Pada halaman 40 buku kecil berjudul ‘Menjelajah Angkasa Luar’ karya Kh. Bahaudin Mudhary terbitan Pustaka Kreatif tahun 1989 (cetakan ke-5, pertama tahun 1966), tertulis kalimat: “ Jika tenaga atom yang berasal dari benda mati dapat menggerakan benda-benda yang besar sekalipun, maka tenaga atom yang berasal dari benda hidup, yakni ‘rohani manusia’ tentu lebih mampu, dari tenaga atom untuk menggerakan benda-benda”. Menurutku kalimat tersebut menggambarkan daya logika yang cemerlang dari penulisnya. Sebetulnya masih banyak kalimat dalam buku tersebut yang pasti akan menguatkan pendapatku tentang kecermerlangan logika sang penulis.
Logika di atas sesungguhnya merupakan sebuah logika sederhana tetapi mendalam, mengajak pembaca untuk merenungi sekaligus menyadari bahwa setiap manusia sebagai mahluk hidup memiliki energi potential yang lebih besar dari benda mati, sayangnya energi itu banyak tetap sebagai energi potensial yang tidak atau belum tergunakan. Manusia umumnya masih hanya menggunakan energi yang 'kasad indra' saja, padahal manusia mempunyai 'energi lain' yang bisa dikelola untuk mengatasi problematika hidupnya secara lebih bermakna.
Aku jadi ingat guru spiritualku waktu aku masih kecil dulu almarhum Ustadz Maulana serta kakekku Muhammad Ikhsan, beliau bukan orang keluaran pendidikan formal tetapi ‘laku hidupnya’ mencerminkan kekayaan ‘ilmu’ dan ‘ngelmu’ yang dimilikinya. Almarhum Ustadz Maulana selalu mengajarkan kepada jamaahnya termasuk aku bagaimana beriman dengan iklas, merengkuh ‘energi’ hidup dengan dzikir, dan bagaimana mengelola rahmat. Sementara kakekku yang paling membekas bagaimana beliau acap kali memberikan pengalaman-pengalaman supranatural berupa kemampuan mengobati orang-orang tercintanya dengan laku sederhana berupa doa dan usapan ibu jari ke kening atau cara lain yang sekarang sepertinya lebih dikenal dengan terapi metafisik.
Kedua guru spiritualku dulu sepertinya mungkin ingin menyampaikan apa yang sekarang aku baca dari pikiran KH. Bahaudin Mudhary, bahwa manusia dikaruniai dua jenis tubuh, yaitu tubuh kasar dan tubuh halus. Jasmani dan rohani, yang masing-masing memiliki indera sendiri-sendiri yaitu indera lahir dan indera batin. Indera lahir mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan alam kecil (mikrokosmos) yang cenderung nyata, sedangkan indera batin mempunyai kemampuan untuk menghubungkan ide dengan dunia luar atau jagat besar (makrokosmos) yang cenderung abstrak atau transendental, sesungguhnya manusia adalah mahluk paling sempurna. Kita semestinya mampu mengoptimalkan penggunaan ke dua karunia tersebut, sehingga kita akan memiliki kesadaran lahir dan kesadaran batin yang akan membimbing kita memahami permasalahan hidup kita yang jelas-jelas menyangkut hal-hal yang nyata dan abstrak atau tidak masuk akal.
Jadi membaca buku metafisis ini perlu menjadi momentum untuk perbaikan diri, kayaknya aku menjadi diingatkan kembali untuk mulai lagi menyadari, mengenal, merasakan, mengelola totalitas kepemilikan indra lahir dan indra batin. Rasa syukur selalu aku panjatkan kepada Sang Akbar yang memberi kelengkapan indra lahir, aku sadari kehilangan satu indra saja sudah menjukkan kepincangan hidup yang cukup menyusahkan. Alhamdulillah, rasanya aku juga tidak memiliki gangguan rohani yang merepresentasikan adanya kebebalan indra batin. Indra batinku rasanya masih potensial aku bisa kelola dan fungsikan. Belakangan tanpa sadar, aku lebih inten terdorong mulai lagi menggunakan indra batinku dalam aktivitas ‘kontemplatif’, gerak hati, ibadah, bersahabat, walau itu jelas masih kurang.
Aku merasa sang penulis buku yang konon mempunyai kemampuan berbahasa Arab, Inggris, Belanda , Jerman dan Prancis ini, telah berhasil menggabungkan kemampuan indra lahir dan indra batin yang dimilikinya. Ini contoh ‘orang berilmu’ yang sebenarnya yang mampu membangun logika emas atau logika cermelang yang menjembatani tidak sekedar menyangku pemahaman pengetahuan dunia nyata saja tetapi juga menyangkut pengetahuan dunia abstrak.
Selama ini kita sangat didominasi oleh cara berpikir rasional yang hanya toleransif pada hal nyata tidak termasuk yang abstak. Sehingga sering kita menyepelekan hal-hal yang abstak dan tidak rasional. Padahal kalau kita sadar bahwa sumber pengetahuan adalah satu yaitu dari Allah SWT, maka dikotomis dominasi pemikiran itu semestinya tidak perlu ada. Untuk itu mari kita sadar, siapa sih tidak ingin memiliki ketajaman indra lahir dan indra batin, kesadaran lahir dan kesadaran batin, karena kepemilikan itu yang akan berimplikasi melahirkan kebahagian lahir dan kebahagiaan batin.
(Terima Kasih Buat Bu Dian Atas Pinjaman Bukunya).