Kalau anda seorang manager, komponen yang anda
‘manage’ makin banyak maka kesulitan mengelola makin bertambah pula. Tubuh organisasi
ketika bertambah umur makin gemuk, maka mulai perlu perhatian dan energi
tambahan. Anggota yang banyak, akan menghadirkan suara dan bunyian yang
beragam. Ibarat sebuah kumpulan ‘orkesta’ anda punya beragam alat musik,
penyanyi dengan beragam tingkatan suara, semangat bermusik dan tenggangrasa
bersimponi. Artinya mengelolanya tidak semudah ketika permasalahan hanya muncul
menyangkut satu dua alat musik saja, ketika permasalahan hanya muncul dari
harapan, gagasan, ide satu atau dua orang saja, tetapi pada organisasi yang
komplek akan banyak problematika, tidak mudah seorang ‘dirigen’ (baca: manager)
bisa menghadirkan ‘simponi yang harmoni’, merdu mendayu,dan enak didengar oleh siapapun.
Kegemukan organisasi, atau kompleksitas anggota
organisasi, memaksa organisasi itu melahirkan kesepakatan-kesepakatan,
aturan-aturan, ketentuan-ketentuan, berikut sangsi-sangsi agar keinginan
organisasi bisa tercapai secara maksimal. Paling tidak minimal dimulai dari yang
paling sederhana yaitu ‘kepatuhan pada komitmen yang disepakati’, dan ketegasan sikap bagi yang melanggar
komitmen. Konsistensi sikap adalah ukuran sebuah kesepakatan, manakala ada poin
kesepakatan yang dilanggar dengan dalih pengecualian maka itu akan mempermudah pengingkaran
pada komitmen itu untuk selanjutnya, dan akan berpotensi terjadinya disharmoni organisasi.
Misal kalau ada yang malkomitmen atau yang melanggar tetapi karena dalih pelanggar
adalah ‘pemrakarsa’ atau ‘big bos’ lalu kemudian lahir kebijakan ‘mentorerir’,
tutup kasus dan tidak ada ketegasan menghukum, maka ini adalah awal malapetaka
organisasi.
Guru spiritualku mengumpamakan gambaran sebuah simpony
yang paling harmony yang bisa menjadi pembelajaran bagi kita adalah tubuh kita
sendiri. Dari segi biologi di dalam tubuh manusia terdapat dari 75 -100 trilyun
sel, yang meliputi sel tubuh (yang kemudian membentuk jaringan, organ, sistem
organ), sel darah, sel mikroorganisme dalam tubuh. Bayangkan, betapa banyaknya
yang bermain ‘orkestra’ di dalam tubuh kita, untuk itu manusia dianggap organisme
terkomplek di muka bumi ini. Bagaimana jasad yang super komplek ini mampu
melahirkan ‘harmony’ sebagai mahluk yang ‘individus’ atau tak tak terbelah,
tiap elemen tubuh bersatu-padu membentuk sistem yang saling topang dan saling
melengkapi satu sama lain. Ketika ada kerusakan pada satu bagian maka komponen
yang lain akan berkonsentrasi memulihkan. Fleksibilitas terbagun satu sama
lain, tidak ada dominasi peran, tidak ada monopoli peran, semua berperan
menjaga keseimbangan hidup.
Hal menarik lain yang bisa menjadi pembelajaran kita
dari tubuh manusia adalah ‘darah’, sel darah
sebagai komponen terbesar tubuh manusia bukannya menjadi ‘arogan’ karena
mayoritas menyusun tubuh, tapi ia justru tampil sebagai pelayan dan pelindung
tubuh yang melayani dengan setia. Ia bekerja tak kenal waktu mengedarkan energi
dan oksigen untuk keperluan metabolism hidup tiap sel-sel tubuh, juga ia
memiliki pasukan ‘leucocyt’ yang siap melawan sesakit di bagian tubuh manapun tanpa perkecualian. Semua
itu bisa terjadi karena tubuh manusia mempunyai satu mekanisme pengendalian menyeluruh
dalam menjalankan organisasi terhadap tiap komponennya. Kalau ada proses yang
disharmoni dalam salah satu komponen tubuh dan tidak teratasi, hal itu potensial menjadi
penyebab disharmoni menyeluruh sistem tubuh karena sistem terjalin satu sama
lain. Orang yang di dalam darahnya terlalu banyak gula, dan tidak cepat
teratasi akan berakibat, jantungnya bekerja lebih berat dan cepat rusak, ganguan
seksual, ganjal rusak dan gagal berfungsi, dan ujungnya menghadirkan komplikasi
penyakit yang mematikan.
Karena itu untuk membangun ‘simponi yang harmoni’,
organisasi atau orchestra apapun membutuhkan tatanan sistem yang bisa melayani,
menghidupi dan menjaga tiap komponen penunjangnya seperti tubuh itu. Kesadaran tentang
adanya ketergantungan peran harus dibangun, rasa kebersamaan harus ditanamkan, komitmen
untuk konsisten dan amanah menjalan tugas dan peran masing-masing harus menjadi
ethos semua yang terlibat. Kata guru spiritualku manusia memang harus berusaha,
proses mencapai harapan merupakan puncak karya kita, karena ‘kesempurnaan dan ‘hasil’
kerja sudah bukan urusan kita saja tetapi tergantung padaNYA.