Guru spiritualku pernah bertanya pada beberapa orang yang datang padanya yang secara tidak langsung sesungguhnya ingin ‘nyantrik’ atau belajar ilmu hidup padanya. Biasa mereka duduk di balai bengong (gazebo milik guru) yang dikelilingi tanaman-tanaman yang meneduhkan dengan panorama gunung Arjuno. “ Lebih berharga dan bermanfaat mana ‘emas’ atau ‘tanah’ ? “ Sebagian besar yang hadir menjawab ‘emas’ lah yang lebih berharga dan bermanfaat. “ Tolong sebutkan apa yang membuat ‘emas’ lebih berharga ? Apa saja manfaatnya ? “. Emas berharga karena benda ini tergolong logam mulia, harganya mahal untuk satuan yang kecil yaitu gram. Bisa jadi harga satu gram emas sama dengan harga satu truk tanah. Manfaat emas terutama digunakan sebagai bahan perhiasan bagi wanita terutamanya, sebagai harta simpanan, sebagai mahar perkawinan, barang yang berfungsi sebagai alat barter atau alat pembelian.
Coba anda bayangkan, mungkin tidak suatu saat harga emas jadi merosot dan tanah menjadi nilainya lebih tinggi. Orang bilang mungkin saja, karena ukuran nilai yang membuat dan menentukan kan juga manusia, ukurannya bukan ukuran tetap, sangat mungkin berubah, dan itu sangat kondisional. Kondisionalnya disebabkan oleh waktu, daya dukung lingkungan, keperluan, politik, ekologi, oreintasi hidup manusia. Semua itu ujung-ujnugnya disebabkan juga oleh perubahan-perubahan budaya manusia, cara pikir, pandangan hidup manusia. Sesuatu yang ‘berharga’ itu jadinya relatif sifatnya, ada ketidakpastianj untuk suatu hal bisa jadi tidak berharga sama sekali. Masih ingat kasus ‘gelombang cinta’ yang secara fantastic harganya melambuung tinggi hingga puluhan jutaan rupiah harga pertanaman. Tetapi kemudia harganya terus merosot hingga seolah-olah orang dikasih tanaman itu rata-rata tidak mau lantaran menjadi tidak berharga. Suatu saat nanti emas bisa jadi akan menjadi banrang yang tidak ada harganya.
Sang Guru pun kemudian berbicara pada orang-orang yang mengerubutinya bahwa niat dia bertanya tentang emas dan tanah, sesungguhnya bukan pada telaah beda antara Emas dan Tanah secara sederhana seperti itu . Tetapi sesungguhnya berharap menyangkut pemahaman yang lebih jauh dari itu. Coba kita pikirkan, kita sadari bahwa Tuhan telah menciptakan banyak benda di dunia ini. Benda–benda itu mulai dari yang terlihat mata hingga yang tak terlihat, yang berjumlah banyak hingga yang sedikit, yang keras hingga yang lunak, yang nampak indah hingga yang menakutkan, yang terasa enak di lidah hingga yang terasa pahit dan getir, yang mudah bertambah hingga yang cepat punah, dan masih banyak lagi ragam kebendaan. Saya rasa Tuhan tidak pernah kemudian memilah mana yang paling berharga dan mana yang tidak berharga. Semua berharga, semua memiliki peran masing-masing dalam menjaga keutuhan jagat raya seutuhnya.
Kesamaan peran benda di jagat raya ini, sangat bisa kita fahami mana kala kita lihat kenyataan di alam ada hal kecil yang mengontrol yang besar, yang sepele mengontrol yang rumit, yang jelek mengontrol yang indah, yang terbuang mengatur yang kita perlukan. Manusialah yang kemudian memberi nilai ‘berharga’ atau ‘kurang berharga’, itupun relative karena akan sangat bergantung pada ‘pemahaman atau kesadaran manusia’ itu sendiri. Nyata-nyata sering dan akan terus terjadi ‘penilaian’ itu berubah suatu waktu, dari yang berharga menjadi tidak berharga, atau sebaliknya dari yang sangat tidak berharga menjadi sangat berharga. Di bidang pertanian kita mengenal gulma atau tanaman pengganggu, dan salah satunya adalah Artemisia annoa, terhadapnya manusia melakukan tindakan pemberantasan. Suatu waktu ketika manusia punya problem penyakit kanker, di sisi yang lain ahli herbal menemukan ‘artimisin’ di gulma itu sebagai obat yang mampu menekan pertumbuhan kangker, maka pemahaman itu akan membalik 180 derajat terhadap status harga tanaman gulma, tindakan manusiapun berubah.
Jadi kalau kita kembali pada makna perbedaan nilai emas dan tanah, maka sesungguhnya keduanya memiliki harga dan peran yang tidak bisa diperbandingkan, karena keduanya memiliki ranah peran yang berbeda. Kita mungkin sudah terlalu materialistis, sudah sangat antroposentris (segalanya diukur untuk kepentingan manusia), padahal ilmu manusia masih sangat terbatas, sementara ilmu jagat raya masih banyak yang belum tereksporasi dan dipahami. Di sinilah kontek ajaran agama yang bijak agar kita menjaga alam, tidak boleh merusak alam. Karena di alam sudah tersedia berbagai hal yang diperlukan mahluk untuk mempertahankan kehidupan dan keberadaannya. Hilangnya satu hal kecil di ekosistem akan berdampak pada ‘kehidupan’ yang tidak berkeseimbangan. Hilangnya hal kecil ekosistem sering dimulai dari anggapan bahwa hal kecil itu kurang berguna atau tidak berguna bagi manusia secara langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar