya tenggang rasa, kasihan atau takut, yang pasti sikap tersebut muncul tanpa disadari, menyeruak begitu saja lugas memaparkan sesuatu hal yang seringkali orang lain tidak mampu mengungkapkannya lantaran sungkan, tidak berani, tidak enak, atau toleransi. Misalnya saja berani membuka kesalahan ‘seseorang’, kebohongan seseorang atau kejelekan orang atau bicara apapun yang intinya bicara apa adanya. Jadi pada sikap ‘bloko suto’ tidak ada istilah ‘berbohong untuk kebaikan’, toleransi untuk menyenangkan orang, diam untuk menyelamatkan muka teman dan lain-lain. Tetapi sikap ‘bloko suto’ juga bukan berarti menunjukkan orangnya yang ‘tegaan’, kejam, itu sikap yang bersahaja saja, tiada memiliki maksud menjatuhkan orang, mendiskreditkan orang, seperti sikap anak kecil bicara apa adanya dan seenaknya. Yang bersangkutan baru sadar ketika semuanya selesai tersampaikan atau diberi tahu orang bagaimana ia ‘berani’ bicara. Sampai di situ, baru pikirannya bisa menimbang, kadang lahir penyesalan telah bloko suto. Beruntung kalau kemudian mereka yang disadarkan kesalahannya justru kemudian berterima kasih, tapi bisa juga akan muncul sebaliknya.

Kang Begjo juga bertutur bahwa kemarin setelah ia ‘berbloko suto’ sejenak kemudian ia merasa sadar, seperti kemudian muncul rasa bersalah, rasa menyesal kok beraninya ngomong terus terang sedemikian rupa, padahal yang dihadapi adalah orang tua dan gurunya yang harus dihormati pastinya, syukur kemudian ada secercah solusi. Tapi ia juga sadar bahwa potensi genetik orang Banyumas mengalir ditubuhnya dominan, tidak bisa dipungkiri, tidak bisa disembunyikan, sewaktu-waktu bisa saja lahir ‘ekspresi gen’ itu dan menguasai kesadaran, rasionalitas, dan laku dirinya. Pada kontek kang Begjo, kita bisa lihat bahwa perasaan salah, menyesal , tidak enak yang justru lahir belakangan tersebut makin mempertegas bahwa ‘bloko suto’ adalah ekspresi tak terkendali, ekspresi ‘hidden dominan’ yang meledak hanya pada saat kesadaran, rasionalitas, dan laku orang Banyumas yang ‘bersahaja’ terposisikan dalam situasi yang perlu upaya menyelamatkan ketidak berdayaan. Orang Banyumas yang mampu memetamorfosis kesadaran, pikiran dan tingkah lakunya dengan ‘kearifan’ lain di luar budaya daerahnya akan mampu mereduksi sikap ‘bloko suto’.

Kata Guru Spiritualku bahwa ‘bloko suto’ adalah sikap yang baik karena disitu mengandung kekuatan kejujuran yang sangat tinggi hanya bertemperamen lugas dan lugu. Saking lugas dan lugunya sehingga mengabaikan ‘perasaan’, mengabaikan unggah-ungguh, mengabaikan ‘tata cara’ yang dalam masyarakat kita tidak bisa dikesampingkan dan sangat diperlukan. Maklum saja Banyumas adalah orang Jawa paling pinggir Barat jauh dari akar budayanya Jawa (Solo) juga jauh dari akar budaya Sunda yaitu Bandung, bahasanyapun ‘ngapak-ngapak’ terkesan kasar berbeda dengan orang Jawa di Jogja maupun Solo. Logatnya dengan mudah bisa menjadi bahan tertawaan orang. Berkait berterus terang, kita selayaknya tetap menghargai orang yang bersalah, karena kesalahan mereka itu justru penting menjadi pelajaran buat kita agar kita bisa memperoleh perbaikan. Kelola ‘potensi bloko suto’ dengan baik dan beri cita rasa agar bisa menjadi pola komunikasi yang santun dan bermartabat, penuh perasaan, dan berunggah-ungguh. Sehingga akan terbangun rasa saling menghargai, yang salah harus belajar seleh, yang bener jangan menjadi keblinger, semua harus tepo sliro mencari rahmat dan kebahagiaan bersama. Semua orang harus mau belajar dan berusaha ikut mendorong tercapainya ketenangan, kenyamanan dan menciptakan rasa pemenuhan yang adil dan bijaksana untuk meraih kebahagiaan dan kedamaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar