Kembali bangsa ini didera permasalahan yang memalukan, menggemaskan, membuat jengkel banyak orang yang masih memiliki hati nurani. Lagi-lagi kasus korupsi mendera, tapi naga-naganya jalan ceritanya akan kembali sama. Hingar binger pada awalnya sunyi senyap dan dingin-dingin saja pada akhirnya, tidak ada juntrung penyelesaiannya. Setelah kasus Century, rekening gendut POLRI, cek perjalanan BI, Gayus Tambunan, dan sekarang kasus wisma atlit yang menyeret nama petinggi partai Demokrat Mohammad Nazaruddin gejala penangannya sama. Lambat laun masyarakat bisa saja akan frustasi bila pemerintah terus demikian, tidak merubah keseriusannya menangani kasus korupsi, masyarakat sewaktu-waktu bisa muncul mandiri berontak tidak mau diwakili lalu meradang bersama bersuara dan bertindak untuk mencari keadilan yang semestinya.
Kita semua sedang menyaksikan pementasan akbar sebuah sandiwara berjudul ‘elit bangsa yang tidak tahu diri’, memang harus diakui masih ada elit yang tahu diri, punya nyali dan hati nurani, tapi segelintir elit ini tidak mampu meredam kekuatan elit yang tidak tahu diri. Ketika pers demikian terbuka dan sering mempertontonkan tindak penyimpangan-penyimpangan, perilaku yang melanggar aturan, saling serang dan buka-bukaan. Para elit saling salah menyalahkan, saling serang dan membela diri, mereka juga saling menunjukan bukti dan saksi, kita semua menyaksikan dengan berbagai pertanyaan siapa dan mana yang benar. Satu hal yang memprihatinkan adalah, tidak lahirnya kesadaran mawas dan tahu diri, semestinya yang merasa salah harus seleh, harus malu dan minta maaf, bukan membela diri dengan menyalahkan orang lain atau mengorbankan orang lain.
Sayang, semestinya ini bisa menjadi titik intropeksi dan menjadi momentum kebangkitan bangsa ini untuk menunjukkan bahwa bangsa ini bukan bangsa yang bebal, bukan bangsa yang tidak tahu rasa dan tidak tahu diri. Selama bangsa ini terus menerus berkelit dari kesalahan dan membiarkan kesalahan dan kebusukan bersarang pada ‘jantung’ yang mendenyutkan hidup bangsa ini, maka jangan harap kita bisa membangun dan menjadi bangsa yang besar. Kenapa bangsa ini menjadi seperti tidak berdaya dan diam saja melihat pembusukan di atas kemerdekaan dan demokrasi yang kita bangun bersama. Sudah loyokah bangsa ini, sudah pasrahkan bangsa ini ? Kemana semangat merah putihnya ? Semangat berani karena benar. Kita rasakan bersama, apa yang terjadi sekarang justru sering kita dipertontonkan tindak laku mereka yang salah justru yang berani, mereka yang korupsi besar justru berteriak ‘berantas korupsi’, yang kasihan pencuri kecil ‘coklat, jagung, ayam’ yang mencuri karena anak-anaknya yang kelaparan di rumahnya.
‘Tidak tahu diri’ sebagai penyakit kronis yang mendera bangsa ini, entah dari mana dan dengan apa kita harus mengobatinya. Sebagai penyakit ia sudah menyerang organ-organ penting bangsa dan negara ini, ia seperti kangker stadium tiga yang sudah menyebar ke mana-mana. DPR yang menjadi lembaga representatif mewakili suara rakyat, dirasa terasa bebal dan tidak mendengar tangisan dan keluhan masyarakat. Kritikan pada lembaga ini yang mengorek kinerja, etika, keterwakilan terasa tidak diakomodir, terbukti produktivitas lembaga masih rendah, teriakan masyarakat terhadap pembangunan gedung baru DPR sepertinya dianggap angin lalu saja, etika anggota dewan juga sering kita tonton sering di luar norma.
Guru spritualku pernah bicara bahwa memang merubah orang yang memiliki sikap yang tidak tahu diri adalah tidak mudah. Tidak tahu diri adalah sikap, umumnya dimiliki oleh orang yang memiliki pemikiran lebih atau orang pandai dan bukan orang bodoh. Mereka tahu akan kesalahan atau kekeliruannya tetapi cuek saja dan menempatkan diri seolah-olah mereka tidak salah atau tidak keliru, bahkan yang kronis mereka malah berani memutar balikkan fakta, dan cenderung membela diri dengan berbagai cara. Mengatasi orang yang tidak tahu diri harus dilakukan secara ‘militan kultural’, artinya harus ada ketegasan berdasar budaya. Harus ada upaya ‘menjerakan’ mereka agar menjadi pembelajaran pada masyarakat lainnya, hukum harus menjadi panglima yang berkeadilan dan tegas menyalahkan yang salah dan merehabilitasi yang benar termasuk pada oknum aparat hukum juga. Sehingga orang mesti berpikir ulang dan hati-hati untuk bersikap melanggar hukum, bersikap tidak tahu diri menginjak-nginjak hak kehidupan orang lain.