Jumat, 05 November 2010

JENDELA DUNIA


Jelang ul;ang tahunku, tempat biasanya aku suka kontemplatif, merenung diri, evaluasi diri terhadap apa yang sudah dijalani. Seorang temen lama muncul di FB ku, trus berlanjut dengan komunikasi telpon. Ia bertutur kepada saya tentang kesadarannya yang dirasa terlambat, betapa selama ini ia tidak cukup bersyukur kepada Allah yang telah memberi kesempurnaan tubuhnya. Kesadaran itu sayang muncul setelah semua terjadi, baru terasa saat satu persatu bagian tubuhnya kehilangan fungsinya karena sakit yang dideritanya. Mulai mati rasa di bagian ujung jarinya, di lidahnya, kerontokan rambut, dan sekarang matanya terasa sudah mulai kabur. Begitulah kenyataan yang harus dihadapinya walau berbagai upaya sudah ia lakukan, mualai upaya medis kedokteran, jamu tradisional hingga pengobatan alternatif supranatural derita itu tidak mau surut.


Sang teman bercerita ia merasa sedih, tapi tidak berdaya, aku juga hanyut ikut sedih tapi juga sama tidak berdaya. Kesedihannya sekarang memuncak, ia cerita tadi pagi gundahnya makin memuncak ketika ia lihat anak-anaknya dan sadar bahwa lambat atau cepat kata dokter ia akan kehilangan kemampuan matanya, ia akan buta dan tidak lagi bisa melihat keindahan dunia. Mata yang baginya adalah jembatan untuk menimbang berbagai tindakan yang akan ia lakukan atau ia rasakan akan mal fungsi, akan ditutup tabir tanpa warna dan gelap. Ia sekali lagi amat sedih, ia harus mulai bersikap menerima kenmyataan dan belajar menggunakan kemampuan lainnya. Sebagai teman lama, saya merasa perduli. Mencoba membesarkan hatinya dengan mendorongnya untuk terus berdoa kepada Si Pengatur Hidup, klaim dokter tidak ada artinya kalau Allah tidak menggariskan begitu.

Saya bisa membayangkan kesedihan dan kegundahan sang teman terutama saat mendapat informasi dokter akan kehilangan penglihatannya. Karena menurut saya kehilangan penglihatan berarti kehilangan ‘ Jendela Dunia’. Jendela yang member kesempatan kepada kita untuk melihat, kemudian merasakan, menikmati, menilai, serta mensyukuri apa saja yang ada di dunia ini. Dengan mata kita bisa menangkap bias cahaya yang akan mempertontonkan bentuk, warna, gerak, keunikan yang terpapar di alam semesta ini. Tanpa mata maka ibarat rumah tanpa jendela dan kita ada di dalamnya dengan kekelamannya.

Maka dari itu kata guru spiritualku, mensyukuri nikmat atas karunia kesempurnaan tubuh kita adalah kewajiban. Kita manusia adalah contoh sebuah penciptaan yang sempurna. Di mulai dari jalinan sel, jaringan, organ, lalu jadi individu yang bisa tumbuh, mampu memanfaatkan energi, merubah materi, beradaptasi dan bereproduksi. Semua berproses dengan harmoni, yang memungkinkan satu sel, jaringan atau organ yang ada bersinergi untuk menjalani hidup, semua saling topang, saling mengisi, bahkan saling menjaga. Masa Allah. Dengan kesempurnaan yang harmoni itu rasanya kita tidak boleh sombong, congkak, lalu semena-mena pada diri sendiri dan alam semesta. Karena pada hakekatnya keduanya tetap mahluk yang berkelemahan dan akan rusak.

Menurut saya selain kita punya mata, kita juga punya ‘mata hati’ dan ‘mata akal’. Dengan mata sekali lagi saya katakan kita bisa melihat, membedakan bentuk, warna, gerak, keunikan dan lain-lain. Dengan mata hati kita bisa mengetahui dan rasakan apa yang bisa dilihat mata, serta yang tidak terlihat oleh mata sekalipun. Sedangkan dengan mata akal kita jadi bisa pikirkan apa yang kita lihat serta kita rasakan , kita bisa menimbang benar salah, baik buruk, sesuai pengetahuan di akal kita. Jadi untuk kawanku , aku ingin nasehati jangan terus sedih, kalau toh prediksi itu benar, tidak berarti segalanya berahkir, sadarilah masih ada mata hati dan mata akal yang bisa menjadi jembatan merasakan dunia dan syukur kepada sang Pencipta.

Untuk kita yang masih diberi kesempatan hidup, berulang tahun, tambah umur, bisa bangun pagi dengan tubuh yang sehat, bisa bekerja dengan baik, bisa menjalani hidup sewajarnya. Kita punya kewajiban bersyukut, dengan cara menjalani ibadah secara iklas serta ikut menjaga rahmat yang Allah berikan kepada seluruh alam semesta ini bukan malah merusaknya. Kerusakan alam, ketidak seimbangan alam tidak bisa dipisahkan resikonya dengan manusia sebagai salah satu penghuninya, jelas kalau rusak dampak buruknya akan juga dirasakan kita. Sudah banyak contoh, mungkin juga peringatan bahwa kerusakan alam memberi derita pada kita, seperti terjadinya musibah banjir, tanah longsor, pencemaran, wabah penyakit dan lain-lain

Pagi ini, saya kembali mengambil air wudlu lalu bersujud padaMu untuk mencoba bersyukur, karena lagi-lagi masih diberi waktu untuk melihat cahaya. Masih bisa melihat senyum dan keceriaan anak-anakku, melihat belahan dunia tanda kebesaranMu. Aku bersyukur dan masih terus berupaya melihat, menikamati keindahan jagat ciptaanMu. Saya paling suka siluet matahari dan pepohonan di pantai atau di gunung-gunung, aku suka cakrawala, dan bunga-bunga aneka warna. Sebab dari situ mata-mataku bisa berpadu hidup, melahirkan gairah berkarya termasuk juga bertasbih padaMu. Jelang setengah abad usiaku, aku ingin berdoa: Ya, Allah sungguh kami tak berdaya tanpa kekuatanMu, kami bodoh tanpa ilmuMu, kami miskin tanpa RizkiMu, kami celaka tanpa kasih dan pertolonganMu. Ya, Allah berilah kami semangat dan kesabaran, berilah kami kemudahan, berilah kami rizki, berilah kami kasih dan pertolonganMu agar umur dan hidupku, serta keluargaku mempunya arti dijalanMu. Amin.

Sabtu, 30 Oktober 2010

SARJANA NGANGGUR ?


Melihat di Koran foto fenomena orang pencari kerja yang berjubel, ngantri dan banyak yang Nampak loyo saya menjadi trenyuh. Terlebih membaca data statistik yang dikeluarkan BPPS total pengangguran negeri ini sudah di angka 8.59 juta, terasa memprihatinkan karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa kenyataannya justru lebih besar bahkan bisa berlipat. Trus yang lebih konyol 14.24 % atau 1.22 juta dari penganggur itu justru penganggur terdidik atau ‘sarjana’. Memprihatinkan !!


Kenyataan makin bertambah tahun makin banyak orang pinter (baca: sarjana) yang justru mungkin masih luntang lantung di negeri ini belum memiliki pekerjaan yang tetap. Bayangkan tahun 2009 masih 700.000, dalam setahun pengangguran naik setengah juta orang. Salah siapa ini ? Apakah ini berarti bahwa lembaga pendidikan tinggi (PT) sudah gagal dalam proses edukasinya. Atau salah pemerintah yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan karena gagal menarik investasi lantaran ribet dengan urusan politik,


Kata seorang motivator usaha kewirausahaan muda dari Jogja MW , kalau dilihat dari kewajiban pemerintah menurut undang-undang harus memenuhi hajat masyarakat banyak maka pemerintah yang keblinger dililit problem politik. Tapi kalau kita tidak ingin menyalahkan pemerintah, trus bila muatan edukasi dan motivasi kewirausahaan di PT bisa ditingkatkan untuk menciptakan sarjana wirausaha dan bukan sarjana pencari kerja.


PT harus mempunyai orang-orang yang memiliki komitmen, spirit, kalau perlu jadi contoh penggerak dan pelaku kewirausahaan. Orang-orang ini yang bertugas memprovokasi civitas akademika kampus terutama mahasiswa dan alumni untuk tertarik dan terjun di dunia kewirausahaan. Orang-orang itu diharapkan mampu membangun ‘bisnis center’ atau ‘inkubator bisnis’ di kampus yang bisa jadi sumber income PT juga.


Melalui incubator ini diharapkan akan tercipta wirausaha baru yang terdidik yang secara otomatis sangat memungkinkan mereka juga bisa malah membuka lapangan kerja baru yang dapat ikut mengurangi angka pengangguran kita. Bahkan kalau ‘inkubator’ bisnit PT itu benar-benar mampu memaksimalkan perannya maka produk dari proses incubator itu bahkan bisa menjadi kepanjangan tangan peran mereka di masyarakat. Jadi akan tercipta efek ‘karambol’ atau ‘snow ball’ pada bidang kewirausahaan.


Gulu laku di bidang ini yang mampu membangun usaha dari kecil hingga sukses membangun usaha berbasis produk dari laut dari Jawa Timur member satu rumus untuk menjadi wirauswaha sukses yaitu beranilah untuk ‘out of the box’. Untuk dapat menjadi pengusaha sukses orang berlu berpikir di luar kelaziman cara berpikir orang pada umumnya. Harus mau keluar dari tradisi yang ada, harus berani keluar dan meninggalkan romantisme kondisi yang lama dan mungkin menina bobokan kita.


Saya kira ‘out of the box’ merupakan bahasa sederhana yang di agama Islam sesungguhnya tidak lain adalah ‘hijrah’. Sang Rosul kita jelas mengajarkan kepada umatnya untuk hijrah agar tercapai suatu perubahan yang lebih baik, hijrahlah untuk memperoleh hasil kerja yang lebih baik, hijrahlah untuk mendinamisasikan kemandegan, hijralah untuk membuka kebuntuan pikiran kita, hijrahlah untuk mendapatkan kualitas hidup yang berkemajuan.

Jumat, 22 Oktober 2010

'BIADAB', BUKAN MANUSIA


Jam sepuluh lebih sepuluh menit di bulan sepuluh tahun dua ribu sepuluh menjadi momentum istimewa bagi segelintir orang yang memang sengaja ‘mengistimewakan’ kejadian waktu serba sepuluh itu. Ada yang untuk momentum pernikahan, ada yang untuk melahirkan anak, ada yang untuk lamaran, buka usaha, lounching produk dan lain-lain. Keinginan menjadi istimewa, beda, mendorong geseran waktu yang sesungguhnya biasa diimagekan sebagai yang istimewa. ‘All of Ten’ menjadi kebanggaan, tonggak sejarah, sesuatu yang beda dengan lainnya. Untuk meraih sensasi dan kebanggaan itu ada saja orang mau bersusah payah, mengeluarkan biaya besar dan menempuh tantangan.

Menurut berita, di sebuah kota besar ada pasangan muda kaya yang menjadikan all of ten menjadi tonggak kelahiran anak pertama mereka yang sebetulnya belum genap 9 bulan dalam perut ibunya. Dengan teknologi kebidanan masa kini hal seperti itu bukan hal sulit, kelahiran berarti bisa dipercepat sesuai order waktu, bayi yang lahir belum waktunya bukan masalah karena ditopang teknologi incubator yang menjamin pertumbuhan yang baik. Tentu kejadian itu, melalui diskursus dan prosedur klinis yang dapat dipertanggung jawabkan dan difahami ke dua belah pihak termasuk biaya dan resiko sebagai sesuatu yang dibenarkan. Pada batas ini, walau sesungguhnya waktu kelahiran mahluk semestinya adalah otorita yang di atas, rasanya kita masih bisa mentorerir atas dasar telaah ilmu dan teknologi yang dikuasai manusia.

Pada guliran waktu serba sepuluh, tanpa disengaja aku baca berita yang diendus Komnas Perlindungan Anak bahwa pada tahun 2009 lalu tercatat 186 bayi dibuang dan 68 sudah dalam keadaan meninggal di Indonesia. Tahun 2010 belum ada data, mungkin meningkat karena kabarnya kesusahan masyarakat makin meningkat. Berita di bulan sepuluh ini saja saya catat ada 5 bayi di buang, dimulai penemuan di daerah Tambora (6/10), Depok (7/10), Tangerang (15/10), Batu Ceper (15/10) dan Kalideres (17/10). Kemudian di China di temukan 21 mayat bayi di sungai se sebuah desa. Gila !!! Manusia makin tidak beradab saja rasanya. Makin banyak manusia menjadi bukan manusia. Kenapa bayi tidak berdosa diterlantarkan begitu saja, padahal ‘sang bayi’ adalah buah dari perbuatan senang orang yang melahirkannya, yang semestinya harus mempertanggungjawabkannya.

Orang bilang bayi dibuang bisa jadi atas alasan: ekonomi, rasa malu, aib, dan kelainan jiwa. Faktor ekonomi konon merupakan faktor utama yang menyebabkan hal itu, mungkin saja benar, dalam situasi sekarang di mana program KB yang dulu digalakkan pemerintah sekarang terkesan melempem kelahiran bayi seperti tidak dibatasi lagi walau dengan slogan sekalipun. Banyak di kantung-kantung kemiskinan kita jumpai pasangan keluarga yang tidak ber-KB, anak mereka banyak sementara ekonomi mereka buruk. Daerah seperti ini rawan sebagai daerah yang menyumbangkan meningkatnya jumlah anak jalanan, anak tak terdidik, anak putus sekolah. Hemat saya, anak-anak yang tumbuh dan berkembang tanpa tanggung jawab orang tua akan pemenuhan makanan bergizi, pendidikan, kesehatan, masa depan sama saja dengan tindakan orang tua yang ‘membuang’ anaknya juga.

Atas alasan apapun membuang darah daging sendiri adalah tidakan tidak berperasaan, sudah gelap mata, gelap pikiran. Manusia yang kehilangan rasa, kehilangan pikiran maka sesungguhnya ia telah kehilangan kemanusiaannya atau ia bukan lagi manusia. Karena beda antara manusia dengan mahluk Allah lainnya terutama pada adanya rasa dan pikiran. Binatang saja banyak yang berperangai penuh kasih dan selalu melindungi anaknnya dari mara bahaya dan gangguan lingkungan sekitarnya. Mestinya perilalu manusia harus di atas semua itu, karena manusia mesti sadar bahwa anak adalah titipan Sang Pencipta, tanggung jawab dan sekaligus masa depan kita.

Sadar dan bersyukurlah ketika kita diberi kenyataan memiliki kesempurnaan sebagai mahluk, bisa makan dan minum dengan sempurna, bisa bergerak, bisa tumbuh dan berkembang sempurna, bisa adaptasi berbagai cuaca, dan bisa pula berketurunan. Tidak sumua manusia diberi kesempurnaan, ada yang sakit, cacad, hilang pikiran, ada pula yang tidak berkemampuan untuk mendapatkan anak. Jadi mendapat anak adalah barokah, adalah rejeki, dan merupakan hal yang harus disyukuri, berarti kita diberi kemampuan meneruskan generasi, kita terpilih dalam proses evolusi jagad raya ini. Kelahiran adalah pertanda keberlangsungan hidup, pertanda kehidupan baru, masa depan baru yang mungkin kita belum tentu mengalami. Jadi jangan hakimi kehidupan masa depan yang bi bawa anak-anak kita dengan menghentikan paksa.

Kata Khalil Gibran bahwa anak adalah ‘anak panah’ dan kita adalah ‘gendewa’nya. Anak punya hidup dan dunianya sendiri-sendiri, tugas kita adalah mengarahkan anak panah pada sasaran yang menurut kita tepat, baik, lalu melesatkannya dan selesai. Soal anak panah itu benar mengenai sasaran, sedikit meleset, melenceng jauh adalah hak anak panah dan pilihan mereka masing-masing sesuai dengan tantangan mereka dan harapan mereka yang sangat mungkin berbeda. Yang penting jangan mematahkan anak panah itu, meluluh lantakannya, menghancur leburkan tanpa berkesempatan merasakan bentangan gendewa kita dan melesat sebagai anak zaman. Kalau hal itu terjadi berarti kita telah gagal sebagai manusia, dan kita bukan manusia.

Senin, 11 Oktober 2010

JANGAN KENTUT DARI MULUT (JATUTRILUT)


Aku tertarik mengikuti cerita bersambung harian Kompas berjudul ‘Matahari’ karya Remi Silado, sebuah cerbung yang menggambarkan kekayaan pengetahuan budaya si penulisnya. Setiap pagi cuma tulisan itu yang aku baca habis loper koran melemparkan di teras rumahku, yang lain seperti berita, opini cuma aku baca sekilas, jatah bacanya siang atau kadang kalau memang lagi ada waktu longgar ya sama-sama dibaca tapi tetap belakangan setelah menyimak cerita yang selalu terpampang di halaman 15 bawah. Matahari bercerita tentang seorang perempuan Indo Belanda, penari eksotik, terkesan berparas cantik dan bergaya nakal. Satu hal yang membuat aku tertarik pada cerita ini adalah seringnya tercetus kata-kata menggelitik yang bisa direnungkan kebenarannya.

Seperti yang terlontar sebagai gumaman sang tokoh ketika ia berdebat tentang makna erotik dengan eksotik menyangkut tarian yang diperagakannya, ia mampu memperbobot nilai tari jawa ‘dengan keindahan tubuh’ tapi tidak erotic. Lalu mengomentari petinggi militer Jerman yang omongannya tidak bisa dipercaya dengan ungkapan ‘kentut dari mulut’. Sekedar berbagi cerita saja sang Mata Hari ini dengan eksotika tarinya mampu menjadi maestro tari di Eropa dan sekitarnya bahkan akhirnya dilamar untuk menjadi ‘agen rahasia’ Prancis dan Jerman. Kembali ke ungkapan kentut dari mulut, ini menarik untuk direnungkan, sesungguhnya sederhana tapi kena. Maka tulisan renungan ini saya coba angkat dengan judul 'JATUTRILUT' maksudnya Jangan Kentut Dari Mulut.

Sang Pencipta membuat organ tubuh kita berbeda-beda, berbeda pula fungsinya. Jadi kalau kentut yang semestinya dari dubur kemudian dialihkan ke mulut jelas hal yang keliru. Tetapi menurut saya maknanya tidak sekedar itu, tidak sekedar menguatkan tesis orang tua jawa yang melarang anaknya sendawa atau ‘antob’ karena itu tidak sopan, tidak patut, sebab buang angin mestinya lewat bawah bukan lewat mulut. Lebih dari itu karena ungkapan itu bisa dimaknai kita mesti pandai menjaga mulut, orang jalanan bilang ‘jangan asal njeplak’ atau ‘jangan asbun atau asal bunyi’. Gunakan mulut kita untuk bicara hal yang baik, yang benar, yang berguna, yang bertanggung jawab, yang bisa memberi ketenangan lahir dan batin siapapun yang mendengarkannya.

Kalau kita tidak bisa menjaga mulut, lalu misalnya dengan mudah kita berbohong, berkata-kata kasar, jorok, sering menebar fitnah, bergunjing keburukan orang, bahkan yang sederhana omong yang tidak perlu dan tidak pada tempatnya adalah penggambaran kita sudah kentut lewat mulut. Karena itu akan menebarkan kebusukan yang lebih busuk dari kentut, kentut tidak sampai lima menit akan hilang tertiup angin. Tetapi kebusukan dari mulut akan bertahan untuk waktu yang lama, bahkan akan menjadi pemicu hal-hal yang dibenci Allah dan bisa merusakan ketenangan lahir dan batin orang yang terkena sasaran kebusukan mulut itu.

Kata guru spiritualku, lebih baik kita diam dari pada kita bicara hal-hal yang buruk, dari pada kita melontarkan ungkapan jorok, berbohong, menghasut orang, bergunjing atau bergelisah. Berpikirlah sebelum bicara, timbang baik buruk apa yang akan kita ucapkan, pilih kata yang tepat yang menggembirakan atau yang menyejukkan kita sendiri dan orang lain yang mendengarkannya. Bayangkan juga perasaan kita bagaimana kalau kita yang mendapatkan omongan yang tidak mengenakan, kita yang jadi korban, kita yang teraniaya. Jangan mengikuti ego, walau kita sedang berkuasa, sedang berwenang, sedang di atas angin. Lebih baik sadar bahwa hal itu sewaktu-waktu bisa berubah, bisa terbalik seratus delapan puluh derajat dalam sekejap jika yang di atas menghendaki.

Orang bijak lain bilang ‘bicaralah dengan hati’ karena hati selalu diselimuti kejujuran, selalu setia mengingatkan kita untuk menghindari keburukan yang selalu menjadi pintu setan untuk bercokol di hati kita. Kenali dan akrabi suara hati kita, integrasikan dengan lisan yang terjaga kalau bisa menjadi lisan yang mulia, yang selalu bisa berbagi ayat Allah, berbagi nikmat Allah, lalu bisa menjelmakan semua itu ke dalam tindakan nyata. Sabda Rosullullah ‘ Orang yang paling bijaksana adalah mereka yang mampu menjaga lisan dan perbuatannya’. Tidak menebar kebusukan lewat mulutnya, atau kentut lewat mulut kata Mata Hari di cerbung Kompas.

Minggu, 19 September 2010

TELADAN LEBAH


Ketika lebaran hari ke 7, saya dan istri bersilahturahmi ke rumah Pak Haji Simpang Sukun, kadang orang-orang menyebut ‘Osamah Bin Laden’, tentu sebutan itu hanya gurouan ketika tidak ada beliaunya karena pak Haji memiliki jenggot yang khas walau tidak seperti Osamah Bin Ladden betulan. Tetapi bagi saya orang rantau di bumi Arema ini, pak Haji adalah orang tua sambung yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah sekaligus bercengkrama. Pak Haji adalah pensiunan pegawai perkebunan Negara, tepatnya beliau adalah mantan ahli cita rasa tembakau, sosok yang sangat menentukan kelayakan dan harga jual tembakau yang akan diekspor ke luar negeri. Saya bisa berjam-jam bercengkrama dengan beliau, mulai bicara yang ringan hingga ajaran tasawuf dan sering dalam cengkrama itu muncul ‘tausiah’ yang penting saya garis bawahi, bisa menjadi guru laku.


Seperti pada siang itu, ketika cerita tentang aktivitas lebaran telah kami sama-sama ceritakan. Pak Haji mulai membawa kami ke ranah cerita tentang ‘iman, ketakwaan, perilaku hidup’, dengan memberi kami 3 buku catatan beliau (masih foto copian) untuk memudahkan mempelajari Al qur’an. Saya kagum dengan semangat pak Haji mengisi hari tuanya, penuh dinamika pencarian ‘bagaimana mendekatkan diri ke Allah’. Banyak hal dilakukan selalu bersama istri tercintanya, pernah belajar meditasi ke Bali, menelaah fenomena Yin dan Yang lewat pembelajaran Taichi, belajar Tashawuf, olah nafas, senam tera, ikut Perhimpunan Anggrek Indonesia, itu semua dicoba dibumikan untuk peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.


Hari itu pak Haji seperti menjadi guru spiritualku, lantaran beliau mampu memunculkan ‘garis emas’ atau membuat sesuatu lebih bermakna pada hal yang selama ini biasa bagi saya yaitu tentang ‘lebah’ mengingat saya seorang biolog. Bagi saya lebah yang dalam bahasa latin disebut ‘Apis indica’ adalah serangga penghasil madu, dan sebagai serangga ‘koloni’ seperti juga semut dan rayap mereka sudah memiliki struktur masyarakat yang baik, yaitu ada lebah pekerja, penjaga, pejantan, ratu yang memiliki tugas masing-masing untuk melestarikan koloninya. Dalam kontek agama, saya tahu bahwa ada juga surat yang bertajuk tentang lebah dalam Al Qur’an surat ke 16 yaitu surat Al Nahl. Surat ini berisi 128 ayat, dan hanya 2 ayat yaitu ayat 68-69 yang memfirmankan tentang lebah, sosok lebah berarti penting dan seharusnya menjadi bahan perenungan tanda kebesaran Allah.


Dalam kontek mengajak merenung pak Haji bertutur bahwa lebah adalah mahluk Allah yang banyak memberi manfaat dan kenikmatan pada mahluk lainnya terutama manusia. Rasanya lebah jangan-jangan diciptakan agar bisa menjadi teladan hidup bagi kita. Hiduplah seperti lebah. Masyarakat lebah hidup baik, rukun dan damai, masing-masing bekerja sesuai tugasnya masing-masing tetapi semua bekerja untuk keutuhan hidup bersama. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang baik berupa serbuk sari dari aneka bunga, tidak pernah mengkonsumsi makanan yang jelek. Hinggapnya di tempat yang indah, tidak pernah hinggap di tempat yang jorok, bahkan sering, membantu proses penyerbukan tanaman agar bisa bereproduksi.


Hikmahnya, andai masyarakat kita bisa seperti masyarakat lebah, hidup rukun dan damai, saling hormat menghormati, tidak mementingkan diri sendiri, tidak mencari menang sendiri, bekerja sesuai pekerjaan dan tugas masing-masing, berupaya mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Kuncinya tentu ada pada individu-individu anggota masyarakat yaitu kita-kita sendiri. Masing-masing harus bisa mengendalikan diri untuk menjalankan perannya masing-masing, tidak mengambil hak orang lain, tidak mengkomsumsi yang tidak halal, mengedepankan sikap saling tolong menolong, dan saling berbagi.


Apakah harapan meneladani lebah bisa kita lakukan ? Tentu saja bisa, tetapi hal itu tidak mudah. Manusia jelas beda dengan lebah, manusia diberi akal dan pikiran sedang lebah tidak. Manusia diberi pilihan, sementara lebah tidak, karena manusia punya kelebihan, manusia tentu memiliki potensi bisa lebih baik dari sekedar lebah (binatang) tetapi juga bisa lebih jelek dari binatang yang paling jelek sekalipun. Untuk mencapai keteladanan yang baik, maka kita harus melakukan hal yang baik dan itu membutuhkan kesadaran dan keyakinan yang baik. Harus menjadi kesadaran dan keyakinan kita bersama bahwa di alam ini, di setiap sudut kita memandang, di setiap jengkal kaki menjejak sesungguhnya selalu ada tanda-tanda kebesaran Allah yang memestinya makin meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita dan merubah perilaku kita.

Jumat, 17 September 2010

LAUTAN MAAF


Mulai hari Rabu tanggal 8 September 2010 M atau 28 Ramadhan 1431 H, telepon selulerku mulai dibanjiri sms ucapan hari Raya Idhul Fitri yang dibarengi ucapan permintaan ‘maaf lahir batin’. Mereka para sahabat, teman sejawat, mahasiswa, mungkin tidak mau ketinggalan menyampaikan sebelum hari H idhul Fitri yang jatuh hari Jum’at tanggal 10 September 2010, dan itu menurut saya tidak ada salahnya karena dalam ucapan mereka juga ada kata-kata ‘menjelang kumandang suara takbir’ atau ‘menjelang ari fitri’ baru diikuti ucapan lainnya. Bisa jadi mereka memiliki banyak yang harus dikirimi ucapan sehingga perlu memulainya lebih awal. Ucapan itu makin bertambah jumlahnya malam hari ketika kumandang gema takbir terdengar di mana-mana, keesokan harinya ketika hari lebaran, lalu berkurang setelah itu. Saya yakin di telepon seluler anda juga demikian, pun demikian terjadi di berbagai fitur internet seperti face book, twitter, ym, semua bicara ucapan selamat hari lebaran dan permintaan maaf.

Semua orang bicara ‘maaf lahir batin’, tidak mengenal umur mulai anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, tidak kenal waktu terucapkan sepanjang 24 jam, terjadi di mana-mana baik di rumah, di masjid, di lapangan, di pasar, di desa, di kota dan tempat-tempat lainnya. Kalau kita bayangkan, kata ‘maaf’ ada di mana-mana, seperti ‘lautan maaf’. Kata- kata itu menjadi kata yang ringan untuk diucapkan, semua orang dengan tulus dan penuh senyum menyampaikan itu, baik pada saudara dekat maupun pada orang-orang yang terbilang tetangga jauh. Tidak seringan hari biasanya untuk mengakui kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan dan kelalaian itu.

Kata ‘maaf’ menjadi seperti penyempurna kegiatan ibadah puasa yang telah dilakukan selama satu bulan penuh. Dengan ucapan itu seolah-olah beban berat yang mengganjal di hati kita menjadi berkurang banyak, rasa salah dan berdosa kepada orang tua, keluarga, tetangga, teman, serta handai taulan lainnya sepertinya menjadi ‘kosong-kosong’ atau impas atau diumpamakan kertas kotor menjadi lembaran kertas yang putih bersih kembali. Lautan ‘maaf’ memiliki implikasi melahirkan hubungan baru yang lebih baik, cair, meredam gelombang amarah, kebencian, di mana-mana orang-orang mencoba membangun kembali persaudaraan, mempererat tali silahturahmi.

Ungkapan maafpun menjadi beragam, kreatif, sering mampu menyentuh rasa hingga kita ‘bungah’, tersenyum, kagum, salut, bahkan sampai ketawa karena lucunya. Tidak jarang ucapan itu kemudian dipakai oleh kita untuk mengucapkan ‘selamat idhul fitri’ kepada orang lain, demikian seterusnya terjadi efek bergulir atau evek ‘bola salju’ kalau ucapan itu menyentuh hati. Sehingga tak jarang dengan cepat seperti penyebaran virus ucapan itu mengganda terkirim ke mana-mana. Bagi yang kreatif, tidak pernah ada yang menuntut ucapannya ‘diplagiasi’, mereka mungkin malah senang-senang saja bahkan terpicu untuk membuat ucapan yang lebih bagus di tahun berikutnya. Bagi yang malas dan tidak bisa membuat ucapan yang ‘beraroma seni’ bisa brossing di internet, tinggal ketik ucapan lebaran, maka akan tersedia berbagai ucapan pilihan yang mungkin bisa cocok.

Kata maaf yang kita ucapkan dengan tulus dan iklas adalah obat nurani, obat batin yang mujarab untuk mengobati rasa amarah, dengki, iri, cemburu, salah, yang mengotori hati kita. Dengan demikian pasca terjadinya lautan maaf, terjadinya kebanyakan orang saling mengucapkan maaf, saling berjabat tangan tanpa paksaan. Terbayang harapan ‘kehidupan’ pasca puasa yang lebih baik karena amarah, dengki, iri, cemburu, salah menjadi sirna atau setidaknya berkurang banyak. Lautan maaf harus mampu melahirkan kesejukan seperti sejuk yang diakibatkan oleh angin laut, harus mampu memberi kebahagiaan dan kegembiraan seperti cerianya para nelayan yang membawa ikan setelah melaut, harus mampu memberi kegigihan hidup seperti kegigihan ombak memecah karang yang kukuh.

Setelah kita menjalankan puasa, lalu bertakbir, tasmid dan tahlil mengagungkan nama Allah lalu keesokan di hari fitri saling memaafkan sesama, hingga di mana-mana terdengar kata maaf diucapkan maka tantangan kita ke depan adalah bagaimana bisa ‘berubah’, bisa hijrah ke hal yang lebih baik, misalnya menjadi lebih kuat, bukan menjadi kasar; menjadi baik, bukan pura-pura baik; menjadi berani, bukan menjadi penggertak; menjadi rajin berpikir, bukan pemalas; menjadi rendah hati, tapi bukan penakut; menjadi bangga, tapi bukan menjadi sombong; mempunyai rasa humor, tapi tanpa kebodohan dan kekonyolan. Kita yang bisa saling memaafkan adalah pemenang dan telah terbukti kuat. Kata Gandhi ‘orang lemah tidak pernah memaafkan, memaafkan adalah sifat orang kuat’. Guru laku yang lain mengatakan ‘ memaafkan adalah pembalasan dendam paling manis’.

Selasa, 07 September 2010

MOMENTUM PERUBAHAN


Aku sempat katakan pada temenku muda Cak Bod, bahwa perumpamaannya tentang puasa yang disepadankan dengan perubahan ulat jadi kepongpong lalu jadi kupu-kupu adalah tepat, adalah mengena. Puasa dan upaya dzikirnya ulat adalah sebuah gambaran tafakurnya mahluk menjalankan ‘munajat’ kepada Sang Kholiq dalam rangka keinginan merubah nasib, merubah perilaku hidup. Ulat siapa yang suka, rakus menyebalkan, bulunya gatal menjijikan, merusak, cenderung mendorong kita untuk membunuhnya dengan berbagai cara. Melalui puasa ia mampu berubah dirinya menjadi kupu-kupu yang menyenangkan, menggembirakan, membantu penyerbukan, wataknya berubah seratus delapan puluh derajat dengan wujud awalnya sehingga siapapun menyayanginya.


Subhanallah. Jadi kalau kita melihat fenomena kejadian metamorphosis alam di atas, tentu akan terbersit pemikiran bahwa puasa sesungguhnya adalah ‘proses untuk menjadi’ dan bukan ‘substansi akhir’ yang bisa menggambarkan perolehan peribadahan kita kepada Allah. Kalau dengan puasa ulat bisa merubah dirinya menjadi kupu-kupu, atau mampu berproses melakukan perubahan ‘berperangai buruk’ menjadi ‘berperangai santun’. Maka kita harus pula punya ukuran perubahan yang setidaknya memiliki nilai yang sama, yaitu memiliki nilai ‘metamorfosis’ yang bermakna merubah perangai buruk kita yang ada selama ini dengan perangai yang lebih baik. Untuk yang rakus dan serakah harus mampu menjadi ‘bisa berbagi’, yang tamak dan sombong harus mampu menjadi santun dan rendah hati, yang tadinya jorok dan masa bodoh harus menjadi bersih dan suka peduli.


Jelas artinya, bahwa ketika orang berpuasa (baca: menjalani proses perubahan) semestinya pada akhir kegiatan puasa akan dapat kita lihat ‘hasilnya’ berupa suatu perubahan. Bagi yang benar-benar berpuasa maka perubahan fisik tentu akan terlihat dengan jelas, badanya akan nampak lebih ramping, lebih menarik, lebih sehat, seperti ulat berubah menjadi kepompong dan harus disadari hal itu belum final. Puasa harus melahirkan perubahan substantif, berupa perubahan perilaku dari perilaku yang dibenci Allah ke perilaku yang dicintai Allah. Tanpa adanya produk perubahan berarti puasa kita belum menjadi ‘proses’ bermakna, bisa jadi puasanya masih puasa formalitas, puasa yang hanya bermakna menahan lapar dan haus dan tidak sebagai mediasi peningkatan ‘iman dan islam’ kita.


Dalam kontek berpikir, fenomena alam menyangkut perubahan ulat menjadi kupu-kupu bisa menjadi pembelajaran positif hidup kita. Kata orang bijak bahwa ‘mustahil akan ada kemajuan atau perbaikan hidup tanpa perubahan, perubahan butuh keberanian diri dan usaha keras. Kita harus berani mengambil keputusan mengubah pikiran kita, memantapkan keyakinan kita, meluruskan dan membenarkan tindakan kita, jangan ragu walau sering menjadi berbeda dengan orang lain. Ingat, bahwa orang yang tak dapat merubah pikirannya tidak akan bisa mengubah apa-apa. Perubahan yang paling bermakna dalam hidup adalah perubahan sikap. Sikap yang benar akan menghasilkan tidandakan dan output yang benar’.


Ritual puasa ramadhan bagi umat Islam bangsa ini yang mayoritas akan sangat tepat bila dijadikan sebagai media untuk perubahan ‘moralitas’ yang dirasakan makin merosot tajam. Suburnya tindakan korupsi, nepotisme, kolusi yang menggiring kepada pengayaan segelintir orang dan meningkatnya jumlah masyarakat miskin, pengangguran, kriminalitas dan kebodohan. Puasa harusnya mampu membuka mata bangsa ini untuk berani mengatakan merah itu merah, putih itu putih, harus berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar. Harus bisa menjadi momentum perubahan setidaknya minimal bagi tiap-tiap yang menjalankan ibadah puasa menjadi ‘kembali bersih’ di akhir bulan ramadhan, menjadi fitri di hari ‘lebaran’ dan menjadi lebih baik di kehidupan berikutnya. Amin.