Ketika lebaran hari ke 7, saya dan istri bersilahturahmi ke rumah Pak Haji Simpang Sukun, kadang orang-orang menyebut ‘Osamah Bin Laden’, tentu sebutan itu hanya gurouan ketika tidak ada beliaunya karena pak Haji memiliki jenggot yang khas walau tidak seperti Osamah Bin Ladden betulan. Tetapi bagi saya orang rantau di bumi Arema ini, pak Haji adalah orang tua sambung yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah sekaligus bercengkrama. Pak Haji adalah pensiunan pegawai perkebunan Negara, tepatnya beliau adalah mantan ahli cita rasa tembakau, sosok yang sangat menentukan kelayakan dan harga jual tembakau yang akan diekspor ke luar negeri. Saya bisa berjam-jam bercengkrama dengan beliau, mulai bicara yang ringan hingga ajaran tasawuf dan sering dalam cengkrama itu muncul ‘tausiah’ yang penting saya garis bawahi, bisa menjadi guru laku.
Seperti pada siang itu, ketika cerita tentang aktivitas lebaran telah kami sama-sama ceritakan. Pak Haji mulai membawa kami ke ranah cerita tentang ‘iman, ketakwaan, perilaku hidup’, dengan memberi kami 3 buku catatan beliau (masih foto copian) untuk memudahkan mempelajari Al qur’an. Saya kagum dengan semangat pak Haji mengisi hari tuanya, penuh dinamika pencarian ‘bagaimana mendekatkan diri ke Allah’. Banyak hal dilakukan selalu bersama istri tercintanya, pernah belajar meditasi ke Bali, menelaah fenomena Yin dan Yang lewat pembelajaran Taichi, belajar Tashawuf, olah nafas, senam tera, ikut Perhimpunan Anggrek Indonesia, itu semua dicoba dibumikan untuk peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.
Hari itu pak Haji seperti menjadi guru spiritualku, lantaran beliau mampu memunculkan ‘garis emas’ atau membuat sesuatu lebih bermakna pada hal yang selama ini biasa bagi saya yaitu tentang ‘lebah’ mengingat saya seorang biolog. Bagi saya lebah yang dalam bahasa latin disebut ‘Apis indica’ adalah serangga penghasil madu, dan sebagai serangga ‘koloni’ seperti juga semut dan rayap mereka sudah memiliki struktur masyarakat yang baik, yaitu ada lebah pekerja, penjaga, pejantan, ratu yang memiliki tugas masing-masing untuk melestarikan koloninya. Dalam kontek agama, saya tahu bahwa ada juga surat yang bertajuk tentang lebah dalam Al Qur’an surat ke 16 yaitu surat Al Nahl. Surat ini berisi 128 ayat, dan hanya 2 ayat yaitu ayat 68-69 yang memfirmankan tentang lebah, sosok lebah berarti penting dan seharusnya menjadi bahan perenungan tanda kebesaran Allah.
Dalam kontek mengajak merenung pak Haji bertutur bahwa lebah adalah mahluk Allah yang banyak memberi manfaat dan kenikmatan pada mahluk lainnya terutama manusia. Rasanya lebah jangan-jangan diciptakan agar bisa menjadi teladan hidup bagi kita. Hiduplah seperti lebah. Masyarakat lebah hidup baik, rukun dan damai, masing-masing bekerja sesuai tugasnya masing-masing tetapi semua bekerja untuk keutuhan hidup bersama. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang baik berupa serbuk sari dari aneka bunga, tidak pernah mengkonsumsi makanan yang jelek. Hinggapnya di tempat yang indah, tidak pernah hinggap di tempat yang jorok, bahkan sering, membantu proses penyerbukan tanaman agar bisa bereproduksi.
Hikmahnya, andai masyarakat kita bisa seperti masyarakat lebah, hidup rukun dan damai, saling hormat menghormati, tidak mementingkan diri sendiri, tidak mencari menang sendiri, bekerja sesuai pekerjaan dan tugas masing-masing, berupaya mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Kuncinya tentu ada pada individu-individu anggota masyarakat yaitu kita-kita sendiri. Masing-masing harus bisa mengendalikan diri untuk menjalankan perannya masing-masing, tidak mengambil hak orang lain, tidak mengkomsumsi yang tidak halal, mengedepankan sikap saling tolong menolong, dan saling berbagi.
Apakah harapan meneladani lebah bisa kita lakukan ? Tentu saja bisa, tetapi hal itu tidak mudah. Manusia jelas beda dengan lebah, manusia diberi akal dan pikiran sedang lebah tidak. Manusia diberi pilihan, sementara lebah tidak, karena manusia punya kelebihan, manusia tentu memiliki potensi bisa lebih baik dari sekedar lebah (binatang) tetapi juga bisa lebih jelek dari binatang yang paling jelek sekalipun. Untuk mencapai keteladanan yang baik, maka kita harus melakukan hal yang baik dan itu membutuhkan kesadaran dan keyakinan yang baik. Harus menjadi kesadaran dan keyakinan kita bersama bahwa di alam ini, di setiap sudut kita memandang, di setiap jengkal kaki menjejak sesungguhnya selalu ada tanda-tanda kebesaran Allah yang memestinya makin meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita dan merubah perilaku kita.