Minggu, 30 Januari 2011

LELAKI FLAMBOYAN


Tahu tanaman Flamboyan ? Saya yakin banyak teman yang tahu atau mengenal tanaman ini karena memang sangat popular, baik karena tanaman ini banyak ditanam untuk peneduh jalan maupun popular melalui ‘lagu’ yang mendayu biru. Flamboyan nama latinnya Delonix regia, tanaman ini dipilih penjajah Belanda sebagai pohon tepi jalan di negeri ini pada masa penjajahan karena tanaman ini memang pohonnya kokoh, tahan hidup, daun-buah-bunganya kecil sehingga tidak membahayakan pengguna jalan, juga bersifat teduh karena kanopi daunnya membentuk seperti payung, yang tidak kalah penting adalah kalau sedang berbunga menampakkan pemandangan yang indah. Banyak seniman lukis yang telah mengabadikan keindahan tanaman ini di kanvas mereka.

Ada minimal 3 sifat tanaman ini yang kemudian diadopsi untuk ‘personifikasi’ pada mereka yang bisa dibilang ‘flamboyan’ yaitu: kokoh, menarik, dan teduh. Demikian pula minimal ada kesan demikian terhadap seorang lelaki yang aku kenal di tempat tinggalku di Surabaya, sebut saja namannya Rosso. Lelaki ini adalah pensiunan pamong praja yang relatif kaya, bisa dilihat dari rumahnya yang besar dan tidak cuma satu, usahanya juga tidak cuma satu, suka beramal dan banyak orang tahu ia banyak membantu orang yang sedang kesusahan di lingkungannya. Tidak sulit mengetahui keflamboyanan lelaki ini di kampungnya karena banyak orang yang membicarakannya, mana kala ada 3-5 oarang berkumpul di sudut-sudut gang atau tempat cangkrukan maka sudah dapat dipastikan salah satu bahan pembicaraannya akan menyangkut lelaki ini.
Lelaki yang kokoh, menarik dan teduh macam tuan Rosso, seperti tanaman flamboyan ia enak dipandang, enak untuk bersandar di bawahnya, dan sudah pasti enak menjadi tempat berkeluh kesah, menjadi tempat bermanja, menjadi tempat berlindung. Jadi seperti menjadi kepastian di mana lelaki itu berada selalu menjadi kerumunan orang, terutama perempuan dan laki-laki 'pengekor'. Terlebih dalam fenomena kuatnya problematika ekonomi dan tuntutan menjadi ‘masyarakat yang gaul’ sering menggiring perempuan-perempuan muda melakukan pendekatan yang melebihi batas kewajaran. Bagi orang yang memperhatikan hal seperti itu nampai mulai terjadi pada Tuan Rosso dan sudah menjadi pergunjingan, herannya yang bersangkutan tidak gerah, tidak sungkan, baginya yang penting ikhlas dan tidak terpancing melakukan hal buruk. Tuan Rosso sudah kenyang di waktu muda, menurut cerita orang yang sangat dipercaya, tuan Rosso bahkan saking ‘ngedon juannya', dulu pernah mempunyai perempuan muda yang jadi kekasih simpanan, dan rahasia itu tersimpan rapi hingga istrinya yang setia di rumah tidak pernah mengetahuinya. Tapi kini di usianya yang kepala 6 hal seperti itu sudah ditinggalkannya, kini ia lebih banyak memilih suka peduli dan membantu siapa saja yang mengalami kesusahan.

Kelihatannya susah bagi seseorang untuk menjadi ‘baik’ dengan latar belakang masa lalunya yang buruk, kenyataan orang sering tetap saja banyak tidak percaya. Banyak orang meragukan kebaikannya, menurut mereka itu hanya mencari muka, gila hormat. Hal itu makin dibenarkan karena kebetulan kebaikan apapun yang Tuan Rosso lakukan pada orang lain selalu diceritakan di mana-mana pada siapa saja.

“Mestinya kalau ikhlas berbuat baik, nggak usahlah cerita apa yang telah dilakukan. Kata ustadz kalau member pakai tangan kanan maka tangan kiri jangan sampai tahu. “ kata tukang Baso.
“Itu kan hanya omongan di mulut saja, di depan kita santun, kenyataan kalau di belakang kita sangat terbuka untuk berbuat apa saja. Soal perempuan, sangat mungkin, sangat mudah dengan uang dan fasilitas yang dia punya untuk …….” kata seseorang sambil memperagakan tangannya.
“ Lelaki mana yang tidak tergiur perempuan-perempuan cantik yang selalu mendekatinya ?” timpal yang lain.
“Tapi lelaki seusia dia paling sudah loyo, apalagi denger-denger temannya diabetes, “ sahut yang lainnya dengan timpalan yang berbeda.

Apa memang sebaiknya ketika orang mau merubah diri harus benar-benar meninggalkan dunia masa lalunya. Apakah tidak mungkin kalau tetap di situ dan melakukan kebaikan-kebaikan agar orang-orang lain yang potensial salah jalan bisa menjadi kembali ke jalan semestinya dan tidak salah jalan. Rasanya mungkin saja, dan sesungguhnya mungkin itulah idealnya. Tetapi harus diakui hal itu sulit dilakukan, kata guru spiritualku bahwa mengajak orang untuk melakukan kebaikan di masjid, gereja, biara tentu lebih mudah karena hampir kebanyakan orang yang ke tempat suci itu tentu sudah mempunyai niat yang relative baik. Sesungguhnya orang yang mampu berdakwah mengajak berbuat kebaikan di tempat maksiat, di jalanan, di perjudian adalah orang berdakwah yang sesungguhnya. Lelaki flamboyant yang aku kenal, pernah berujar bahwa ia memang menentang arus pemikiran orang, biarlah orang lain menganggapnya masih seperti dulu, yang penting ia yakin telah berubah tidak seperti dulu.
Hikmah lelaki flamboyan yang aku temui di kediamanku tercetus pada pemikiran Conficius. Ia mengatakan: 'Kakau anda bertemu dengan seseorang yang lebih baik dari anda, arahkan pikiran untuk menjadi serupa dengan dia. Jika anda bertemu seseorang yang kurang baik dibanding anda, lihat ke dalam hati dan periksalah diri sendiri'. Kebanyakan orang berpikir untuk mengubah fenomena yang ada disekelilingnya, mengubah dunia. Sedikit orang yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri. Ubahlah diri kita dengan kesadaran bahwa Tuhan telah menghadiahkan kita 86.400 detik setiap hari, selayaknya sebagian hadiah waktu itu kita gunakan untuk 'berbagi' sesama dan untuk berterima kasih padaNYA.

Senin, 10 Januari 2011

TETES KEPEDULIAN


Sungguh menyedihkan!!!! Membaca diberbagai media tentang berita meninggalnya enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, yang diduga akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon yang terpaksa dikonsumsinya lantaran alasan ekonomi. Rasanya siapapun tentu akan trenyuh merespon berita itu, berarti begitulah realita protret kemiskinan di negeri ini. Kata teman yang menggeluti bidang social, hal itu sesungguhnya baru merupakan hal yang nampak, fenomena sesungguhnya akan bisa mengungkap kondisi yang lebih buruk kalau tidak ditutup-tutupi. Masyarakat yang penghasilannya di bawah penghasilan keluarga korban (konon 150 ribu – 250 ribu per pekan) jelas masih banyak dan memiliki potensi memenuhi kebutuhan pangan seadanya berupa pangan alternative karena terpaksa.

Sangat ironis bila kita renung dan komparasikan antara kemiskinan dengan aktivitas hura-hura, pesta, kegembiraan yang baru kita lakukan dalam memperingati pergantian tahun baru. Pada satu sisi ada orang-orang yang kelaparan, disisi yang lain ada sebagian besar masyarakat kita yang dengan mudahnya mengeluarkan jutaan rupiah uangnya untuk dibuang melalui pembakaran kembang api dan petasan, ada juga pesta minuman keras, menyediakan aneka makanan yang berlebihan. Belum lagi kalau kita ingat tentang dana negara yang diselewengkan oknum atau simdikat melalui kasus-kasus bank, penggelapan pajak, biaya politik, mark-up proyek, korupsi, kontrak pertambangan, gaji / insentif buta anggota dewan, gratifikasi dan lain-lainnya. Semua itu membangun jurang pemisah antara sedikit kelompok masyarakat yang kaya raya dan memperlebar penyakit social mnasyarakat, semacam kemiskinan, pengangguran, prostitusi, premanisme, amoralitas, disharmoni masyarakat dan keluarga dan lain-lain.

Mudah-mudahan kejadian itu membuka mata pemerintahan SBY bahwa kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan, masih jauh dari keberhasilan yang diklaim pemerintah selama ini, kemiskinan masih menjadi musuh besar bangsa ini. Komitmen dan konsistensi mengurai dan mengatasi akar masalah kemiskinan harus ditegadkan kembali menjadi prioritas kerja bangsa dan Negara ini. Proses pemiskinan para koruptor adalah upaya yang cerdas atas gagasan ketua MK, tetapi akan lebih cerdas kalau program itu ditambah atau merupakan kesatuan dengan program ‘mengayakan yang termiskinkan’. Dana hasil korupsi para koruptor yang berhasil dimiskinkan jangan sampai menguap tak berbekas, atau beralih tangan dengan banyak asumsi dan alas an yang sengaja dan mudah dibuat. Tetapi dana itu bisa menjadi modal kerja membangun produktivitas strategis yang mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Semua bertumpu pada bagaimana dan siapa yang mampu memulai untuk mempercantik ‘wajah moralitas bangsa ini’.

Sambil menunggu lahirnya pemerintahan yang berani, yang tidak terganjal oleh tarik ulur koalisi politik yang dibangun, yang mudah-mudahan bisa bersih dan bermoral, yang menjunjung tinggi hukum, yang selalu memihak kepentingan rakyat. Mari kita sebagai warga negara, warga masyarakat untuk mempertajam pengliatan kita, pendengaran kita, mencermati keluarga, tetangga dari yang dekat hingga yang jauh, kita harus trenyuh pada tragedi ‘kemiskinan’ dan ’pemiskinan’ yang masih banyak terjadi di sekitar kita, lalu mulai dan menjadi peduli mana kala kita bisa berbuat karena ada sedikit kelebihan dan kemampuan. Perhatian kita, sebagai ‘tetes kepedualian’ sesama, lambat laun pada tatanan yang lebih luas l akan terakumulasi menjadi segelas kepedulian yang menyejukan. “Tetap kita harus membangun semangat berbagi”, kata Guru Spiritualku.
(Modifikasi dikit dari www.alumni-unsoed-jatim.blogspot.com)

Sabtu, 01 Januari 2011

MOMENTUM PERUBAHAN


Hitungan waktu dimulainya tahun baru kian terasa, bukan lagi hitungtan detik tetapi kini sudah dalam hitungan jam, hari, bahkan bisa jadi pada saat anda baca tulisan ini kita sudah beberapa hari berada di tahun 2011. Sepertinya perayaan pergeseran tahun baru masih terasa di mana-mana diwarnai oleh suasana pesta, hura-hura, kumpul-kumpul, pawai kendaraan, teriakan-teriakan, bunyi-bunyian terompet, petasan, nyala kembang api, lampu hias dan lain sebagainya ungkapan suka-ria. Tetapi ada juga sebagian masyarakat yang tidak bisa menikmati perayaan itu, mereka tidak bergeming dengan keistemewaan tahun baru, bagi mereka pergeseran waktu sebagai hal biasa, hal yang sama saja dengan hari yang lainnya dan mereka harus tetap mengisi dengan aktivitas rutin mereka, kerja dan kerja serta harus siap menghadapi problema demi problema masyarakat miskin di kota.

Sesungguhnya fenomena pergeseran waktu saat kapanpun itu rasanya sama saja, setiap detik pergeseran waktu ada pergeseran kesempatan dan umur, kesempatan dan umur kita berkurang, Pada pergeseran itu seloalu ada hal yang kita tinggalkan dan kita sebut sebagai masa salu, dan ada saat di mana kita ‘eksis’ adalah masa kini yang nyata kita sedang jalani, serta masa yang akan kita hadapi yang kita sebut ‘masa depan’. Hitungan satu tahun sebagai jeda waktu yang umurnya 12 bulan atau 365/6 hari memang btelah menjadi ukuran manusia dalam banyak hal, misalnya: umur, masa pertumbuhan, kerja, anggaran, program dan lain-lain. Sehingga pergeseran tahun sering menjadi ajang evaluasi, ungkapan kegembiraan, pesta, termasuk kegiatan hura-hura.

Bagi orang tertentu pergeseran tahun sering juga dijadikan ajang kontemplatif, perenungan diri untuk melakukan evaluasi apa yang telah dilakukan, dicapai di tahun yang lalu dan kemudian menggagas apa yang akan dilakukan di tahun yang akan datang. Menimbang terhadap prestasi-prestasi kerja yang dicapai lalu mengkomparasiokan dengan kegagalan, masalah yang tidak dapat teratasi, lalu mengurai sebab dan kemungkinan solusi ke depannya adalah model ‘pesta’ diri yang baik. Masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang adalah satu jalinan hidup yang tidak terpisahkan. Sesungguhnya masa lalu yang telah kita jalani adalah hadir untuk hidup masa kini dan masa datang yang lebih baik.

Guru spiritualku selalu mengajarkan kepadaku untuk memandang positif terhadap semua hal, termasuk kepada momentum pergeseran tahun. Pergeseran waktu adalah hal yang paling konsisten yang me3nyertai hidup, waktu berjalan tidak pernah terlambat dan tidak pernah lebih cepat. Ia bergerak dari detik ke detik dengan konsisten, ia tidak pernah terbujuk oleh tangis, rayuan, harta benda agar ia bergeser dari konsistensinya, baik untuk percepatan atau perlambatan. Waktu yang telah berlalu jelas telah banyak member pengalaman, pembelajaran, nasehat untuk seseorang bisa memperbaiki kehidupannya di masa kini dan masa yang akan datang. Asalkan mereka sadar akan kuncinya yaitu mau menjadikan masa lalu sebagai guru, dan hati kita terbuka untuk menyadari kekeliruan dan mau melahirkan semangat perubahan kea rah yang lebih baik.


Semangat berubah itu penting agar kehidupan di waktu yang akan datang menjadi lebih baik capaiannya di banding tahun yang lalu. Untuk berubah, mulailah dengan perubahan yang sederhana dan mudah dilakukan, minimal dana, misalnya: permudahlah kita untuk tersenyum, mau untuk berbagi dan bekerjasama dengan orang lain, tingkatkan solidaritas, belajar untuk menepati janji dan tidak mengecewakan orang lain, konsisten pada pikiran, kata-kata dan perbuatan, selalulah hidup sehat, tingkatkan daya usaha, teruslah berdoa dan beribadah, serta berusahalah untuk bersyukur. Dalam dunia kerja, senangilah pekerjaan, rubah semangat kerja, pola kerja, dari yang sebelumnya tidak terukur, tidak terevaluasi menjadi terukur dan terevaluasi produktivitasnya.

Jadikan momentum pergeseran waktu tahun 2010-2011 ini menjadi ‘Golden Lining’, sebuah garis yang bagi fotografer sebagai garis cemerlang yang membingkai obyek yang kita biding, sehingga tepat posisi, tepat moment sehingga dapat menghasilkan karya foto yang cemerlang dan berkualitas. Golden Lining adalah bingkai positif yang menjadi niat kita untuk mengisi tahun baru 2011 dengan berbagai rencana positif, ibarat lukisan ‘sang pelukis’ siap dengan torehan warna hidup yang cemerlang, indah kaya warna dan sedap dipandang mata oleh siapapun yang melihatnya. Buat kita orang Islam, Golden Lining bisa menjadi koreksi doa kita harian yang selalu minta petunjuk jalan lurus yang Engkau ridhoi, dan bukan jalannya orang-orang yang Engkai murkai. Golden Lining adalah jalan lurus cemerlang bercahaya, jalan keselamatan. Selamat tahun baru 2011 saudara-saudaraku, mari kita perbaiki kekurangan kita, kita raih perubahan positif bersama dari yang kita bisa.

Sabtu, 25 Desember 2010

RINDU TAK TERBAYARKAN


Anakku perempuan tak mampu melambaikan tangan ketika peluit pengatur jalannya kereta berbunyi dan kereta mulai bergerak, lambaian tanganku tak dibalas, ia hanya menunduk dengan air mata bercucuran di pipi kecilnya. Istriku di sampaingnya tersenyum melambaikan tangan untukku, sambil menepuk pundak bahu gadis kecil itu yang mulai tumbuh dewasa. Aku tetap berdiri di depan peron stasiun memandang kereka yang mereka tumpangi makin menjauh dan menjauh kemudian benar-benar lenyap dari pandangan . Aku meninggalkan stasiun dengan perasaan yang tidak nyaman, berbagai pertanyaan bermunculan. Sejumput kemudian hpku berbunyi, pesan singkat dari anak gadisku: “ Papa, aku masih kangen……”, membaca pesan itu, aku kembali trenyuh.

Aku bisa mengerti perasaan anak perempuanku satu-satunya itu, dari kecil ia paling dekat denganku, tapi …..ya, semua anakku dekat denganku. Bagaimana tidak, ketika ditinggal mamanya tugas belajar hampir enam tahun aku tidak saja menjadi ayah mereka tetapi juga ibu mereka. Saat belakangan ini aku banyak tugas ke luar kota, walau sesungguhnya hal itu sudah biasa. Namun kali ini karena untuk suatu hal aku harus juga tinggal di Surabaya untuk beberapa waktu secara berturut-turut, maka praktis hampir satu bulan aku tidak ketemu mereka. Wajar kemudian lahir kerinduan. Sehingga habis ujian catur wulan, ia minta pada mamanya untuk mengantar dirinya ke Surabaya menemuiku. Tetapi karena volume kerja, tidak mungkin aku bisa berlama-lama memenuhi keinginan dia, waktuku hanya terbatas pagi hingga sore, dan itu baginya belumlah cukup mengobati kerinduannya. Maafkan anakku, tetapi kamu juga harus belajar , bahwa dalam hidup harapan tidak selalu bisa kita dapatkan sepenuhnya.

Kangen atau kerinduan adalah kejadian atau kondisi alamiah yang lumrah, bisa terjadi pada siapapun yang memiliki jalinan emosi, entah karena alasan cinta, kasih, suka, saling membutuhkan, saling menghargai, saling menghormati. Kerinduan adalah sebuah harapan atas penghargaan pada sesuatu hal, misalnya makna kehadiran seseorang, kedekatan seseorang, kebersamaan seseorang dengannya, tempat atau makanan istimewa yang pernah terasakan dan berkesan mendalam. Kerinduan merupakan kebutuhan hidup, kebutuhan yang perlu kita hargai dan perlu menjadi pertimbangan untuk kita memenuhinya. Jiwa yang diluluri perasaan kasih, cinta, suka, rasa menghargai, menghormati tidak mungkin mengingkari dan menyepelekan kerinduan.

Menyangkut problem ini Guru spiritualku berpendapat bahwa kerinduan adalah seperti gelas mengosong yang berharap untuk diisi, kalau tidak diisi akan terisi oleh butir keresahan. Kerinduan anak perempuanmu adalah kerinduan kehadiranmu yang selama ini dianggap bermakna, dekat dan memenuhi harapan dirinya. Ketika ia menangis, berarti gelas kosong itu belum cukup terisi dan butir keresahan mulai mengisinya lalu menjadi gejolak kesedihan, lalu tangis menjadi tak tertahankan karena kerinduan menjadi tak terbayarkan. Aku mengerti, kerinduan memang menggelisahkan, apalagi buat anak sekecil anakku, buat orang dewasa saja kerinduan yang memuncak bisa berujung pada pilihan hidup yang justru merusak. Kita mesti belajar bagaimana mengelola kerinduan, hingga ketika muncul ia justru bisa menjadi energi positif kehidupan kita.

Seorang teman melengkapi kegundahanku menyangkut kerinduan ini, dengan cerita tentang bagaimana penyikapannya terhadap problem kerinduan yang tak terbayarkan juga. Ia pernah berada pada kondisi puncak kerinduan pada seseorang yang sangat mempengaruhi kehidupannya dulu. Ia hanya merasa ingin menghargai, menurutnya kesuksesannya kini karena pengalaman masa lalu, karena orang-orang yang dekat dengannya dulu. Ia merindukan kabar atau pertemuan kalau mungkin bisa terjadi setelah puluhan tahun waktu memisahkan mereka. Ia mesara bertahun-tahun ruang kosong di hatinya yang selalu berharap bisa diisi. Doanya terkabul, ia mendapat kabar , lalu terjadilah sedikit komunikasi, dan ruang kosong di hatinya mulai terisi. Tetapi hal itu tidak berlanjut, tiba-tiba komunikasi putus sama sekali. Kegelisahan kembali menjalar, kerinduan membentuk ruang kosong lagi. Tempaan hidup, kedewasaan, kesabaran membimbingnya mengerti. Ia harus sadar, tidak boleh ia berharap banyak, ia sadar bahwa kerinduan tidak bisa diukur dari satu sisi. Mungkin saja bagi saya ia sangat istimewa, tapi siapa tahu buat dia saya biasa-biasa saja di hatinya. Rindu tak terbayar juga bisa terjadi karena situasi kerja, status ekonomi, status social, rasa malu, kecewa, tidak percaya diri, kesombongan, ego yang lebih yang memungkinkan tagihan kerinduan tidak terlunaskan. Kuncinya melawan kerinduan adalah: sabar, tetap kerja, terus nikmati saja hidup dengan rasa syukur.

(Maaf untuk anakku, kau,
teman Fabio 83 yang jadi ngumpul di PWT,
karena aku tidak bisa melunasi rindu)

Selasa, 21 Desember 2010

MENDEKATKAN YANG JAUH, MENJAUHKAN YANG DEKAT


Seorang teman smaku berbicara lewat telepon rumah bahwa hpnya sedang rusak, jadi minta maaf tidak bisa komunikasi lebih baik. Sementara hpnya lagi diservis, ia dipaksa puasa ‘fb, bbm, chatting’ untuk sementara waktu, entah berapa lama, kata tukang servis paling seminggu. Teman-teman se group yang denger problermnya, langsung mendorong sang teman dengan berbagai cara untuk tetap bisa bercengkrama ria di dunia maya secepatnya, yang seru ada langsung usul ‘buang aja bb itu lalu beli yang baru’. Katanya ia hampir tergelitik juga untuk membeli hp baru, tetapi kemudian urung ketika sang suami bicara: “ Jangan paksakan diri, mungkin ini kenyataan yang harus kau terima, kau harus istirahat, jeda dari jalinan modernitas yang menurutku banyak menghabiskan waktumu. Kau harus bisa gunakan waktumu tanpa ‘keasyikan jejaring maya’ untuk sedikit ‘intropeksi diri’ ”.

Intropeksi diri ? Sang teman kemudian bercerita. Ya, aku memang sering berdebat dengan suamiku semenjak aku aktif di jejaring maya. Tetapi aku selalu bisa berargumentasi hal-hal positif yang nyata-nyata aku peroleh, tanpa mengganggu karir kerjaku, karirku tetap bagus bahkan naik. Hal positif yang aku peroleh: banyak teman, banyak belajar kehidupan, bisnis kecil-kecilan lewat dunia maya jalan, tidak gaptek, bisa berbagi, silahturahmi bertambah. Kalau sudah aku jelaskan demikian, suamiku tidak bisa mendebat, tapi aku faham pilihan suamiku berbeda. Ia sangat bersahaja, ke mana-mana ia cukup bawa hp butut yang sangat jauh dari ‘up to date’, fungsinya hanya untuk telpon dan sms saja. Komunikasipun cenderung terbatas untuk aku dan anak-anakku, keluarganya dan kolega kantor. Sungguh aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya yang paling dalam……tentang jejaring maya.

Teknologi besar memang selalu demikian, hadir selalu memudahkan kehidupan sekaligus memanjakan manusia. Tenologi listrik dan lampu memudahkan manusia mendapatkan penerangan dan energi gerak tanpa harus bersusah payah. Tenologi aeronotik mampu menghadirkan produk dan system penerbangan yang memudahkan manusia bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain di dunia yang jaraknya ribuan kilometer dengan jarak tempuh yang cepat. Teknologi plastik mampu menghadirkan produk plastik beraneka ragam dan fungsi, mulai dari fungsi sederhana sebagai pembungkus hingga fungsi spektakuler sebagai pengganti alat tubuh atau perbaikan bagian tubuh manusia. Bioteknologi menghadirkan rekayasa genetik yang memudahkan manusia mengutak atik gen mahluk hidup untuk mengatasi problem penyakit, produktivitas, keamanan, pencemaran lingkungan dan lain-lain.

Teknologi sering diibaratkan sebagai pedang bermata dua, selalu hadir membawa dua kemungkinan pemanfaatan, yaitu kabaikan atau keburukan. Semua itu tergantung bagaimana manusia yang mengembangkan dan menggunakannya. Pengembangan teknologi dan pemanfaatan oleh orang-orang jahat dan tidak bertanggung jawab akan memberi dampak buruk kehidupan. Listrik pernah menjadi alat pembunuhan, pesawat ada yang digunakan sebagai alat perang dan membombardir manusia dari udara, bioteknologi digunakan sebagai senjata genosida yang merusak ketangguhan genetik manusia secara perlahan, teknologi kimia digunakan untuk mendapatkan senjata racun syaraf yang mematikan, teknologi atom digunakan untuk bom atom yang dasyat. Seringkali batas antara dampak positi dan negative begitu tipis, sehingga kita sulit membedakannya.

Ketipisan batas antara kemanfaatan positif dan kenegatifan teknologi dunia maya juga bisa kita rasakan, itupun tergantung bagaimana manusia mengembangkan dan memanfaatkannya serta dari mana kita memandangnya. Ketika teman yang bertutur di atas, harus berdebat dengan suaminya yang keluar sebagai jawaban mbela diri adalah hal-hal positifnya. Tetapi kalau kita lihat dari segi lain terjadinya penyalahgunaan teknologi dunia maya, misalnya: pornografi, hampir sudah menjadi rahasia umum banyak anak-anak di bawah umur yang semestinya belum waktunya mengenal ‘kegiatan orang dewasa’ diketahui banyak yang sudah melihat lewat internet, implikasi lain berupa penculikan gadis di bawah umur, prostitusi maya, pencemaran nama baik dan lain sebagainya. Belum lagi kalau kita cermati dari ‘waktu’ dan ‘produktivitas’. Anak-anak sekolah banyak yang tercuri waktu belajarnya gara-gara internet dan keasyikan canda di dunia maya. Canda yang sederhana, seperti: sapaan…., gumam, omong yang tiada juntrungnya, menggoda, merayu, bohong, berkelakar, membuat sensasi, dan lain-lain. Tanpa sadar itu dilakukan dengan mengorbankan waktu yang dapat digunakan untuk kegiatan produktif sebenarnya.

Ketika guru spiritualku saya ajak bicara tentang hal ini, ia berkata: ‘ Teknologi adalah hal yang selalu mengikuti perjalanan kehidupan manusia, teknologi selalu lahir, berkembang, berubah bersamaan dengan perubahan pikiran manusia. Karena itu manusia harus siap dan antisipatif terhadap buah pikirannya sendiri. Dunia maya yang tumbuh demikian pesat, sebagai buah pikir manusia, seringkali kalau dipikir panjang sesungguhnya telah menjadi candu buat ‘harkat’ kemanusiaan itu sendiri. Naif, bohong rasanya, ketika orang bersembunyi di balik alasan berkutat di depan kumputer atau bb adalah menambah silahturami melalui jejaring pertemanan. Kalau ia mau merenungkan, sesungguhnya ia sedang melakukan aktivitas ‘mendekatkan tali silahturahmi yang jauh, tapi dengan mengorbankan, menjauhkan atau merenggangkan tali silahturahmi yang sudah dekat’. Kini betapa banyak suami, istri, anak mencuri-curi waktu bercanda di dunia maya, saling tersenyum sendiri di sudut masing-masing, yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun, menghidupi, memperindah ‘harmoni keluarga’ mereka secara bersama. Kita memang harus sadar dan mulai berubah.


(Trims buat Ani & keluarga di Jkt)

Senin, 13 Desember 2010

BELAJAR IKHLAS


“ Kau ikhlas menerimaku apa adanya, sayang ? “ ucap seorang lelaki bersahaja, wajah pas-pasan, dan tidak begitu proporsional untuk ukuran badan dan wajah yang ideal, dibisikan di depan pelaminan pada telinga perempuan cantik yang baru dinikahinya. Sang perempuan tersenyum, mengangguk penuh arti sambil menggenggam jemari tangan suaminya. Tanpa kata-kata, dean tidak perlu ada kata-kata. Getaran yang bicara. Hati sang lelaki berbunga, dadanya mengembang, setiap udara yang dihirup ke dalamnya seperti energi yang mampu menggetarkan tiap sel tubuhnya. Rasa bangga tak terlukiskan, kegundahan menjadi luruh dan kini menjadi tenang dan bahagia.

Ikhlas ? Kata ini begitu menggelitik pikiranku. Apa sih gerangan yang dinamakan ikhlas, teman ? Kata orang yang aku kagumi, iklas itu tindakan tanpa harapan. Sementara kata Ustadz di kampungku, ikhlas itu berserah diri pada Allah, semua kita serahkan pada Allah. Intinya kalau kita gabungkan dua pendapat itu dan mungkin telah menjadi pendapat umum bahwa ikhlas itu berbuat tanpa harap timbale baliknya dan hanya karena Allah. Benarkah ikhlas itu tanpa harapan pribadi yang melakukannya ? Pertanyaan ini penting agar kita bisa memahami dimensi ikhlas yang lebih dalam, memang sih banyak orang tidak perduli apa pentingnya difinisi ? Kalau toh kita sulit merumuskan difinisi, ndak apa-apa, setidaknya proses bertanya menuntun kita pada pemahaman ‘simbul dan tanda-tanda’ yang menyertainya dari ungkapan tersebut.

Guru spiritualku, pernah bertanya padaku tentang cinta, apa itu cinta ? Waktu itu aku bingung, orang bilang cinta itu senang atau suka, sesederhana itu cinta ? orang lain bilang cinta itu cerita indah namun tiada arti, apa itu guyonan ? Pertanyaan sederhana tapi ternyata susah njawabnya. Jadi ketika kita bingung mengungkapkan pemahaman kata cinta, maka jangan pernah saling menyalahkan ketika terjadi ‘putus cinta’ karena di antara kita yang saling menyatakan ‘cinta’ tidak memahami makna sebenarnya cinta. Minimal cinta itu akan melahirkan rasa ingin tahu, kerinduan untuk dekat, ada rasa ingin memiliki, dan yang penting ada rasa ingin melindungi. Demikian guru spiritualku membuka kebuntuan pikiranku. Benar atau salah itu relative, minimal kita ada tawaran berpikir, dan aku setuju.

Kembali ke permasalahan ikhlas, Guru Spiritualku pernah mengatakan bahwa ikhlas itu berkaitan dengan ‘sikap menerima’, dan tantingan seberapa ‘kepasrah kita kepada Allah’ baik terhadap pilihan tindakan kita, rejeki kita, kepemilikan kita, musibah yang mengenai kita, nasib kita dan lain-lain. Keikhlasan akan melahirkan laku kita yang akan memiliki kecenderungan kontra negatif, misalnya: menghindari rasa penyesalan pasca kejadian, minus ketidakpercayaan pada sesama, minus kecurigaan, minus tuntutan balasan, minus ‘keakuan’, dan minus kegelisahan. Aku kembali bertanya apakah ikhlas itu tanpa harapan ? Tidak juga, kita berbuat ikhlas kan juga karena kita faham bahwa ikhlas adalah ‘tindakan mulia’ menurut agama kita, berarti setidaknya jauh di lubuk pikiran kita ada harapan, yaitu menyangkut laku kita agar ‘dibarokahi Allah’. Aku setuju mendengar jawabnya.

Ketika orang bisa berbuat, melakukan, menyikapi hidup secara iklas, maka pada orang itu akan tercermin ketenangan pikir dan jiwa. Ketenangan pikir dan jiwa akan menentukan pencapaian kebahagiaan yang diharapkan semua orang. Rasa syukur akan nasib dan rejeki, akan menjadi momentum terjadinya efek domino kebaikan yang akan menjadikan orang tertempa kesabaran dan tetap ulet meraih harapan, tidak sombong, selalu mau berbagi. Keikhlasan seorang dapat dilihat pula dari raut muka, tutur kata, serta gerak-gerik perilakunya yang selalu menyenangkan, tenang dan damai. Sebagai efek domino seorang yang berlaku ikhlas, lambat laun akan memiliki kekuatan yang besar, seakan-akan memiliki pancaran energi yang melimpah, sehingga akan mampu menjadi penyebar ‘virus’ keiklhlasan pada orang lain di sekitarnya.

Sebaliknya seseorang yang tidak ikhlas akan selalu tidak menyukuri apa yang telah diperoleh, meratapi apa yang terjadi, menyesali kesalahan atau kekeliruan yang dibuat dan terpaku pada waktu mereka yang telah berlalu, hal itu pasti akan menimbulkan rasa kesusahan, kesengsaraan, kegelapan dan keputusasaan. Jika orang yang berada dalam seperti itu dan ingin merubah hidupnya maka ia harus bangun. Mulailah memilih hal baik, jalani hidup dengan banyak bersyukur, dan bersabar, semua yang kita alami ada makna dan hikmah, di balik sebuah permasalahan pasti akan muncul kemudahan. Guru Ngajiku menekankan, bahwa: “Hidup memberi kita banyak pelajaran, tergantung pada kita apakah kita mau mempelajarinya atau tidak, serta memetik buahnya”. Termasuk tentang belajar ikhlas dan efek dominonya, kataku.

Senin, 06 Desember 2010

MARI BERHIJRAH


Semalam pergeseran tahun baru Hijriah aku rayakan dengan sebuah perenungan panjang tentang dunia 'kecintaanku' yaitu dunia anggrek. Sangat kebetulan suasana tengah malam di Puncak Bogor yang gerimis, udara tidak begitu dingin, kamar di atas perbukitan dengan pemandangan kerlip lampu, suasana diskusi dengan Dirjen Hortikultura sore hingga malam ini sangat membantu aliran kontemplasi dan intropeksi. Entah mengapa kebetulan juga dalam beberapa hari terakhir ini, di penghujung tahun 1432 H, tiba-tiba aku dibayangi perasaan sedih, aku menjadi miris, aku disodori kenyataan yang membuat aku gundah gulana. Aku rasakan, aku lihat orang-orang yang selama ini aku panuti, aku banggakan, dan bisa menjadi cermin keberhasilan menjalankan bisnis peranggrekan, kini mereka 'jatuh' dirundung kesulitan usaha dan kepailitan.

Ironinya, kejatuhan atau keterpurukan itu ternyata juga berdampak pada perubahan mendasar pada cara pandang mereka, sikap, dan pola komunikasi terhadap orang-orang di sekitarnya termasuk padaku. Cara pandangnya menjadi sempit, segala sesuatu dilihat sebagai sesuatu yang menggelisahkan, penuh curiga, tidak sabar, cepat marah, merasa terasing, terpinggirkan dan komunikasi menjadi buruk karena sering mudah tersinggung. Sementara kenyataan yang terjadi jelas terasakan bahwa daya dan power mereka makin mengecil, makin melemah. Usaha yang tadinya memberi kebanggaan, kehormatan, kini berbalik seperti menjadi godam yang tidak bisa dihindari dan menjadi hantaman rasa kegagalan yang mematikan.

Telisik punya telisik hal tersebut disebabkan karena terjadinya pilihan-pilihan langkah yang salah dan berimplikasi alternatif pilihan berikutnya yang juga salah. Problem diawali oleh lesunya pasar yang kemudian berdampak pada serapan produk yang berkurang, income minus, pengurangan tenaga kerja, pelanggalan SOP, yang ujungnya menjadikan penurunan kualitas dan kuantitas produk dan akhirnya berakibat balik pada pengingkaran terhadap tuntutan pasar yang menghendaki kualitas produk yang baik sehingga makin membuat kemandegan usaha. Hal itu menjadi lingkaran permasalahan yang tidak putus-putus. Menyedihkan.

Salah langkah, salah pilih, salah tindakan bisa membuat fatal apapun rencana atau usaha kita. Dalam hidup keseharian, kita selalu mendapat kesempatan memilih, peluang pilihan selalu ada yang bisa benar dan ada pula bisa salah. Ketika kita sekali mengalami kesalahan memilih dan kemudian sadar akan kesalahan itu, sering kali kita masih bisa berbalik pada pilihan yang memang benar, setelah itu di depan menghadang dua pilihan lagi yang bisa benar dan bisa pula salah. Tetapi ketika kita melakukan pilihan yang salah dan kita tidak sadar atau menggampangkan kesalahan itu maka di depan kita akan menghadang dua pilihan yang sama-sama salah. Pada kondisi demikian berarti kita sudah terjerumus pada tindakan yang akan membawa kita selalu melakukan tindakan yang salah.

Guru spiritualku selalu mencontohkan fenomena hal tersebut di atas dengan perumpamaan sebuah cerita tentang kejujuran seseorang. Ada seseorang yang pada suatu kesempatan ditanya oleh orang yang baru dijumpainya di jamuan makan. "Kerja di mana bapak ?" Respon mendengar pertanyaan tersebut dimungkinkan keluar jawaban jujur menyebut pekerjaan sebenarnya dan dapat pula menjawab salah seenaknya alias bohong. Pilihan jawaban itu akan menentukan tindakan kita selanjutnya. Coba renungkan ketika kita kemudian menjawab bohong misalnya dengan menjawab:" Saya bekerja sebagai Guru". Padahal sebenarnya kita bukan guru. Maka ketika ada pertanyaan lanjutan " Guru apa ? Di mana ? Sudah berapa lama ? dan seterusnya. Hal tersebut memaksa kita harus melakukan atau membuat kebohongan-kebohongan baru sebagai resiko ego pilihan, mestinya kalau jujur jawabannya maka anak pinak kesalahan tidak perlu terjadi.

Keberanian diri untuk mengevaluasi kesalahan, mengakuinya secara gentlemen sebagai tindakan yang keliru, dan menjadikan hal itu pengalaman sekaligus pembelajaran yang penting untuk segera merubah diri. Semua kuncinya ada pada kesadaran betapa pentingnya semangat berhijriah, yaitu semangat memperjuangkan kebenaran dan selalu berbenah agar kualitas hidup kita semakin baik. Bagi insan anggrek Indonesia harus mau belajar, harus berani mengurai permasalahan mengapa perkembangan peranggrekan nasional stagnan atau mungkin turun. Tentu nantinya akan ditemukan sederet kelemahan dan kesalahan-kesalahan kebijakan yang semestinya tidak perlu terjadi. Lalu yang penting mau memperbaikinya. Konsorsium Pengembangan Anggrek Indonesia mudah-mudahan bisa menjadi wadah yang memungkinkan terjadinya jalinan kerja, peran, dan sinergisme hingga berkembang produktivitas anggrek Indonesia yang berdaya saing. Singkirkan ego individu, mari berhijrah ke peranggrekan yang lebih baik.