Bahagia apakah sama dengan senang ? Begitu pertanyaan seorang teman kepadaku. Menurutku konsep tentang bahagia dan senang jelas berbeda, bahagia memiliki 'value' yang lebih tinggi ketimbang 'senang'. Bahagia adalah sebuah penyikapan menerima terhadap apa yang kita dapatkan, kita alami, baik menyangkut hal menyenangkan atau menyedihkan. Sedangkan 'senang' konotasinya lebih ditekankan pada penyikapan akibat terpenuhi keinginannya kita. Orang yang hartanya melimpah ada bisa jadi merasa senang, ia bisa memenuhi berbagai keinginannya, tetapi ingat bahwa keinginan akan muncul dan muncul, dan harapan selalu datang, jadi belum tentu mereka bisa merasa bahagia. Mereka akan bahagia ketika kesenangan didapatkannya diikuti dengan rasa selalu bersyukur.
Jadi sikap bahagia itu bila kita cermati ia memiliki makna spiritual, suatu penyikapan yang berdimensi transendental, suatu keiklasan bersyukur pada Sang Kholiq yang menggiring pada ketenangan lahir dan batin, sementara senang tidak, ia hanya di pusaran lahir saja. Jadi sesungguhnya berbahagia itu kuncinya bagaimana kita mampu menyeiramakan pengalaman lahir dengan kesadaran batin. Orang merasa susah berbahagia karena ukuran bahagia itu dibingkai dengan rasa ingin terpenuhinya semua keinginan, padahal keinginan itu selalu muncul dan bisa berubah-ubah. Jadi bingkainya merupakan doktrin yang mustahil tercapai. Kondisi ini akan memunculkan sikap rasa tidak puas, tidak percaya diri, rasa kuatir, dan akan makin kuat ketika pengalaman masa lalu menjadi bumbu justifikasi munculnya keragu-raguan dan kebimbangan untuk dapat mencapai kebahagiaan.
Bahagia dan tidak bahagia sesungguhnya kalau kita cermati itu adalah merupakan pilihan. Bahagia dan tidak bahagia adalah sebuah penyikapan kita menyangkut pengalaman hidup yang kita alami, baik yang menyenangkan maupun menyedihkan. Karena sebuah pilihan, maka bahagia dan tidak bahagia adalah produk dari 'pelabelan' kita sendiri. Orang senang dan orang sedih bisa sama-sama bahagia ketika mampu menemukan pemaknaannya. Hakekat kausalnya, bahagia datang bukan dari luar diri tetapi datang dari dalam diri, artinya kalau kita berharap kebahagiaan itu harus datang dari luar diri kita maka hal itu adalah keliru.
Untuk itu belajar menyikapi 'pengalaman' yang menyertai kehidupan kita, melahirkan semangat untuk memberi ruh 'spiritual' pada hal-hal itu adalah hal penting yang harus kita lakukan. Sehingga hal negatif yang sebelumnya sering timbul, seperti rasa tidak puas, kekuatiran, kegundahan harus kita konversi menjadi 'energi' untuk menata ulang sikap-sikap, harapan, cara kerja, dan komunikasi spiritual kita. Kalau kita tidak mampu mengkonversinya hal negatif itu maka ia akan menjadi energi perusak yang akan membawa kita mudah menyerah, jatuh sakit, depresi, atau hal-hal lain yang menjauhkan kita dari ranah kebahagiaan.
Setidaknya itulah, sebuah perenungan yang tiba-tiba menyeruak di benak pikiranku yang perlu aku ladeni pasca menyelesaikan beberapa aktivitas di dua kota Surabaya dan Malang yang menyedot pikiran dan tenagaku akhir-akhir ini. Ternyata ketika aku mencoba belajar membangun kesadaran diri, intropeksi terhadap makna 'kemanusiaan' , belajar melabel secara filosofi dan spiritual pengalaman hidup, mengkonstruksi bangunan keluarga, menjaga persahabatan dan membangun komunikasi sosial, lalu juga konsistensi menjaga tubuh agar sehat dengan tetap hash, sesekali juga menghibur diri dan memanjakan diri, adalah hal yang membuat aku 'bahagia'. Bagaimana anda ?