……………………….
niat ingsunsun matek ajiku si jaran goyang, tak goyang ing tengah latar,
upet-upetku lawe benang, pet sabetake gunung gugur, pet sabetake lemah bangka, pet sabetake segara asat, pet sabetake ombak gede sirep, pet sabetake atine si....bin....cep sido edan ora edan,
sido gendeng ora gendeng sido bunyeng ora mari-mari yen ora ingsun sing nambani.
“ Haaaa…..haaaaa “, seorang teman tertawa membaca mantra aji pengasihan Jaran Goyang yang aku tulis mengawali tulisan ‘geguyon’ sebagai respon obrolan di blog Alumni Unsoed Jatim yang sempat nyinggung-nyinggung hal itu. Sekaligus juga untuk sekedar mengerti, ya…kebetulan saya pernah mendapat penjelasan dan mendiskusikan hal tersebut dengan seorang Guru Spiritual di Banyuwangi. Dengan sedikit mengerti setidaknya kita jadi tidak penasaran, dengan memahami setidaknya kita bisa mengambil hikmah bagaimana kita dan orang-orang terdekat dan tercinta kita tidak menjadi korban atau pelaku ajian itu.
niat ingsunsun matek ajiku si jaran goyang, tak goyang ing tengah latar,
upet-upetku lawe benang, pet sabetake gunung gugur, pet sabetake lemah bangka, pet sabetake segara asat, pet sabetake ombak gede sirep, pet sabetake atine si....bin....cep sido edan ora edan,
sido gendeng ora gendeng sido bunyeng ora mari-mari yen ora ingsun sing nambani.
“ Haaaa…..haaaaa “, seorang teman tertawa membaca mantra aji pengasihan Jaran Goyang yang aku tulis mengawali tulisan ‘geguyon’ sebagai respon obrolan di blog Alumni Unsoed Jatim yang sempat nyinggung-nyinggung hal itu. Sekaligus juga untuk sekedar mengerti, ya…kebetulan saya pernah mendapat penjelasan dan mendiskusikan hal tersebut dengan seorang Guru Spiritual di Banyuwangi. Dengan sedikit mengerti setidaknya kita jadi tidak penasaran, dengan memahami setidaknya kita bisa mengambil hikmah bagaimana kita dan orang-orang terdekat dan tercinta kita tidak menjadi korban atau pelaku ajian itu.
Menyimak mantra di atas, kata-kata ‘ingsun’, ‘sing’, jelas membuat siapapun tidak akan memungkiri bahwa ajian Jaran Goyang lahir di Banyuwangi, orang-orang Banyuwangi menganggap ajian itu sebagai produk budaya, budaya masyarakat Osing, sejalur dengan itu maka ada juga tarian Jaran Goyang yang umum ditarikan pada acara pernikahan, dengan maksud agar kedua mempelai saling mencintai sesamanya. Berkait dengan asal-usul mantra itu, tidak ada kejelasan yang pasti siapa yang menciptakannya, yang ada hanya sebuah cerita masyarakat bahwa ‘Ajian Jaran Goyang’ diciptakan oleh seorang pemuda miskin (tukang sapu) yang mencintai putri majikannya yang cantik jelita. Ketika sang pemuda miskin itu mencoba memberanikan diri mengemukakan perasaan hatinya, sangat disayangkan sang putri marah dan menghinanya dengan meludahinya. Penghinaan itu melahirkan perasaan terhina, amarah besar, dendam kesumat yang kemudian membuat pemuda itu mau melakukan rentetan laku tirakat, puasa 40 hari hingga akhirnya mendapat bisikan ajian itu.
Dalam perkembangannya bagi masyarakat banyuwangi, ajian Jaran Goyang termasuk kategori ‘santhet’ dan masuk kategori ilmu merah. Oh, ya…bagi masyarakat Suku Osing Banyuwangi mereka tidak hanya mengenal 2 tipe ilmu kebatinan yang umum di Jawa yaitu hitam dan putih, tapi ada 4 ilmu kebatinan yaitu: (1) Ilmu hitam : ilmu yang berefek negatif ,mencelakakan orang dan membunuh orang, (2) Ilmu merah : ilmu yang dimanfaatkan menarik lawan jenis, dan lebih berkompeten pada seksual, (3) Ilmu kuning : ilmu untuk kewibawaan menghadapi bawahan atau masyarakat umum, (4) Ilmu Putih: Ilmu yang menangkal ketiga ilmu tersebut. Santhet sendiri bagi mereka tidak selalu bermakna ‘buruk’ dan ‘jahat’, ajian Jaran Goyang walau menurut cerita lahir dari amarah dan dendam, tetapi kemudian bisa diadopsi untuk tujuan mempererat tali persaudaraan, ajian ini atau ajian apapun mungkin seperti halnya ‘pisau’, menjadi sangat tergantung pada siapa yang menggunakan dan untuk apa digunakan.
Santet merupakan akronim dari ungkapan ‘mesisan banthet’ (sekalian rusak) dan ‘mesisan ganthet’ (sekalian bergabung). Santet dalam perspektif ‘sekalian rusak’ , saat memisahkan dua pasangan yang saling mencintai tetapi keluarga tidak menyetujui. Sedangkan santet dalam perspektif ‘sekalian bergabung’, saat menyatukan dua orang yang tidak saling mencintai tetapi keluarga menyetujui. Seperti masyarakat jawa pada umumnya, dalam hal perjodohan masyarakat Osing lebih suka mendapatkan jodoh untuk anaknya yang masih berkerabat. Keinginan menyambung persaudaraan inilah yang mendorong orang tua cenderung menjodohkan anak-anak mereka, dan kondisi seperti ini sering mengakibatkan problem penolakan anak, dan untuk menghindari rasa malu keluarga, santhet adalah jalan keluarnya bila anak mereka menolak perjodohan. Dari sebuah tradisi keluarga inilah kemudian, budaya santet berkembang di lingkungan masyarakat umum dan bermetamorfosis. Sayang santet akhirnya lebih dikenal sebagai salah satu upaya ‘jalan keluar buruk’ dengan jalan menyakiti sampai membunuh untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di antara mereka, saat penyelesaian secara formal tidak bisa dilakukan.
Kata istri saya yang asli Banyuwangi dan bisa jadi juga punya darah Osing, dulu ajian Jaran Goyang bahkan sudah jamak dikuasai anak-anak. Kasarnya sudah menjelma menjadi mainan anak-anak muda, dan bahkan berkembang menjadi mantra sekedar untuk memaksa seseorang seorang perempuan atau anak gadis menyingkapkan roknya, tiba-tiba keasyikan dan orgasme, hingga tanpa sadar membuka seluruh bajunya. Untuk gagah-gagahan mereka mau menjalani laku tirakat yang disyaratkan untuk menggunakan ajian-ajian tersebut. Setan memang akan selalu berupaya dengan jalan apapun untuk menyenangkan manusia, menyombongkan manusia, menyesatkan manusia. Di dunia modern seperti sekarang ini setan tidak lagi menggunakan ‘ajian Jaran Goyang’ untuk memikat manusia, kini mereka menggunakan ajian ‘narkoba’ untuk menarik manusia yang memang susah dipisahkan pikirannya dengan hasrat ‘seksual’.
Kakek dari istriku yang juga seorang guru spiritual pernah bertutur, bahwa ajian Jaran Goyang adalah hanya salah satu realita yang terjadi di masyarakat Banyuwangi dan bahkan sebagai ilmu saya yakin sudah tersebar ke penjuru tempat. Sementara di tempat lain tentu juga telah berkembang ajian-ajian lainnya yang memiliki kekhususan peruntukan, itu juga sisi realita yang lain yang harus kita mengerti dan harus dimaklumi karena sejarah masyarakat kita adalah masyarakat berbasis tradisi, yang memiliki daya spiritualitas yang berakar pada budaya tapi tidak bisa dikesampingkan dan direndahkan karena sering kali sudah mendarah daging. Untuk itu mengembangkan sikap tenggang rasa, saling hormat-menghormati, berupaya tidak menyakiti orang lain, mau berbagi, sabar, serta sadar bahwa kita terbatas dan lemah, bahwa di atas langit ada langit, di atas kemampuan kita ada yang menguasai lebih tinggi. Kita semua telah tahu bahwa Tuhan menegaskan pada kita, bahwa pada setiap kesulitas pada hakekatnya selalu terselip adanya kemudahan, untuk itulah jangan putus asa. Teruslah berjuang jangan terpengaruh dan terpikat Jaran Goyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar