Sungguh menyedihkan!!!! Membaca diberbagai media tentang berita meninggalnya enam orang bersaudara dari Desa Jebol, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, yang diduga akibat keracunan makanan tiwul yang terbuat dari bahan ketela pohon yang terpaksa dikonsumsinya lantaran alasan ekonomi. Rasanya siapapun tentu akan trenyuh merespon berita itu, berarti begitulah realita protret kemiskinan di negeri ini. Kata teman yang menggeluti bidang social, hal itu sesungguhnya baru merupakan hal yang nampak, fenomena sesungguhnya akan bisa mengungkap kondisi yang lebih buruk kalau tidak ditutup-tutupi. Masyarakat yang penghasilannya di bawah penghasilan keluarga korban (konon 150 ribu – 250 ribu per pekan) jelas masih banyak dan memiliki potensi memenuhi kebutuhan pangan seadanya berupa pangan alternative karena terpaksa.
Sangat ironis bila kita renung dan komparasikan antara kemiskinan dengan aktivitas hura-hura, pesta, kegembiraan yang baru kita lakukan dalam memperingati pergantian tahun baru. Pada satu sisi ada orang-orang yang kelaparan, disisi yang lain ada sebagian besar masyarakat kita yang dengan mudahnya mengeluarkan jutaan rupiah uangnya untuk dibuang melalui pembakaran kembang api dan petasan, ada juga pesta minuman keras, menyediakan aneka makanan yang berlebihan. Belum lagi kalau kita ingat tentang dana negara yang diselewengkan oknum atau simdikat melalui kasus-kasus bank, penggelapan pajak, biaya politik, mark-up proyek, korupsi, kontrak pertambangan, gaji / insentif buta anggota dewan, gratifikasi dan lain-lainnya. Semua itu membangun jurang pemisah antara sedikit kelompok masyarakat yang kaya raya dan memperlebar penyakit social mnasyarakat, semacam kemiskinan, pengangguran, prostitusi, premanisme, amoralitas, disharmoni masyarakat dan keluarga dan lain-lain.
Mudah-mudahan kejadian itu membuka mata pemerintahan SBY bahwa kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan, masih jauh dari keberhasilan yang diklaim pemerintah selama ini, kemiskinan masih menjadi musuh besar bangsa ini. Komitmen dan konsistensi mengurai dan mengatasi akar masalah kemiskinan harus ditegadkan kembali menjadi prioritas kerja bangsa dan Negara ini. Proses pemiskinan para koruptor adalah upaya yang cerdas atas gagasan ketua MK, tetapi akan lebih cerdas kalau program itu ditambah atau merupakan kesatuan dengan program ‘mengayakan yang termiskinkan’. Dana hasil korupsi para koruptor yang berhasil dimiskinkan jangan sampai menguap tak berbekas, atau beralih tangan dengan banyak asumsi dan alas an yang sengaja dan mudah dibuat. Tetapi dana itu bisa menjadi modal kerja membangun produktivitas strategis yang mampu menyerap tenaga kerja yang banyak. Semua bertumpu pada bagaimana dan siapa yang mampu memulai untuk mempercantik ‘wajah moralitas bangsa ini’.
Sambil menunggu lahirnya pemerintahan yang berani, yang tidak terganjal oleh tarik ulur koalisi politik yang dibangun, yang mudah-mudahan bisa bersih dan bermoral, yang menjunjung tinggi hukum, yang selalu memihak kepentingan rakyat. Mari kita sebagai warga negara, warga masyarakat untuk mempertajam pengliatan kita, pendengaran kita, mencermati keluarga, tetangga dari yang dekat hingga yang jauh, kita harus trenyuh pada tragedi ‘kemiskinan’ dan ’pemiskinan’ yang masih banyak terjadi di sekitar kita, lalu mulai dan menjadi peduli mana kala kita bisa berbuat karena ada sedikit kelebihan dan kemampuan. Perhatian kita, sebagai ‘tetes kepedualian’ sesama, lambat laun pada tatanan yang lebih luas l akan terakumulasi menjadi segelas kepedulian yang menyejukan. “Tetap kita harus membangun semangat berbagi”, kata Guru Spiritualku.
(Modifikasi dikit dari www.alumni-unsoed-jatim.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar