Senin, 22 November 2010

MAHALNYA KERINDUAN


Ketika sedang asyik memanjakan diri di belakang rumah, duduk dikursi ayun sambil mendengarkan gemericik air dan melihat gemulai gerak ikan –ikan koi peliharaanku. Seorang teman lama datang bergabung denganku, lalu ikut menikmati teh poci hangat bersama-sama sambil berbagi cerita satu sama lain, untuk melepas kerinduan. Maklum saja, sudah bertahun-tahun kami tidak saling jumpa, karena kami punya nasib dan kesibukan sendiri-sendiri. Sekali lagi, harus diakui face book sangat sangat berarti karena bisa berperan mempertemukan satu orang dengan orang lain yang terpisahkan oleh waktu panjang dan tempat yang terpisah jauh. Kalau ada efek negatif fb, teknologi memang selalu demikian, ia pedang bermata dua, tergantung tanggung jawab manusia yang menggunakannya.

Di usiaku yang hampir setengah abad upaya memanjakan diri adalah kebutuhan, karena tubuh dan pikiran sudah melewati umur produktif dan sudah mulai aus. Ibarat sebuah mobil adalah mobil tua yang sesekali harus dibawa ke bengkel untuk di-’tune up’ agar akselerasi mesinnya kembali prima. Tubuh kita harus diberi kesempatan diam sesaat secara sadar untuk mengendapkan beban kejenuhan, diberi kemerdekaan dan kesenangan dalam suasana yang segar, rileks, dan penuh kegembiraan. Suasana rileks, segar dan kegembiraan adalah nutrisi dan vitamin penting untuk kita di zaman yang penuh himpitan permasalahan.

“ Dipikir-pikir memang manusia ini unik, “ kata teman lamaku.
“ Bayangkan , ……kalau kita tanya orang-orang desa ‘apa yang kamu rindukan ?’ sudah pasti banyak yang jawabnya adalah suasana keramaian kota. Sebaliknya kalau kita tanyakan orang-orang kota, maka kebanyakan akan menjawab rindu suasana desa, suasana ketenangan, keluguan.Hal itulah yang menjadikan gerakan urbanisasi dan penguasaan asset orang desa oleh orang kota tidak terhindarkan, ” lanjut dia. Memang benar pendapat temanku, fenomena umum di masyarakat kita adalah: ketika sedang sendiri orang-orang butuh dan rindu kebersamaan, ketika di rantau kita rindu rumah dan kampung halaman, ketika kita mendapat barokah kemarau panjang orang-orang butuh dan merindukan hujan, tetapi ketika suasana dibalik maka kebutuhan dan kerinduan juga berbalik.

“ Kerinduan juga bisa muncul karena absennya sesuatu hal yang biasanya muncul pada saat tetentu yang mampu memberi cita rasa yang beda, kebahagian khusus, tetapi sesuatu itu tanpa atau disadari karena alasan tertentu kemudian tidak muncul seperti yang diharapkannya. “ kataku.
“ Ya, seperti aku punya teman, baru saja ia bercerita sedang kecewa, dia selama beberapa kurun waktu selalu mendapat tulisan atau puisi dari orang yang konon disayanginya, jujur dia mengaku karena itu dia mendapat sesuatu yang ia tidak dapatkan dari orang-orang tercinta di sekelilingnya, dia tersanjung karena menjadi sumber ide, dan ada yang mengakui pesonanya. Kemarin di saat dia bahagia, setelah sadar sekian lama komunikasinya buruk, ia baru merasa kehilangan surprise tulisan atau puisi untuknya, Jujur ia malu meminta…..” kata sang teman. Dan mendengar ceritanya aku mencoba berargtumentasi, bahwa mungkin faktornya hanya lupa saja, atau komunikasi mereka sedang tidak dalam satu frekuensi, komunikasi sedang tidak dalam porsi berimbang sehingga tidak memberi makna yang ‘khusus’ pada aspek personal mereka berdua untuk memicu lahirnya tulisan atau puisi.

Mestinya mereka harus melakukan evaluasi diri masing-masing, tentu yang utama yang merasa ‘rindu’ untuk bisa menghadirkan apa yang mereka pikirkan, rasakan dan inginkan. Semakin kita bisa memahami, menghayati kejelasan posisi ’masing-masing’ dalam hubungan mereka maka makin transparan seberapa jauh masing-masing bisa berharap untuk memberi dan menerima sesuatu satu sama lainnya. Tentu ketika kita pasif, ya….jangan berharap banyak orang lain untuk aktif. Kalau kita menjauh, jangan berharap orang lain untuk mendekat. Berkait dengan hal tersebut prinsip keseimbangan ‘take and give’ harus selalu diupayakan. Ego ‘ke-aku-an’ harus diseimbangkan untuk kebersamaan.

Kalau kita lupa memenuhi prinsip ‘take and give’ untuk membangun komunikasi yang berkeseimbangan, lupa orang lain juga butuh sapaan, lupa bahwa pesona dunia tanpa batas yang tetap akan mampu memikat ide untuk tetap bergairah tanpa diri kita, maka lambat tapi pasti suasana disharmoni hubungan akan lahir dan makin ada. Lalu ketika kita sadar dan merasa kehilangan sesuatu yang biasanya bisa membahagiakan, menyenangkan, kita baru merasakan bahwa kerinduan itu menggelisahkan, kadang bahkan menyakitkan, memalukan dan sering harus kita bayar mahal.

Guru spritualku dulu pernah bertutur bijak padaku dan selalu aku ingat karena juga aku catat di buku harianku. “ Apa yang kita lakukan untuk diri kita sendiri akan lenyap bersama kematian kita. Apa yang kita lakukan untuk orang lain dan dunia, akan menetap dan abadi. Jangan kecewakan orang yang mempunyai perhatian besar padamu, walau kadang menyakitkan caranya, terus berbagilah, jaga semangat komunikasi. Kebahagiaan, kedamaian, , kasih sayang, cinta acap kali nampak kecil dan sering dianggap tidak berarti saat berada dal;am genggaman. Tapi coba lepaskan atau ketika tanpa sadar kemudian lepas, maka kita akan langsung tahu dan merasakan, betapa besar dan berharganya yang namanya kebahagiaan, kedamaian, kasih sayAng dan cinta ketika kita merindukannya. Nah....harus diakui kerinduan itu mahal.

Kamis, 18 November 2010

KOBARKAN SOLIDARITAS




Idhul Adha baru saja berlalu, umat Islam baru saja menjalani kepatuhan spiritual yang paling purba sebagai simbul ketakwaan, keiklasan, kepasrahan kita kepada Allah SWT sebagaimana yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS. Sang nabi yang mendapat perintah untuk menyembelih anak semata wayangnya Ismail, di sini terujinya kepatuhan nabi Ibrahim telah mampu melahirkan pesan agama tertranformasi menjadi aksi berkurban yang bermakna keteguhan sikap ketakwaan kepada Allah juga berdimensi sosial dan solidaristas.

Perintah menyembelih Ismail yang kemudian ternyata oleh Allah diganti dengan seekor domba adalah gambaran kemenangan ketaatan. Itu mencerminkan juga bahwa pengorbanan nyawa dan harkat kemanusiaan tidak dibenarkan Allah. Hal yang boleh dikorbankan adalah binatang, lebih tepat lagi bahwa ‘kurban’ bisa jadi merupakan ‘simbol’ bahwa yang seharusnya dikorbankan adalah sikap-sikap jelek yang melekat pada diri manusia, seperti: ketamakan, kesombongan, sikap suka menindas, kikir, suka menyerang dan sikap-sikap yang tidak menghargai hukum dan norma .

Hikmah berkurban yang utama adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah, kemudian menurut beberapa pemikir Islam bahwa berkurban juga mengandung hikmah perlunya solidaritas sesame. Dengan berkurban, berarti seseorang tidak saja berharap dicintai Allah tetapi juga membangun jalan untuk bisa dicintai sesamanya. Melalui kurban ada tersirat makna distribusi rejeki, peran, gizi, kebahagiaan, keguyuban. Ritual itu mampu membaurkan antara mereka yang beruntung dengan yang tidak beruntung, antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang kuat dengan yang lemah, mereka bersatu padu menjalani kepatuhan.

Solidaritas menjadi terasa penting, sangat berarti bagi bangsa ini yang sedang dirundung musibah dan cobaan. Bencana demi bencana terjadi seperti tidak henti melanda satu daerah ke daerah lain. Derita rakyat sepertinya belum sepenuhnya terobati, muncul kembali derita lain. Lihat saja, bangsa ini kena musibah anggap mulai tsunami di Aceh, gempa Jogja, gempa Jawa Barat, gempa Padang, tanah longsor di Waisor, gempa dan tsunami di Mentawai, dan tragedi meletusnya gunung Merapi di Jogja. Apa yang keliru dengan bangsa ini ???

Nah, kalau kita intropeksi. Ehmm….jangan-jangan salah satunya itu terjadi karena kuatnya solidaritas yang keliru. Terasakan, ada solidaritas segelintir orang dari bangsa ini yang mengeksploitasi bumi pertiwi ini tanpa kompromi dan kesantunan, lalu meninggalkan kerusakan alam dan disharmoni sosial, seperti: hutan gundul, pencemaran, tanah gersang, masyarakat tradisi tercerabut dari tempat hidupnya, korupsi dan nepotisme, perselisihan masyarakat, dan lain-lain. Penegakan hukum tidak akan berkeadilan mana kala ada solidaritas kebusukan di antara pelaku, aparat penegak hukum dan yang berkuasa.

Solidaritas negatif macam itu harus dikikis habis dengan apapun caranya, kalau perlu dengan cara solidaritas rakyat untuk reformasi jilid dua atau revolusi sekalipun. Solidaritas positif harus terus ditumbuh kembangkan agar cita-cita bangsa ini yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat bisa terrealisasi. Semangat solidaritas untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat harus terus dikobarkan agar mampu menjadi kekuatan perubahan dan pemandu langkah pemerintah untuk berpihak pada rakyat banyak. Pemerintah harus bersih, berwibawa, dan bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan untuk golongan dan kelompok tertentu atau kelompok sendiri.

Solidaritas positif yang kuat muncul dari kesadaran dan tumbuh dari satu dua orang, kelompok kecil lalu menjadi gerakan seluruh masyarakat. Bukan lahir begitu saja, terlebih lagi dari melalui rekayasa. Solidaritas mesti dibangun dan ditumbuhkan dari tingkatan orang perorang, kelompok ke kelompok, bergulir seperti guguran bola salju makin lama makin besar. Lepasnya rasa solidaritas dari satu teman ke teman lain, keluarga satu ke keluarga lain, kelompok satu ke kelompok lain adalah jalan kehancuran membangun keadilan dan kesejahteraan bersama.

Tadi malam saya baru berbincang-bincang dengan beberapa teman yang merasa senasib dan sepenanggungan, semua mengeluhkan problem yang sama bahwa solidaritas teman yang dulu begitu kuat kini mulai rapuh oleh kepentingan masing-masing, oleh masalah dan harapan sendiri-sendiri. Sulit untuk melahirkan empati, sulit untuk berbagi. Hal semacam itu menunjukkan gambaran nyata dan terjadi di mana-mana, bahwa masyarakat kita tengah banyak mendapat tekanan hidup, deraan masalah yang memaksa kita harus bisa bertahan dan sukses sendiri-sendiri. Tanpa disadari kita mulai kehilangan kepedulian, tenggang rasa, semangat berbagi dan toleransi. Untuk membenahi itu, kami sepakat untuk mencoba memperbaikinya, ya…..kesadaran kami adalah bahwa perubahan kecil dari yang paling dekat dengan kita adalah awal yang paling baik. Nah, siapa mau ikut ?

Jumat, 12 November 2010

BADAI PASTI BERLALU


Dalam perjalanan tugas peranggrekan dari Balikpapan ke Samarinda, aku mendapatkan teman ngobrol yang mengasyikan. Lelaki separuh baya, yang sebelumnya sepanjang setengan perjalanan sering tersenyum-senyum sendiri, terutama pasca hpnya berbunyi ‘thing….’ dan matanya berulang mengeja kata-kata pesan singkat yang diterimanya. Tanpa rasa canggung ketika kami sudah saling kenal dan mulai banyak saling membuka diri. Teman tadi menjelaskan alasan kenapa dia tadi senyum-senyum sendiri, ia tengah asyik berkomunikasi dengan mantan kekasihnya dulu. Komunikasi yang positif, yang menurutnya mereka sama-sama menyadari bahwa mereka telah mempunyai kepemilikan sendiri-sendiri yang harus dihormati. Tetapi mereka juga sadar, bahwa sejarah hidup masa lalu adalah pondasi yang menguatkan kehidupan masa kini dan menjadi kekayaan yang tidak bisa dibeli.

“ Mas, semua masa lalu kita tentunya banyak menjadi hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik untuk menjadikan kita lebih dewasa. Yang pasti tentunya suka duka dan kecerian masa lalu kita, tak bisa aku hapuskan. Saya sangat bersyukur atas semuanya “. Bunyi sms dari mantan kekasihnya dulu yang ditunjukkan kepadaku, ungkapan sebagai bentuk penggambaran bahwa mantan kekasihnya yang menurut pengakuannya ‘cantik’ bersama dengan dirinya memandang positif masa lalu dan menjadikan hal itu sebagai tempaan masing-masing yang harus dialaminya, Sang teman lalu juga menunjukan foto kekasihnya dulu yang ia simpan di hape, aku merasa ia tidak berbohong, memang perempuan yang tergambar di hapenya cantik. Samar terlihat perempuan dengan rambut agak keriting tergerai sebahu, kaos warna gelap, kacamata di atas kepala, tubuh berisi, senyum yang menawan, di belakangnya ada pantai seperti Pantai Kuta.

Sang teman kembali bercerita, bahwa kekasihnya dulu dirasa sedikit ada yang disembunyikan seperti sebuah kegelisahan, tetapi itupun belakangan baru diketahuinya setelah mereka berpisah. Memang antara dia dan kekasihnya cukup banyak perbedaan, tetapi ia tulus menyayangi perempuan yang pertama dicintainya. Kesadaran akan kegundahan kekasihnya tercermin dari lagu yang sering didendangkan, yaitu ‘badai pasti berlalu’. Satu sisi kalau kita tidak cermati, lagu itu seperti lagu biasa seperti lagu umum pada jamannya, yang suapapun boleh dan bisa mendendangkannya. Tetapi kalau kita lebih cermati aku rasa itu menggambarkan sebuah kegelisahan hati, tetapi di sisi lain sekaligus juga ungkapan harapan. Dan ketika lagu itu selalu saja ternyanyikan melalui stimulasi rasa, maka sesungguhnya lagu itu terus melahirkan dan membangun kepercayaan, yaitu kepercayaan bahwa badai akan berlalu. Keyakinan dan kepercayaan itu yang kini dia lihat mengantar pada pendewasaan dan ketentraman mantan kekasihnya. Dulu banyak deritanya, sekarang Nampak banyak ceria karena sudah mendapat tetes embun dan matahari pagi. Tetapi itu sekilas, karena saya juga tidak tahu apa di balik yang terlihat , simpul sang teman lalu menyanyi.

awan hitam di hati yg sedang gelisah
daun-daun bergugurans atu-satu jatuh ke pangkuan
tenggelam sudah ke dalam dekapan
semusim yg lalu sebelum ku mencapailangkahku yg jauh
kini semua bukan milikku
musim itu tlah berlalumatahari segera berganti

badai pasti berlalu
badai pasti berlalu
badai pasti berlalu
badai pasti berlalu

gelisah ku menanti tetes embun pagi
tak kuasa ku memandang datangmu matahari

Aku tertegun pada teman seperjalananku, mendengar tutur ceritanya jelas tergambar ia begitu hormat dan menyayangi pendendang ‘badai pasti berlalu’ dalam cerita masa lalunya. Kalau begitu ada benarnya orang bilang cinta tidak harus memiliki, cinta bisa jadi cuma jalan belajar kasih sayang, jalan belajar mengerti kata hati, jalan belajar mengerti hati orang lain yang kita cintai, juga jalan memahami ‘ketidaktahuan’ kita tentang ketentuan Tuhan yang harus kita alami. Berarti sesungguhnya ketika kita menyadari dan mau mengerti tentang hal itu maka kita sesungguhnya sedang ditempa untuk bisa belajar bersabar, lebih intropektif, tidak perlu berduka berlama-lama, tidak perlu tergopoh-gopoh menyalahkan orang ke tiga dalam fenomena cinta mencintai. Percuma saja melahirkan kedengkian, karena kededengkian justru akan merusak hidup kita, cinta kita yang memang harus melalui jalan mendaki, berjurang, berlumpur sebelum sampai pada taman firdous impian kita.

Merasa salah wajar, merasa gundah itu manusiawi, tetapi kesalahan dan kegundahan bagi orang yang intropektif dan meyakini keagungan spiritualitas Yang Maha justru bisa menjadi energi doa yang ‘ngijabeni’. Tuhan Maha Pengasih, seburuk apapaun kita menentang perintahNYA, menyia-nyiakan waktu yang diberikan pada kita, Ia tidak pernah mengurangi udara segar yang diberikan pada kita tiap detik, tetap memberi 24 jam waktu sehari untuk berbagai aktivitas. Maka dari itu kita harus selalu bersyukur, kita harus selalu berdoa, kita harus mau kerja keras. Sadar tidak sadar bahwa ‘dendang badai pasti berlalu’ yang sudah menyatu hati, mempunyai daya spiritualitas yang dasyat, yang bisa merubah banyak hal menyangkut kita. Kita perlu mendayakan perubahan hidup dengan apa saja, termasuk masa lalu. Ada nasehat bijak yang bisa kita renungkan, ‘ konon semakin kita bersedia bertanggung jawab dan menghargai atas perbuatan kita di masa lalu, semakin banyak kredibilitas dan nilai positif yang akan kita miliki”.

Aku lihat ketika Inova yang kami tumpangi menyeberangi sungai Mahakam yang penuh tongkang batubara dan kayu gelondongan, sang teman mulai menuang kata-kata yang jelas aku bisa membacanya:


KAU dan AKU

Kau adalah seperti angin yang bisa membuat aku
si baling-baling yang biasanya diam di atas wuwungan rumah jadi tergetar .......lalu berputar seperti lantunan gegamelan yang menghidupkan aku
si penari gambyong yang sebelumnya melenggok tanpa sukma
seperti boneka berbie yang bisa mendiamkan aku
si anak kecil yang merengek dalam kesendirian seperti ............

Apakah aku seperti sang perupa yang bisa memperindah kau
si kanvas putih di sudut rumah menjadi lukisan panorama yang lebih bermakna
seperti bulan purnama yang penuhi rindu kau si penyair pemuja cahaya di gelap malam
yang menggerakan sendi-sendi tubuh dan pikirannya tuk berpujangga
seperti semburat cahaya putih yang melengkapi kau si siluet sore hari
dengan matahari warna tembaga, pohon-pohon nyiur,
tonggak kapal-kapal nelayan warna gelap yang dipuja banyak manusia

Siapakah kau dan siapakah aku
kata angin bukan substasi yang perlu dipertanyakan
sejatinya kita sudah terpilih di dunianya sendiri dan punya kepemilikan sendiri-sendiri
tapi waktu mempertemukannya sebagai sumber kesadaran, bahwa :
ketika ada yang kurang dalam diri kita tentu
akan ada kecenderungan yang melengkapinya
ketika ada yang lebih dalam diri kita
tentu akan ada kecenderungan yang menerimanya

Aku termenung, ada saja pembelajaran hidup aku cacat antara Balikpapan – Samarinda. Seorang teman baru mempertontonkan olah pikirnya dan sekaligus menstimulasi diriku. Aku berpikir, ternyata tidak cukup punya pikiran yang baik saja, yang penting bagaimana kita menggunakannya dengan baik. Mudah-mudahan aku bisa, kita bisa.


Samarinda, November 2010
Untuk : kau pemberi bunga pertama

Minggu, 07 November 2010

UNTUK 47 TAHUN


Hampir setengah abad aku diberi waktu
Menghirup udara yang segar
Melihat lihat cakrawala yang luas
Samudra yang biru
Hijau pepohonan hutan negeri ini
Semerbak bunga-bunga dari berbagai sudut dunia
Kupu-kupu aneka warna beterbangan di Bantimurung
Menikmati geliat adat dan budaya beberapa anak negeri

Hampir setengah abad aku diberi waktu
Pernah jadi anak yang susah belajar
Hingga menjadi orang tua anak-anak yang susah belajar

Atas nama waktu yang tak pernah berhenti
Aku telah lihat dan rasakan orang-orang tercinta
Satu persatu dikebumikan
Kesedihan tidak bisa ditolak
Sebagai kodrat yang harus dialami
Atas nama waktu yang terus berjalan dan berlalu
Aku makin sadar bahwa benar kita lemah sebagai mahluk
: sakit jantung, kangker, struk, ginjal, gula, stress
Adalah cerita yang tidak pernah redam sebagai jalan kematian

Hampir setengah abad aku diberi waktu
Telah aku lihat senja di ujung nusantara
Bercanda dengan anak-anak Papua
Merasakan hangatnya udara Kalimantan
Menyelinap di bebatuan makam tanah Toraja, Ngaben di Bali
Upacara Kasodo di Bromo
Mendaki di beberapa gunung sampai hampir terpanggang di gunung Slamet
Pernah juga diinterogasi di Singapura, nyasar di Genting Island
Termangu menggenggam dinginnya butir salju di ujung Free Port
Melihat keunikan Kersik Luwey dengan pesona anggrek hitamnya
lalu kerinduanku melihat Maluku dan Ambon yang tak pernah pudar

Menyusuri masa lalu
Suka duka terpapar sebagai romantika
Masa kecil di Kauman
Bermain bola dan pedang-pedangan di alun-alun kota
Aku ingat sahabat melukisku, teman-teman teater, patner softball, maupun camping
Aku ingat siapa yang selalu bergulat bersama di laboratorium
……aku ingat semua
Termasuk ‘kau’ yang pertama memberi bunga
Aku merasa masa lalu adalah kekayaanku

Kini menjelang hitungan umur 47,
Di luar rumah gerimis seperti air mata
Seperti menangisi derita masyarakat Merapi Jogja
Tsunami di Mentawai, banjir di berbagai daerah
Sepertinya negeri ini tak henti dirundung bencana
orang bilang ini pertanda yang harus kita hikmahi
kita semua berduka

Dalam kesunyian dan duka aku ingin berdoa:
“ Ya Allah, sungguh kami tak berdaya tanpa kekuatanMU
Sungguh kami menderita tanpa pertolonganMU
Sungguh kami tersesat tanpa petunjukMU
Sungguh kami miskin tanpa rejekiMU
Sungguh kami bodoh tanpa ilmuMU
Maka dari itu ya Allah, berilah kami kekuatan,
Tolonglah kami dari derita,
tunjukanlah jalan yang benar yang Engkau ridhoi
Berilah kami rejeki yang baik, lalu mudahkanlah kami untuk mengetahui ilmuMU.
Karena rahmatMU menjadi pencerah hidupku.
Amin-amin-amin.

Batu, 7 Nopember 2010

Jumat, 05 November 2010

JENDELA DUNIA


Jelang ul;ang tahunku, tempat biasanya aku suka kontemplatif, merenung diri, evaluasi diri terhadap apa yang sudah dijalani. Seorang temen lama muncul di FB ku, trus berlanjut dengan komunikasi telpon. Ia bertutur kepada saya tentang kesadarannya yang dirasa terlambat, betapa selama ini ia tidak cukup bersyukur kepada Allah yang telah memberi kesempurnaan tubuhnya. Kesadaran itu sayang muncul setelah semua terjadi, baru terasa saat satu persatu bagian tubuhnya kehilangan fungsinya karena sakit yang dideritanya. Mulai mati rasa di bagian ujung jarinya, di lidahnya, kerontokan rambut, dan sekarang matanya terasa sudah mulai kabur. Begitulah kenyataan yang harus dihadapinya walau berbagai upaya sudah ia lakukan, mualai upaya medis kedokteran, jamu tradisional hingga pengobatan alternatif supranatural derita itu tidak mau surut.


Sang teman bercerita ia merasa sedih, tapi tidak berdaya, aku juga hanyut ikut sedih tapi juga sama tidak berdaya. Kesedihannya sekarang memuncak, ia cerita tadi pagi gundahnya makin memuncak ketika ia lihat anak-anaknya dan sadar bahwa lambat atau cepat kata dokter ia akan kehilangan kemampuan matanya, ia akan buta dan tidak lagi bisa melihat keindahan dunia. Mata yang baginya adalah jembatan untuk menimbang berbagai tindakan yang akan ia lakukan atau ia rasakan akan mal fungsi, akan ditutup tabir tanpa warna dan gelap. Ia sekali lagi amat sedih, ia harus mulai bersikap menerima kenmyataan dan belajar menggunakan kemampuan lainnya. Sebagai teman lama, saya merasa perduli. Mencoba membesarkan hatinya dengan mendorongnya untuk terus berdoa kepada Si Pengatur Hidup, klaim dokter tidak ada artinya kalau Allah tidak menggariskan begitu.

Saya bisa membayangkan kesedihan dan kegundahan sang teman terutama saat mendapat informasi dokter akan kehilangan penglihatannya. Karena menurut saya kehilangan penglihatan berarti kehilangan ‘ Jendela Dunia’. Jendela yang member kesempatan kepada kita untuk melihat, kemudian merasakan, menikmati, menilai, serta mensyukuri apa saja yang ada di dunia ini. Dengan mata kita bisa menangkap bias cahaya yang akan mempertontonkan bentuk, warna, gerak, keunikan yang terpapar di alam semesta ini. Tanpa mata maka ibarat rumah tanpa jendela dan kita ada di dalamnya dengan kekelamannya.

Maka dari itu kata guru spiritualku, mensyukuri nikmat atas karunia kesempurnaan tubuh kita adalah kewajiban. Kita manusia adalah contoh sebuah penciptaan yang sempurna. Di mulai dari jalinan sel, jaringan, organ, lalu jadi individu yang bisa tumbuh, mampu memanfaatkan energi, merubah materi, beradaptasi dan bereproduksi. Semua berproses dengan harmoni, yang memungkinkan satu sel, jaringan atau organ yang ada bersinergi untuk menjalani hidup, semua saling topang, saling mengisi, bahkan saling menjaga. Masa Allah. Dengan kesempurnaan yang harmoni itu rasanya kita tidak boleh sombong, congkak, lalu semena-mena pada diri sendiri dan alam semesta. Karena pada hakekatnya keduanya tetap mahluk yang berkelemahan dan akan rusak.

Menurut saya selain kita punya mata, kita juga punya ‘mata hati’ dan ‘mata akal’. Dengan mata sekali lagi saya katakan kita bisa melihat, membedakan bentuk, warna, gerak, keunikan dan lain-lain. Dengan mata hati kita bisa mengetahui dan rasakan apa yang bisa dilihat mata, serta yang tidak terlihat oleh mata sekalipun. Sedangkan dengan mata akal kita jadi bisa pikirkan apa yang kita lihat serta kita rasakan , kita bisa menimbang benar salah, baik buruk, sesuai pengetahuan di akal kita. Jadi untuk kawanku , aku ingin nasehati jangan terus sedih, kalau toh prediksi itu benar, tidak berarti segalanya berahkir, sadarilah masih ada mata hati dan mata akal yang bisa menjadi jembatan merasakan dunia dan syukur kepada sang Pencipta.

Untuk kita yang masih diberi kesempatan hidup, berulang tahun, tambah umur, bisa bangun pagi dengan tubuh yang sehat, bisa bekerja dengan baik, bisa menjalani hidup sewajarnya. Kita punya kewajiban bersyukut, dengan cara menjalani ibadah secara iklas serta ikut menjaga rahmat yang Allah berikan kepada seluruh alam semesta ini bukan malah merusaknya. Kerusakan alam, ketidak seimbangan alam tidak bisa dipisahkan resikonya dengan manusia sebagai salah satu penghuninya, jelas kalau rusak dampak buruknya akan juga dirasakan kita. Sudah banyak contoh, mungkin juga peringatan bahwa kerusakan alam memberi derita pada kita, seperti terjadinya musibah banjir, tanah longsor, pencemaran, wabah penyakit dan lain-lain

Pagi ini, saya kembali mengambil air wudlu lalu bersujud padaMu untuk mencoba bersyukur, karena lagi-lagi masih diberi waktu untuk melihat cahaya. Masih bisa melihat senyum dan keceriaan anak-anakku, melihat belahan dunia tanda kebesaranMu. Aku bersyukur dan masih terus berupaya melihat, menikamati keindahan jagat ciptaanMu. Saya paling suka siluet matahari dan pepohonan di pantai atau di gunung-gunung, aku suka cakrawala, dan bunga-bunga aneka warna. Sebab dari situ mata-mataku bisa berpadu hidup, melahirkan gairah berkarya termasuk juga bertasbih padaMu. Jelang setengah abad usiaku, aku ingin berdoa: Ya, Allah sungguh kami tak berdaya tanpa kekuatanMu, kami bodoh tanpa ilmuMu, kami miskin tanpa RizkiMu, kami celaka tanpa kasih dan pertolonganMu. Ya, Allah berilah kami semangat dan kesabaran, berilah kami kemudahan, berilah kami rizki, berilah kami kasih dan pertolonganMu agar umur dan hidupku, serta keluargaku mempunya arti dijalanMu. Amin.

Sabtu, 30 Oktober 2010

SARJANA NGANGGUR ?


Melihat di Koran foto fenomena orang pencari kerja yang berjubel, ngantri dan banyak yang Nampak loyo saya menjadi trenyuh. Terlebih membaca data statistik yang dikeluarkan BPPS total pengangguran negeri ini sudah di angka 8.59 juta, terasa memprihatinkan karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa kenyataannya justru lebih besar bahkan bisa berlipat. Trus yang lebih konyol 14.24 % atau 1.22 juta dari penganggur itu justru penganggur terdidik atau ‘sarjana’. Memprihatinkan !!


Kenyataan makin bertambah tahun makin banyak orang pinter (baca: sarjana) yang justru mungkin masih luntang lantung di negeri ini belum memiliki pekerjaan yang tetap. Bayangkan tahun 2009 masih 700.000, dalam setahun pengangguran naik setengah juta orang. Salah siapa ini ? Apakah ini berarti bahwa lembaga pendidikan tinggi (PT) sudah gagal dalam proses edukasinya. Atau salah pemerintah yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan karena gagal menarik investasi lantaran ribet dengan urusan politik,


Kata seorang motivator usaha kewirausahaan muda dari Jogja MW , kalau dilihat dari kewajiban pemerintah menurut undang-undang harus memenuhi hajat masyarakat banyak maka pemerintah yang keblinger dililit problem politik. Tapi kalau kita tidak ingin menyalahkan pemerintah, trus bila muatan edukasi dan motivasi kewirausahaan di PT bisa ditingkatkan untuk menciptakan sarjana wirausaha dan bukan sarjana pencari kerja.


PT harus mempunyai orang-orang yang memiliki komitmen, spirit, kalau perlu jadi contoh penggerak dan pelaku kewirausahaan. Orang-orang ini yang bertugas memprovokasi civitas akademika kampus terutama mahasiswa dan alumni untuk tertarik dan terjun di dunia kewirausahaan. Orang-orang itu diharapkan mampu membangun ‘bisnis center’ atau ‘inkubator bisnis’ di kampus yang bisa jadi sumber income PT juga.


Melalui incubator ini diharapkan akan tercipta wirausaha baru yang terdidik yang secara otomatis sangat memungkinkan mereka juga bisa malah membuka lapangan kerja baru yang dapat ikut mengurangi angka pengangguran kita. Bahkan kalau ‘inkubator’ bisnit PT itu benar-benar mampu memaksimalkan perannya maka produk dari proses incubator itu bahkan bisa menjadi kepanjangan tangan peran mereka di masyarakat. Jadi akan tercipta efek ‘karambol’ atau ‘snow ball’ pada bidang kewirausahaan.


Gulu laku di bidang ini yang mampu membangun usaha dari kecil hingga sukses membangun usaha berbasis produk dari laut dari Jawa Timur member satu rumus untuk menjadi wirauswaha sukses yaitu beranilah untuk ‘out of the box’. Untuk dapat menjadi pengusaha sukses orang berlu berpikir di luar kelaziman cara berpikir orang pada umumnya. Harus mau keluar dari tradisi yang ada, harus berani keluar dan meninggalkan romantisme kondisi yang lama dan mungkin menina bobokan kita.


Saya kira ‘out of the box’ merupakan bahasa sederhana yang di agama Islam sesungguhnya tidak lain adalah ‘hijrah’. Sang Rosul kita jelas mengajarkan kepada umatnya untuk hijrah agar tercapai suatu perubahan yang lebih baik, hijrahlah untuk memperoleh hasil kerja yang lebih baik, hijrahlah untuk mendinamisasikan kemandegan, hijralah untuk membuka kebuntuan pikiran kita, hijrahlah untuk mendapatkan kualitas hidup yang berkemajuan.

Jumat, 22 Oktober 2010

'BIADAB', BUKAN MANUSIA


Jam sepuluh lebih sepuluh menit di bulan sepuluh tahun dua ribu sepuluh menjadi momentum istimewa bagi segelintir orang yang memang sengaja ‘mengistimewakan’ kejadian waktu serba sepuluh itu. Ada yang untuk momentum pernikahan, ada yang untuk melahirkan anak, ada yang untuk lamaran, buka usaha, lounching produk dan lain-lain. Keinginan menjadi istimewa, beda, mendorong geseran waktu yang sesungguhnya biasa diimagekan sebagai yang istimewa. ‘All of Ten’ menjadi kebanggaan, tonggak sejarah, sesuatu yang beda dengan lainnya. Untuk meraih sensasi dan kebanggaan itu ada saja orang mau bersusah payah, mengeluarkan biaya besar dan menempuh tantangan.

Menurut berita, di sebuah kota besar ada pasangan muda kaya yang menjadikan all of ten menjadi tonggak kelahiran anak pertama mereka yang sebetulnya belum genap 9 bulan dalam perut ibunya. Dengan teknologi kebidanan masa kini hal seperti itu bukan hal sulit, kelahiran berarti bisa dipercepat sesuai order waktu, bayi yang lahir belum waktunya bukan masalah karena ditopang teknologi incubator yang menjamin pertumbuhan yang baik. Tentu kejadian itu, melalui diskursus dan prosedur klinis yang dapat dipertanggung jawabkan dan difahami ke dua belah pihak termasuk biaya dan resiko sebagai sesuatu yang dibenarkan. Pada batas ini, walau sesungguhnya waktu kelahiran mahluk semestinya adalah otorita yang di atas, rasanya kita masih bisa mentorerir atas dasar telaah ilmu dan teknologi yang dikuasai manusia.

Pada guliran waktu serba sepuluh, tanpa disengaja aku baca berita yang diendus Komnas Perlindungan Anak bahwa pada tahun 2009 lalu tercatat 186 bayi dibuang dan 68 sudah dalam keadaan meninggal di Indonesia. Tahun 2010 belum ada data, mungkin meningkat karena kabarnya kesusahan masyarakat makin meningkat. Berita di bulan sepuluh ini saja saya catat ada 5 bayi di buang, dimulai penemuan di daerah Tambora (6/10), Depok (7/10), Tangerang (15/10), Batu Ceper (15/10) dan Kalideres (17/10). Kemudian di China di temukan 21 mayat bayi di sungai se sebuah desa. Gila !!! Manusia makin tidak beradab saja rasanya. Makin banyak manusia menjadi bukan manusia. Kenapa bayi tidak berdosa diterlantarkan begitu saja, padahal ‘sang bayi’ adalah buah dari perbuatan senang orang yang melahirkannya, yang semestinya harus mempertanggungjawabkannya.

Orang bilang bayi dibuang bisa jadi atas alasan: ekonomi, rasa malu, aib, dan kelainan jiwa. Faktor ekonomi konon merupakan faktor utama yang menyebabkan hal itu, mungkin saja benar, dalam situasi sekarang di mana program KB yang dulu digalakkan pemerintah sekarang terkesan melempem kelahiran bayi seperti tidak dibatasi lagi walau dengan slogan sekalipun. Banyak di kantung-kantung kemiskinan kita jumpai pasangan keluarga yang tidak ber-KB, anak mereka banyak sementara ekonomi mereka buruk. Daerah seperti ini rawan sebagai daerah yang menyumbangkan meningkatnya jumlah anak jalanan, anak tak terdidik, anak putus sekolah. Hemat saya, anak-anak yang tumbuh dan berkembang tanpa tanggung jawab orang tua akan pemenuhan makanan bergizi, pendidikan, kesehatan, masa depan sama saja dengan tindakan orang tua yang ‘membuang’ anaknya juga.

Atas alasan apapun membuang darah daging sendiri adalah tidakan tidak berperasaan, sudah gelap mata, gelap pikiran. Manusia yang kehilangan rasa, kehilangan pikiran maka sesungguhnya ia telah kehilangan kemanusiaannya atau ia bukan lagi manusia. Karena beda antara manusia dengan mahluk Allah lainnya terutama pada adanya rasa dan pikiran. Binatang saja banyak yang berperangai penuh kasih dan selalu melindungi anaknnya dari mara bahaya dan gangguan lingkungan sekitarnya. Mestinya perilalu manusia harus di atas semua itu, karena manusia mesti sadar bahwa anak adalah titipan Sang Pencipta, tanggung jawab dan sekaligus masa depan kita.

Sadar dan bersyukurlah ketika kita diberi kenyataan memiliki kesempurnaan sebagai mahluk, bisa makan dan minum dengan sempurna, bisa bergerak, bisa tumbuh dan berkembang sempurna, bisa adaptasi berbagai cuaca, dan bisa pula berketurunan. Tidak sumua manusia diberi kesempurnaan, ada yang sakit, cacad, hilang pikiran, ada pula yang tidak berkemampuan untuk mendapatkan anak. Jadi mendapat anak adalah barokah, adalah rejeki, dan merupakan hal yang harus disyukuri, berarti kita diberi kemampuan meneruskan generasi, kita terpilih dalam proses evolusi jagad raya ini. Kelahiran adalah pertanda keberlangsungan hidup, pertanda kehidupan baru, masa depan baru yang mungkin kita belum tentu mengalami. Jadi jangan hakimi kehidupan masa depan yang bi bawa anak-anak kita dengan menghentikan paksa.

Kata Khalil Gibran bahwa anak adalah ‘anak panah’ dan kita adalah ‘gendewa’nya. Anak punya hidup dan dunianya sendiri-sendiri, tugas kita adalah mengarahkan anak panah pada sasaran yang menurut kita tepat, baik, lalu melesatkannya dan selesai. Soal anak panah itu benar mengenai sasaran, sedikit meleset, melenceng jauh adalah hak anak panah dan pilihan mereka masing-masing sesuai dengan tantangan mereka dan harapan mereka yang sangat mungkin berbeda. Yang penting jangan mematahkan anak panah itu, meluluh lantakannya, menghancur leburkan tanpa berkesempatan merasakan bentangan gendewa kita dan melesat sebagai anak zaman. Kalau hal itu terjadi berarti kita telah gagal sebagai manusia, dan kita bukan manusia.