Jumat, 11 April 2014

LAGU TENGAH MALAM

.........
malam itu
engkau kirim aku senandung merdu
yang mengoyak kesunyian malam dan kesendirian
..........aku tak peduli dan membisukanmu
maafkan aku
malam itu.....
di jantung jakarta aku tengah bercinta dengan hasrat
menguntai kata-kata dan berhitung nasi petani
kupertaruhkan kantukku
memilin kepedulian
untuk menyemai senyum masyarakat pinggiran
yang tak terjamah kekuasaan
aku cuma ingat janjiMU
: di sorgaMU aku bisa dengarkan bahkan dendangkan
seribu lagu merdu......
juga menari bersama dewa-dewi....
..................................
Hotel Borobudur,
akhir bulan maret 2014

Sabtu, 08 Juni 2013

REVOLUSI JUNGGA




Sejak jaman penjajahan Belanda hingga sampai sekarang, komoditas perkebunan yang diusahakan 15 BUMN yang bergerak di bidang perkebunan masih berkutat pada komoditas konvensional seperti: karet, kopi, kelapa sawit, kakao, teh, tembakau dan tebu, sedangkan komoditas potensial lain seperti buah dan bunga tidak ada yang menjadi komoditas pilihan BUMN.  BUMN tidak ada keberanian untuk beralih komoditi walau kenyataan usahanya terus merugi, misalnya ada PTP  yang tetap mengusahakan komoditas tertentu, walau produktivitasnya rendah karena lingkungan sudah tidak sesuai lagi. Dahlan Iskan menyadari bahwa pengembangan buah dan bunga skala perkebunan terintegrasi akan menjadi salah satu solusi bagi Indonesia dalam memenuhi kebutuhan komsumsi buah, sayur dan bunga domestik yang terus meningkat, seiring denganpertumbuhan dan perubahan gaya hidup kelas menengah ke atas.



Menteri BUMN atas dukungan penuh Institut Pertanian Bogor mulai mulai November 2012 mulai menggagas dan pada  tanggal 17 Mei 2013 secara resmi telah mencanangkan gerakan 'Revolusi Jingga' atau 'Orange Revolution'  yaitu suatu gerakan untuk mendorong budidaya tanaman buah nusantara untuk meningkatkan pertumbuhan produksi dan ekspor buah nusantara.  Kegiatan pencanangan gerakan revolusi jingga dibarengkan dengan kegiatan Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) yang diselenggarakan di IPB International Convention Center - Baranangsiang Bogor mulai tanggal 17 -19 Mei 2013.

Dahlan Iskan mengatakan bahwa untuk itu telah dimulai pencanangkan  gerakan Revolusi Jingga, Kementrian BUMN melalui BUMN Perkebunan telah membuat program pengembangan buah nusantara skala skala perkebunan terintegrasi periode 2013-2017 seluas 116.800 hektar di lahan PTPN di seluruh Indonesia, yang terdiri dari jeruk (31.000 ha), durian (12.000 ha), manggis (18.900 ha), mangga (29.400 ha), pisang (18.750 ha) dan pepaya (6.750 ha). Sebagai pelaksana pertama gerakan 'Revolusi Jingga', PTPN VIII Jawa Barat telah mencanangkan pengembangan buah nusantara seluas 3.000 ha yang terdiri dari manggis (1.500 ha) dan durian (1.500 ha) yang akan diusahakan secara tumpangsari dengan pisang dan atau pepaya.


Gerakan 'Revolusi Jingga' telah ditabuh oleh menteri BUMN, tentu gerakan ini tidak mungkin hanya mengandalkan IPB saja. Partisipasi pakar daerah yang bisa jadi lebih mengetahui klimatologi dan aspek SOP budidaya lokal sangat dibutuhkan. Siapa mau ikut barisan menteri BUMN ? Guru spiritual saya kala mendapat penuturan perihal ini, berkomentar: ‘Yang penting bagaimana gerakan ini tidak ditunggangi para oventurir yang sengaja memanfaatkan gerakan revolusi jingga sebagai lahan pencari uang, atau popularitas politik. Kalau sudah demikian gerakan yang baik akan menjadi pepesan kosong karena lebih mementingkan pertumbuhan instan, tanpa mempertimbangkan proses yang sehat dan rasional sehingga gerakan bisa menjadi gerakan yang riil berkelanjutan. 

Guru yang lain berkomentar: ‘ Gerakan itu harus menjadi gerakan yang holistik, menyeluruh pada segenap aspek dan rasional pada hal pilihan kewilayahan. Jangan sampai, missal ada daerah di Kalimantan yang jauh dari kemudahan transportasi didorong mengembangkan komoditas nanas, sawit, atau komoditas lain dengan areal berhektar-hektar, tetapi infrastruktur jalan dan sarana transportasi, tenaga pemanenan tidak dipikirkan. Sehingga giliran panen, mereka dibingungkan bagaimana menjual hasil panen, problem pertama biasanya berkait dengan tenaga pemanen yg mahal, kedua minim dan mahalnya alat transportasi, ketiga batas umur ketahanan produk, keempat rendahnya kemampuan teknologi dan dana untuk melakukan penanganan pasca panen. Alhasil kerja mereka menjadi sia-sia, yang sangat kecewa akhirnya membiarkan produk itu tidak dipanen,  yang toleransi harus menerima produknya dibeli para tengkulak yang tidak toleransi. 

Kamis, 30 Mei 2013

TITIK BALIK

Sebuah penggambaran yang sepandan yang tengah dialami mas Bejo adalah 'ia telah terlalu jauh membelok dari jalan utama dan asyik menikmati panorama perjalanan yang cantik' sehingga lupa akan tujuan utama pengembaraannya. Mas Bejo lagi merasa lunglai, ia sadar telah kehilangan waktu, ia 'ndeprok' di depan guru lakunya sembari merenungi nasib. Sang Guru yang memahami muridnya tengah 'gundah gulana', bertutur: "Sudahlah nak, tidak perlu disesali, toh itu pilihan kamu sendiri. Mana sikapmu yang selalu mengambil hikmah positif dari setiap laku....". Mas Bejo, tercenung pada kata-kata gurunya. " Apa lagi jalan menyamping yang telah kamu jalani, bukan jalan yang tak bernilai, bahkan sangat bernilai, bukan pula jalan yang salah, karena kebanyakan pekerjaan itu semestinya  diperuntukan bagi mereka yang telah menempuh kesempurnaan jalan utama. Bukankah temanmu kerja di simpang jalan kebanyakan sudah empu dan begawan ? ". Sambung Sang Guru.  

Mas Bejo mendengar tutur Sang Guru, jadi ingat guru spiritual yang selama ini mengajak dirinya mengelana berjalan menjauh dari jalan utama. "Belajar pencak silat itu tidak harus berkutat di padepokan terus-menerus mas, kematangan pribadi 'seorang pendekat tahan uji' mesti ditempa seperti seonggok besi agar menjadi samurai yang perkasa". Tak heran ada banyak teman yang berseloroh tetaplah berjalan menyamping, tidak ada istilah 'titik balik' karena kamu sudah berjalan di jalan yang benar menuju pada titik yang sama dengan jalan utama hanya yang beda adalah alur jalan dan tantangannya. Yang diperlukan adalah konsekuen untuk menyisihkan energi, waktu, kefokusan dan konsistensi bekerja dengan program dan target yang jelas dan terukur.      

Guru yang lain juga tidak jauh berbeda menyemangati, malah mencontohkan dirinya yang 'keempuannya' dicapai dengan menjalani banyak pekerjaan sampingan. Katanya, bahwa jalan menjadi empu antara satu orang dengan orang yang lain adalah tidak sama, masing-masing tentu mempunyai pembelajaran yang berbeda, dari yang mudah-mudah hingga yang sulit-sulit. Tidak sedikit dalam proses olah keempuan kemudian mengalami depresi, strees bahkan harus bersakit-sakit hingga ada yang dibayar dengan nyawa. Jadi nikmati saja, jalani dengan kepasrahan dan selalu berdoa. Menimbang itu semua mas Bejo seperti mendapat amunisi, dia bangkit dari 'ndeprok-nya' hatinya tidak lagi gundah gulana, kini ia mulai ada semangat untuk terus berjalan dan bahkan kalau perlu berlari-lari.

Malamnya mas Bejo, matanya berbinar bahkan tidak sedikitpun mengantuk.....pas di tengah malam ia tulis sebait puisi..........

malam begitu sempurna 
seperti jemari waktu pikiranku mengelana
jauh menembus batas doa
seperti.......meladeni pertanyaan demi pertanyaan 
yang tereja hasrat
saat sujud 
padaMU
....................
malam begitu sempurna
tak terasa mata ini
basah
....................
ya Allah, sungguh aku tak berdaya tanpa kekuatanMU
sungguh aku miskin tanpa rizkiMU
sunggu aku malas tanpa semangatMU
sungguh aku bodoh tanpa ilmuMU
: Ya Allah......
  jagalah sehatku, barokahi rezkiku, mudahkan 
  urusanku
  aminnnn......

Minggu, 17 Februari 2013

KESEDIHAN


Seorang teman lama bersungut menghampiriku, wajahnya mendung, tinggal sejumput hujan air mata terasa akan tumpah ruah di wajahnya. Aku hapal betul dengan tabiat karib yang satu ini, dalam benakku bertanya tanya ‘kesedihan apa lagi yang menimpa dirinya ?’. Benar saja, gelegar tangis dan derai air mata tak lama meledak. Kalau sudah demikian tidak ada lagi obat apapun yang mampu menghentikannya, tidak ada cara apapun yang mampu meredakan. Solusinya hanya sabar menunggunya dan diam menemaninya, sampai hujan itu menjadi gerimis dan akan terhenti dengan sendirinya. Dari tutur bicaranya yang terbata-bata, sang karib bertutur bahwa ia baru ditipu habis-habisan oleh sindikat penipu telepon hingga tabungannya terkuras habis tinggal tersisa beberapa puluh ribu saja, katanya uang yang terkuras berkisar 58 jutaan rupiah.

Aku bisa memahami, kesedihan yang dirasakan sohib lamaku. Uang tabungan yang habis ludes adalah uang hasil menyisikan belanja bulannya dan penghasilan lain diluar gajinya selama sepuluh tahun ia kerja. Padahal tahun ini ia harus menyediakan uang sekolah anaknya yang masuk SMA dan SMP. Ia sadar. walau pemerintah telah membebaskan biaya sekolah, pada kenyataannya uang pungutan atas nama pembangunan dan lain-lain masih tetap ada. Siapa kiranya yang bisa hidup tanpa uang di jaman seperti ini, semua serba membutuhkan uang. Sangat jarang hal gratis di jaman ini, kalau toh ada yang memberi gratis banyak orang yang menyarankan perlu waspada, jangan-jangan ada ‘udang di balik batu’. Jadi sangat layak siapapun merasa sedih karena kehilangan uang.

Berkaitan dengan masalah kesedihan, Guru lakuku pernah berbicara, ada tiga hal dalam hidup yang sering menjadi penyebab dan layak menjadi alasan kita bersedih. Pertama yaitu kehilangan harta, salah satu contoh seperti yang dialami sang teman yang kehilangan uang karena ditipu seperti tuturan di atas; kedua yaitu kehilangan teman dan orang-orang tercinta; dan ketiga kehilangan kepercayaan.  
        
Kehilangan teman dan orang-orang tercinta sangat rasional menjadikan orang merasa sedih, karena teman dan orang-orang tercinta adalah hal yang menjadikan hidup kita lebih berarti, hidup kita lebih hidup. Tanpa mereka kita kesepian, hidup tidak lagi indah karena dari mereka kita bisa merasakan kehangatan bercengkerama, saling menghargai, berbagi apa saja, serta mengingatkan ketika kita keliru dan salah, melindungi ketika kita lemah. Maka dari itu menjadi teman, atau menjadi orang tercinta bagi orang lain adalah merupakan anugerah dan harus kita berlaku hormat untuk menjaganya, pun demikian juga ketika kita memiliki teman dan orang-orang tercinta harus pula mampu mengelola.

Kehilangan kepercayaan lebih menyedihkan lagi, karena keberadaan kita, menjadi ada dan merasa ada harganya ketika orang mempercayai kita. Manakala orang-orang di sekitar kita tidak mempercayai kita, itu berarti keberadaan kita di mata mereka berada pada titik yang sangat memrihatinkan. Interaksi korporasi, kerjasama, kemitraan, bisnis, menjadi buntu, mandeg, dan akan lahir dampak karambol yang sangat negatif melahirkan ‘mentalitas dan sosok frustatif’. Di negara matahari Jepang bahkan orang yang tidak dipercaya lagi oleh orang-orang di sekitarnya mendorong sikap ‘lebih baik bunuh diri’ dari pada hidup tidak ada gunanya bagi orang lain terutama orang-orang yang sebelumnya mempercayainya dan ia juga percaya. Maka dari itu, dalam Islam kepercayaan adalah amanah yang harus dijaga dan diaktualisasikan sesuai dengan hak dan tanggung jawab yang diembannya.    

Dalam pikiranku sepertinya masih banyak hal yang bisa menyebabkan kesedihan, semestinya orang harus merasa sedih ketika kehilangan rasa, kehilangan semangat, kehilangan jati diri, harapan tidak tercapai dan lain sejenisnya. Karena kesedihan itu juga sangat relatif dan subyektif pada yang merasakannya, sehingga ‘besaran stimulus’ untuk bersedih antara orang satu dengan orang lainnya juga tidak sama. Yang jelas, jika kita sedang bersedih janganlah pilih untuk dirasakan sendiri. Ingatlah, bahwa berbagi dengan orang yang terpercaya adalah hal penting yang perlu kita lakukan. 

Sabtu, 29 September 2012

MERASA


Seorang istri berkata pada suaminya bahwa alat-alat perkakas yang baru digunakan diminta dikembalikan pada tempatnya. Sang suami yang rupanya lagi istirahat dari kerja ‘utak-atik’ alat yang juga merupakan reaksi dari keluhan istrinya, hanya merespon dengan anggukan kecil dan matanya tetap asyik menyaksikan berita petang TV yang menjadi kegemarannya. Entah mengapa sang istri masih ‘menggerutu’ entah omong apa yang kedengaran samar-samar sama suaminya. Suaminya yang sesungguhnya tengah asyik menonton hiburan satu-satunya karena jarang ke luar rumah, merasa tidak enak dan beranjak mencoba membenahi peralatan yang masih tercecer.  Ketika dia membenahi, sang suami melihat berkas-berkas istrinya berceceran, kursi rumah yang tidak tertata rapi dan kotor, di kamar terlihat baju-baju teronggok tidak karuan, tiba-tiba ‘merasa’ diingatkan bahwa istrinya juga tidak benar atau ‘jarkoni’ bahkan lebih parah lagi kondisinya. Muncullah protes dalam dirinya, ‘kenapa ia tidak ngomel perihal kekurangan istrinya juga ? Sebagai suami juga ia punya hak meminta bagaimana tugas istri semestinya’.
  
Kesadaran itu, entah mengapa bahkan melahirkan kesadaran baru yang lebih besar dan irama protes itu kian mengalir dalam diri sang suami. Ia ‘merasa istrinya’lah yang sesungguhnya lebih parah, sesungguhnya kalau tadi ‘tidak tersulut’, sebagai suami ia sadar dan mengerti bahwa istrinya adalah wanita karir, jadi tidak bisa diharapkan menjadi istri yang relatif sebagaimana umumnya seorang istri, ada kemandirian yang besar, separuh waktu tidak ada di rumah, sering jam 8 pagi harus berangkat kantor dan umumnya pulang jam 5 sore, pulang kantor yang sering dicari koran (bila pagi tidak sempat membaca) lalu berbaringan di kamar dan atau sambil sesekali berkomunikasi dengan anak-anak tetapi sering nadanya berupa ‘perintah dan komunikasi bernada tegang’ ’, misalnya saja: ‘mandi !!!’, ‘hayo belajar ’, ‘lewat maghrib tidak boleh nonton TV’, ‘kamu kenapa kemarin pulang malam’, ‘udah jangan main melulu’, ‘jangan tanya, baca dulu bukunya’ dan seterusnya. Anak-anak tak disangka jadi terasa lebih berani membantah atau menanggapi dengan nada tinggi kepada ibunya ketika bicara. Sang istri menjadi harus minta campur tangan suami ketika tidak bisa mengatasi, bukan tidak intropeksi bagaimana cara pendekatan dan perhatian yang lebih pada mereka. Kalau diingatkan atau disalahkan yang terjadi menyalahkan kembali dan sering anak menjadi sasaran perintah ini itu. Bagi sang suami, istri adalah ibu dari anak-anaknya, ibu adalah kunci, doa dan jalan pembentukan pribadi dan kesuksesan bagi anak-anak, maka sebaiknya ia punya waktu banyak untuk mereka. Bayangkan kalau biasanya istrinya tidur jam 9-10 malam, coba hitung waktu efektif untuk komunikasi positif pada anak ? 

Pada sisi lain, sang istri ‘merasa’ bahwa ia telah bekerja banting tulang ikut menafkahi rumah tangga, mana cukup mengandalkan gaji suaminya saja, jadi jangan salahkan waktu saya tersita untuk kerjaan kantor, urusan rumah kan sudah saya serahkan pembantu yang ngurus, urusan anak dan yang kurang termasuk menyangkut rumah ya tanggung jawab bersama, komunikasi dengan anak-anak dan suami baik kan lewat hp juga bisa sekarang, soal yang kurang misal sering tidak ada sarapan pagi di rumah, pulang sore, rumah yang dianggap kurang rapi ‘ya jangan dibebankan ke saya saja’.  Suami saya kan juga sering ke luar kota, itu juga yang harus menjadi instropeksinya, kadang ia tidak tahu perkembangan anak-anak, sering lupa hari-hari yang penting untuk keluarga, perhatian ke saya juga kurang, terus rumah seperti ini kan melelahkan mengurusnya, anak-anak ditugasi untuk urusan rumah sering lupa dan harus selalu diingatkan, kadang capai kita. 

Dua belah pihak, istri dan suami ‘merasa’ telah melakukan hal yang benar menurut mereka masing-masing. Dari kacamata masing-masing tentu itu benar, karena mereka menilai dengan ukurannya sendiri-sendiri. Memang ‘merasa’ kata guru spiritualku adalah merupakan penyakit yang harus kita hindari, karena ‘merasa’ adalah suatu keadaan sepihak yang sesungguhnya semu dan bukan keadaan yang sesungguhnya terutama dinilai dari keadaan komunal mereka. Kalau ukuran tentang pribadi maka tata nilai yang menjadi ukuran adalah ‘personal’ tetapi kalau menyangkut ‘pasangan’, ‘keluarga’, ‘kelompok’, ‘masyarakat’ maka ukurannya tidak bisa lagi personal tetapi berlakukah ‘norma umum’ yang berlalu di komunal tersebut. Terjadinya perselisihan, perceraian, perpecahan kelompok paling banyak terjadi karena penyakit subyektivitas personal yang ‘merasa’ paling benar atau paling lainnya. Tanpa saling memahami masing-masing peran, kesukaan, harapan, kelemahan, kebencian, kesepakatan, komitmen pada pasangan, keluarga atau kelompok maka harmonisasi tidak akan kita dapatkan. 

Klaim 'merasa' ini tidak saja terjadi dalam keluarga, di organisasi juga bisa terjadi, seseorang anggoto atau pengurus sering merasa paling berperan, berjasa dalam pengembangan organisasi. Untuk menyehatkan hubungan sebaiknya bisa berperan secara riil, bukan merasa, Seorang guru laku lain menyarankan agar kita 'rendah diri', mau mendengar koreksi dari orang lain, lalu belajar secara jernih mawas diri yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan ikhlas. Iklas menjadi kunci, karena orang yang ikhlas sesungguhnya adalah orang yang sayang pada jiwa dan tubuhnya, sebab itu berlaku ikhlas pada dasarnya menyehatkan. Ketika kita masih mementingkan diri sendiri lebih banyak dan memaksa orang lain menuruti kemauan kita, maka sesungguhnya ‘kita belum ikhlas berkesadaran dan berkesabaran’, kita masih memilih peluang menyakiti diri kita dan keluarga kita. Ikhlas juga bermakna siap berbagi hak dan kewajiban, tidak terus-menerus menyalahkan orang lain, tetapi mau berupaya menggali kesalahan diri sendiri dan gentlemen mau memperbaikinya. Intropeksi itu penting. Semisal dalam keluarga terjadi seorang suami yang sepenuhnya sudah menyerahkan gajinya pada istrinya, sewajarnya sang istri mencoba amanah pada kepercayaan itu, termasuk menyediakan sarapan pagi yang diperlukan segenap anggota keluarga. Jangan sampai sang suami terus menerus bersabar, atau terpaksa mencari-cari sarapan dengan cara yang lain yang bisa menyinggung atau menyakitkan. Masing-masing harus saling ikhlas mengisi, jangan mempermasalahkan kesalahan kecil yang tidak perlu, sebab hal itu bisa menjadi pemicu ‘tumpahan’ permasalahan yang lebih besar. Berbahaya !!!!!!

Kamis, 06 September 2012

'GOYANG JURNAL' INUL



Hari ini Kamis 6 September sampai nanti hari Sabtu 8 September 2012 saya berada di Grand Palace Malang mencoba ngecas semangat tentang bagaimana kita memiliki kemampuan menulis jurnal dengan benar. Para pendekar penulisan jurnal menyampaikan jurus-jurus ampuh bagaimana memulai penulisan jurnal. Hal awal penting yang tidak boleh dilupakan ketika akan memulai menulis jurnal adalah dengan mengawalinya melakukan evaluasi diri.  Evaluasi diri dimaksudkan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan diri kita sebagai ilmuwan serta penelitian-penelitian kita. Ketahui berapa besar ‘delta’ sumbangan simpulan kegiatan penelitian kita bagi khazanah ilmu pengetahuan. Ketahui seberapa besar makna temuan, capaian.  substansi  hasil penelitian yang kita lakukan. Hal itu penting  sebagai pijakan bagaimana kita membahasakan hasil penelitian kita di jurnal yang akan kita pilih secara tepat sasaran dan benar.

Wow….saya sadar, selama ini saya tidak begitu serius evaluasi diri, atau tidak pernah memulai dengan cara ‘evaluasi diri’. Evaluasi diri akan menggiring kita terjauh dari penyakit ‘produk tulisan’ jurnal yang asal-asalan.  Akan terbangun kesadaran positif, betapa pentingnya kita memahami posisi/ peran kita dalam kronstruksi besar keilmuan kita. Akan menyadarkan pentingnya  ‘etika, unggah-ungguh, dan strategi menulis jurnal.  Setidaknya agar tidak terjebak pada tindakan culas ‘ilmiah’, misalnya mereka-reka atau mengubah-ubah data (falsifikasi), mengarang atau membuat data penelitian untuk simpulan yang kita inginkan (fabrikasi), atau mengakui penelitian orang lain menjadi penelitian dirinya sendiri (plagiasi).  Evaluasi diri penting juga  untuk membantu mengarahkan kita agar kita bisa ‘menempatkan diri’ kita pada komunitas keilmuan kita, ‘wadah jurnal’ yang akan kita pilih, termasuk berkesadaran untuk berkemauan mengikuti ‘gaya selingkung’ jurnal  yang beda satu dengan yang lain, karena penulis yang baik tentu tidak akan  berkontribusi hanya pada satu jurnal saja.

Kata guru-guru laku senior yang menjadi nara sumber pada kegiatan itu, bahwa hal umum yang sering mengurangi kredibilitas penulis adalah tindakan ‘plagiarisme’, yaitu mengambil kata-kata atau kalimat atau teks orang lain tanpa memberikan acknowledgment (dalam bentuk sitasi) yang secukupnya.  Plagiarisme adalah penganiayaan intelektual, karena hal ‘karya orang’ lain yang selayaknya kita hargai justru mereka lakukan perampokan atau penyulikan atas ‘buah pikiran’ mereka dengan klaim karya dirinya. Plagiarisme juga bisa terjadi tidak menyangkut kekaryaan orang lain, tetapi menyangkut pencurian ilmiah pada dirinya sendiri, orang menyebut sebagai ‘self plagiarisme’. Keculasan ilmiah pada dirinya sendiri ini dicirikan dengan adanya tindakan publikasi berulang karya dirinya yang sesungguhnya sama, akan lebih parah kalau itu dilakukan atas dasar oreintasi kredit poin.

Di dunia maya sekarang ini sedang dihebohkan atas munculnya ‘semacam’ tindakan pelecehan jurnal ilmiah akibat munculnya ‘karya ilmiah’ dengan autor guyonan mencatut nama penyanyi dangdut tenar Inul Daratista dan penyanyi seksi Agnes Monika di African Journal of Agricultural Research vol 7 (28) terbitan bulan Juli 2012 berjudul ‘Mapping Indonesian paddy fields using multipletemporal satellite imagery’.  Pencatutnya juga tidak jelas, karena menggunakan nama samara ‘Nono Lee’ beralamat Institute of Dangdut, Jalan Tersesat No.100. Jakarta. 10000. Indonesia.  Komunitas jurnal, beberapa Koran, blogger, peneliti menjadi heboh, mereka berkomentar atas pandangan masing-masing terhadap tohokan tersebut. Ada yang menyalahkan pihak jurnal yang memuat karena dianggap ceroboh. Ada yang menganggap ini kritik terhadap ‘dunia kejurnalan’ nasional dan internasional.  Ada yang menganggap hal tersebut sebagai bentuk pelecehan ilmiah. Di sisi lain suka tidak suka Inul dan Agnes namanya kembali jadi pembicaraan, kemudian African Journal situsnya banyak dikunjungi.

Guru spiritualku berpendapat bahwa fenomena yang digambarkan di atas sepertinya bukan merupakan tindakan sederhana seseorang, tetapi bisa juga merupakan tindakan orang-orang yang sedang ‘protes’ terhadap kebijakkan pemerintah yang ‘nyata menilai lebih tinggi’ publikasi internasional’ dibanding publikasi nasional.  Apa yang dilakukan Nono Lee ini,  ternyata bukan yang pertama karena ia telah melakukan hal serupa pada bulan Juni, juga ada kesan’ meledek’, tetapi tidak heboh karena pada penerbitan pertama tidak mencatut nama populis. Mungkin Nono Lee ingin mengingatkan bahwa ‘pubikasi internasional’ bukan satu-satunya jalan keluar menumbuhkan ‘standing academic’. Publikasi nasional juga harus diberi peran yang besar, diapresiasi dan tumbuhkan secara konstruktif.  Guliran kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang merekomendasikan ’publikasi internasional’ menjadi syarat bagi kelulusan mahasiswa pascasarjana di Indonesia. Ada orang bicara bahwa masyarakat perguruan tinggi kita belum siap. Dikawatirkan kebijakkan tersebut justru akan mempersulit kelulusan atau terjadi pemudahan atas fasilitas jurnal internasional ‘abal-abal’ yang sangat mungkin dikelola oleh ‘petualang ilmiah’ yang melihat bahwa pengelolaan ‘kejurnalan internasional’ memiliki peluang ekonomi yang prospektif, karena penduduk Indonesia yang besar dan masih banyak tidak malu menempuh jalan instan. 

Jumat, 08 Juni 2012

RAKUS

Bincang-bincang tentang nasib bangsa, terbersit aneka permasalahan. Ada permasalahan kemiskinan, permasalahan pengangguran, permasalahan korupsi, permasalahan kekerasan, permasalahan pelanggaran hak asasi, permasalahan hukum, permasalahan kinerja anggota dewan, permasalahan banjir, sengketa lahan dan masih banyak lagi permasalahan bangsa ini. Permasalah-permasalahan di atas kalau kita telusuri dan kita cermati akar masalahnya bertumpu pada 'sikap rakus' sebagian bangsa ini, bukan seluruh bangsa, tetapi walau sebagaian kecil mereka yang rakus ini demikian dominan sehingga mampu membungkam hal-hal yang semestinya 'terang benderang'.


Bumi bangsa yang siapapun tentu mengakui gemah ripah loh jinawinya, carut marut dieksploitasi bukan untuk sepenuhnya demi kemakmuran rakyat Indonesia tetapi bergeser dari UUD 1945 menjadi demi kemakmuran segelintir orang. Karena itu, tidak heran kemudian semua potensi alam negara bangsa ini sebagian besar berpindah tangan penelolaannya ke pihak asing, dan tentu sebagian besar keuntungan akan terdistribusi ke pihak asing yang sebesar-besarnya dan hanya sedikit yang berkucur ke masyarakat Indonesiua. Free Port di Timika Papua jelas-jelas produktivitas emas dan logam-logam tambang lainnya mengalir ke Amerika, penulis saksikan sendiri masyarakat di sekitarnya jauh dari sentuhan kesejahteraan, bahkan mereka seperti dibiarkan dalam kemiskinan dan kebodohan. Di Kalimantan eksplorasi batu bara tanpa malu dan merasa bersalah meninggalkan permasalahan kerusakan lingkungan masyarakat  di sana, dan berpotensi bencana longsor dan banjir di kemudian hari setelah mereka menguras rupiah dan dollar di sama.


Tali temali kerakusan memungkinkan semua terjadi, satu pihak penambang yang rakus tidak peduli merusak lingkungan demi melegalkan aktivitasnya bermitra dengan para petualang tambang yang mengetahui betul dengan siapa mereka harus bermitra misalnya pejabat, penegak hukum, tetua adat,  keamanan, preman-preman yang juga rakus atau bisa diajak rakus. Kerakusan di sini adalah mengambil sebanyak-banyaknya tanpa peduli kebutuhan tersebut sesungguhnya telah mengambil hak orang lain. Akhirnya penambangan yang semestinya pada areal yang sempit bisa bertambah luas, yang semestinya legal jadi tidak legal, yang semestinya terkendali menjadi tidak terkendali. Kongkalikong tidak terjadi bidang pertambangan saja, tetapi di berbagai sektor dan bidang.


Kasus korupsi adalah gambaran nyata tindakan lain yang berlandasakan  sikap rakus. Mereka yang korup entah mengapa tidak puas dengan apa yang semestinya mereka terima berdasarkan hasil kerjanya. Bagi mereka yang sudah kerasukan sifat 'rakus', gajih seberapapun besarnya yang mereka terima masih akan terasa kurang dan mereka akan berbuat dengan berbagai cara dan upaya untuk mengambil lebih. Nalar positif yang biasanya mengajak untuk menghindari perilaku dan tindakan tidak baik sudah mati rasadan tidak kuat lagi membisiki sang rakus agar tersadarkan untuk berhenti mengambil secara berlebihan dengan cara yang tidak benar. Mereka yang sudah rakus sudah bebal terhadap ancaman-ancaman, hukuman, resiko dunia akherat; kadang bahkan mereka pikir semua bisa dibeli.


Kerakusan bisa dihindari, dicegah dan diperangi dengan puasa. Itulah, mengapa hampir semua agama dan kepercayaan selalu mengajarkan puasa. Puasa mengajarkan kepada kita merasakan bagaimana berada dalam situasi kelaparan, kesusahan, dan kemiskinan. Guruku spiritualku pernah berkata Apalah artinya mendapat banyak kalau hanya sedikit yang bisa kita nikmati. Harus kita sadari bahwa sudah memiliki batas asupan, kalau asupan kita berlebih maka ada konsekuensi bahwa pada sisi lain yang terkurangi. Dalam hidup ada hukum interdependensi, hukum saling berketergantungan, satu hal akan menjadi sebab dan penyebab keadaan yang lainnya. Hukum limitasi atau hukum keterbatasan, semua hal sudah ada ukurannya siapa mengambil lebih tentu ada implikasi ketika lebih. Semua bertemali menjalin satu dorongan energi, kalau kita positip akan positif tetapi kalau kita rakus maka hal negatif yang akan kita panen. Jadi menurutku, belajar berbagi itu memang sangat penting.