Sungguh demi Allah aku lagi bebal ide, dicekoki gelitikan yang mestinya bisa melahirkan banyak tulisan malah buntet, nggak ‘mbrujul-mbrujul’ juga itu gagasan. Terpaksa aku nglurug ke guru spiritualku kulakan tulisan untuk teman-temanku yang lagi berpolemik tentang ungkapan ‘falsafah’ Jawa, yang digulirkan oleh salah satu di antara mereka. Guru spiritualku juga geleng-geleng kepala lantaran ia merasa bukan Jawa sepenuhnya, beliau orang Osing yang konon menurut kakek neneknya ia merupakan generasi tri hybrid, ditubuhnya mengalir darah Jawa, Madura dan Bali. Jadi kalau diminta ngomong tenmtang falsafah Jawa, beliaunya mesasa tidak jangkep alias kurang PD. Tapi karena sungkan sama muridnya yang mbaleng seperti aku ini akhirnya nyoba urun rembug juga, “tapi yo ojo dianggep bener nek ora bener lho yo”, katanya.
“ Ungkapan Ojo Kagetan, Ojo Gumunan dan Ojo Dumeh sesungguhnya hanya sebagian kecil ungkapan Jawa, masih segudang ungkapan bijak yang melingkupi kehidupan orang Jawa. Tetapi memang diakui tiga ungkapan di atas adalah merupakan ungkapan Jawa yang paling banyak diketahui masyarakat umum. Orang bilang tiga ungkapan ini memang sangat relevan mewakili kondisi masyarakat kita yang rindu pada ketenangan, rindu akan kemakmuran dan rindu akan kebijaksanaan. Masyarakat kita sedang dilanda sikap yang terkesan dengan mudahnya digiring pemikiran dan perhatiannya, dipingpong dari isu satu ke isu lainnya, juga dengan mudah melupakan permasalahan satu ketika dihadirkan permasalahan lain yang baru. Kita adem ayem melupakan permasalahan KPK dan Polisi, ketika muncul Kasus Century, Century yang heboh terlupakan atas penampilan Gayus, demikian seterusnya sekarang lakonnya ‘acaman bom’.
Ojo dumeh, sangat tepat untuk mengungkapkan sinyal lampu kuning pada perilaku penguasa saat ini, karena terminologi ‘ojo dumeh’ sesungguhnya lebih bermakna ‘peringatan’ bukan larangan (kata ojo = jangan, dumeh = mentang-mentang), dan dapat diungkapkan pada berbagai permasalahan. Misalnya, jangan mentang-mentang sedang jadi penguasa seenaknya menistakan pada yang dikuasai, jangan mentang-mentang kaya lalu menghina dan menambah kesengsaraan orang miskin, jangan mentang-mentang pandai lalui mengelabui orang yang bodoh, jangan mentang-mentang cantik lalu menghina orang yang buruk muka, jangan mentang-mentang kuat lalu menginjak-injak orang yang lemah. Makna ungkapan ‘ojo dumeh’ harus disadari sebagai peringatan agar kita sadar bahwa ‘ketakterdugaan’ bisa saja terjadi pada siapapun. Hidup seperti roda berputar, dalam sekejap bisa saja yang berkuasa jadi nista, yang kaya jadi melarat, yang cantik jadi buruk muka. Peringatan ‘ojo dumeh’ sebetulnya untuk membimbing kita ‘berkesadaran’ memperbaiki kehidupan bersama yang lebih baik.” Sang Guru berhenti sejenak sambil menghirup kopi hangatnya.
“Ojo kagetan, juga bukan ungkapan larangan tapi juga sebuah peringatan atau ada yang memaknai sebagai ‘ajakan’. Akhiran ‘an’ pada kata ‘kaget’ memberikan arti kaget sebagai ‘kebiasaan’, sehingga kagetan itu bermakna ‘sering kaget’. Orang yang sering kaget dalam kontek Jawa menunjukkan orang yang ‘ora eling lan waspodo’ atau orang yang tidak sadar, tidak ngerti dan tidak waspada. Jadi ungkapan ojo kagetan sesungguhnya memiliki makna ajakan atau mengingatkan agar orang harus memiliki kesadaran, pengertian dan kewaspadaan. Semua itu kalau ditelusuri kuncinya adalah bagaimana seharusnya kita memiliki semangat belajar, dengan belajar orang bisa menguasai keadaan, menguasai medan, tahu kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehingga tidak perlu terkaget-kaget. Menurut orang yang meyakini puncak perolehan ajakan ini bisa mengantar orang menjadi ‘sidik paningal’ yaitu orang yang memiliki ketajaman indra dan bijaksana.
Ojo gumunan, sama dengan ungkapan sebelumnya merupakan sebuah ungkapan ‘peringatan’. Akhiran ‘an’ pada kata ‘gumun’ memberikan arti gumun sebagai ‘kebiasaan’, sehingga gumunan itu bermakna ‘sering kagum’. Orang yang demikian itu menggambarkan orang yang pengalamannya kurang, tidak pernah mengikuti perkembangan jaman, perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk perkembangan budaya manusia di seluruh belahan dunia. Ojo gumunan, maksudnya merupakan ungkapan ajakan agar orang mau menambah pengalaman, mengikuti perkembangan jaman, iptek, budaya dengan berbagai cara dan pendekatan. Lebih jauh merupakan ajakan agar diri kita memiliki pikiran yang ‘kaya inovasi’ terhadap apa saja yang ada di sekitar kita. Jangan jadi orang yang terus menerus tertinggal, orang yang selalu terbengong-bengong pada capaian dan prestasi orang lain. Puncak perolehan ajakan ini bisa mengantar orang menjadi ‘maestro’ yaitu orang yang memiliki kinerja dan prestasi besar yang diakui orang banyak.
Penting kita fahami bahwa orang boleh kaget asal jangan kagetan, boleh gumun asal jangan gumunan, tetapi kalau dumeh jelas tidak mengenal kata boleh, karena maknanya jelas beda dengan yang dua sebelumnya. Kata kaget dan kagum jelas tidak bisa disebandingkan dengan kata ‘mentang-mentang’ yang sudah memiliki muatan negatif, sedangkan yang lain baru negatif kalau dilakukan secara berlebihan atau menjadi kebiasaan. Ada ungkapan Jawa yang lebih umum yang berbunyi ‘ngono ya ngono tapi ojo ngono’, ungkapan ini bisa mewakili ungkapan jawa yang mengajak orang tahu diri dan jangan bertindak semaunya sendiri, menegasakan bagaimana sikap orang Jawa yang selalu toleransi pada apapun sikap dan kejadian yang dialaminya, tapi toleransi itu harus dimengerti ada batasnya. Maka kesewenangan penguasa, korupsi dan kolusi yang merajalela, hukum yang memihak, kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah, bencana yang terus melanda, tentu ada batas masyarakat mampu menahannya. Tunggu tanggal mainnya,” demikian kata penutup Guru Spiritualku.
Hmm…rasa maluku sedikit terobati, untung saja aku punya Guru Spiritual yang selalu menyejukan kegundahanku. Ya… mudah-mudahan juga bisa sebagai penghibur atau termorex diskusi teman-teman. Bagiku dalam mendewasakan hidup kita bisa belajar hal bijak dari manapun, dari siapapun, di manapun, tidak pandang suku, tidak pandang status, yang penting tangkap makna agungnya. Walau kita orang Jawa, kitapun tidak boleh dumeh sebagai orang Jawa, dan terlalu fanatis terhadap ‘kejawaan’ kita. Agar kita tidak gumunan kita juga harus mampu memahami dan menyerap sari pati ajaran dari mana saja, misalnya: ajaran Confecius dari daratan China, Gandhi dari India, Fritjof Capra yang mempopolerkan kesalehan budaya Timur, falsafah Sunda, falsafah Bali dan falsafah lainnya. Aku sendiri suka filosofi airnya orang Bugis, yang mendorong orang Bugis bisa beradaptasi di manapun mereka berada, bisa berbaur dengan suku dan bangsa apa saja. Di Banyuwangi aku lihat orang Bugis bisa hidup bersama orang Madura dan Osing, di Balikpapan aku saksikan orang Bugis damai hidup dengan orang Jawa dan Bali, di Singapura aku lihat ada kampong Bugis yang damai hidup dengan orang Melayu, India, Arab dan China. Mari kita intropeksi, perbaiki diri, lalu bangun terus toleransi, saling mengingatkan, sambil terus bersyukur kita diberi kesadaran, sambil terus berdoa agar diberi kejernihan berpikir……ngono ya ngono tapi ojo ngono. (dipublis juga di : http://www.alumni-unsoed-jatim.blogspot.com/)