Seorang teman lama bersungut menghampiriku, wajahnya
mendung, tinggal sejumput hujan air mata terasa akan tumpah ruah di wajahnya.
Aku hapal betul dengan tabiat karib yang satu ini, dalam benakku bertanya tanya
‘kesedihan apa lagi yang menimpa dirinya ?’. Benar saja, gelegar tangis dan
derai air mata tak lama meledak. Kalau sudah demikian tidak ada lagi obat
apapun yang mampu menghentikannya, tidak ada cara apapun yang mampu meredakan.
Solusinya hanya sabar menunggunya dan diam menemaninya, sampai hujan itu
menjadi gerimis dan akan terhenti dengan sendirinya. Dari tutur bicaranya yang
terbata-bata, sang karib bertutur bahwa ia baru ditipu habis-habisan oleh
sindikat penipu telepon hingga tabungannya terkuras habis tinggal tersisa
beberapa puluh ribu saja, katanya uang yang terkuras berkisar 58 jutaan rupiah.
Aku bisa memahami, kesedihan yang dirasakan sohib
lamaku. Uang tabungan yang habis ludes adalah uang hasil menyisikan belanja
bulannya dan penghasilan lain diluar gajinya selama sepuluh tahun ia kerja. Padahal
tahun ini ia harus menyediakan uang sekolah anaknya yang masuk SMA dan SMP. Ia
sadar. walau pemerintah telah membebaskan biaya sekolah, pada kenyataannya uang
pungutan atas nama pembangunan dan lain-lain masih tetap ada. Siapa kiranya yang
bisa hidup tanpa uang di jaman seperti ini, semua serba membutuhkan uang.
Sangat jarang hal gratis di jaman ini, kalau toh ada yang memberi gratis banyak
orang yang menyarankan perlu waspada, jangan-jangan ada ‘udang di balik batu’.
Jadi sangat layak siapapun merasa sedih karena kehilangan uang.
Berkaitan dengan masalah kesedihan, Guru
lakuku pernah berbicara, ada tiga hal dalam hidup yang sering menjadi penyebab
dan layak menjadi alasan kita bersedih. Pertama
yaitu kehilangan harta, salah satu contoh seperti yang dialami sang teman yang
kehilangan uang karena ditipu seperti tuturan di atas; kedua yaitu kehilangan teman dan orang-orang tercinta; dan ketiga kehilangan kepercayaan.
Kehilangan teman dan orang-orang
tercinta sangat rasional menjadikan orang merasa sedih, karena teman dan
orang-orang tercinta adalah hal yang menjadikan hidup kita lebih berarti, hidup
kita lebih hidup. Tanpa mereka kita kesepian, hidup tidak lagi indah karena
dari mereka kita bisa merasakan kehangatan bercengkerama, saling menghargai,
berbagi apa saja, serta mengingatkan ketika kita keliru dan salah, melindungi
ketika kita lemah. Maka dari itu menjadi teman, atau menjadi orang tercinta
bagi orang lain adalah merupakan anugerah dan harus kita berlaku hormat untuk
menjaganya, pun demikian juga ketika kita memiliki teman dan orang-orang
tercinta harus pula mampu mengelola.
Kehilangan kepercayaan lebih
menyedihkan lagi, karena keberadaan kita, menjadi ada dan merasa ada harganya
ketika orang mempercayai kita. Manakala orang-orang di sekitar kita tidak
mempercayai kita, itu berarti keberadaan kita di mata mereka berada pada titik
yang sangat memrihatinkan. Interaksi korporasi, kerjasama, kemitraan, bisnis,
menjadi buntu, mandeg, dan akan lahir dampak karambol yang sangat negatif
melahirkan ‘mentalitas dan sosok frustatif’. Di negara matahari Jepang bahkan
orang yang tidak dipercaya lagi oleh orang-orang di sekitarnya mendorong sikap
‘lebih baik bunuh diri’ dari pada hidup tidak ada gunanya bagi orang lain
terutama orang-orang yang sebelumnya mempercayainya dan ia juga percaya. Maka
dari itu, dalam Islam kepercayaan adalah amanah yang harus dijaga dan
diaktualisasikan sesuai dengan hak dan tanggung jawab yang diembannya.